Ilham's POVAku terbangun saat jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Vi sudah tidak ada di sampingku. Tergesa aku keluar kamar. Hening. Dugaan mungkin Vi sedang sibuk di dapur ternyata salah. Dia tidak ada di seluruh penjuru rumah. Semua pintu pun masih tertutup rapat.
Perasaanku tidak enak, hingga aku kembali masuk ke kamar. Meraih ponsel yang di sebelahnya tergeletak hadiah yang kuberikan untuk Vi tadi malam.
Sebuah pesan masuk membuatku terkejut sepagi itu. Dia mengirimkan satu jam yang lalu.
"Happy wedding anniversary, suamiku tersayang. Terima kasih untuk lima tahun kebersamaan kita. Mulai sekarang kita akan menempuh jalan yang berbeda. Semoga Mas suka dengan hadiahku tadi malam. I love you, Sayang."
Kalimat perpisahan yang ditulis secara samar beserta fotoku dengan Nura saat kami kelelahan dan tertidur di sofa kantor, beberapa bulan yang lalu.
Siapa yang mengambil foto dan mengirimkan kepada istriku?
Kuhubungi Vi berkali-kali, tapi ponselnya sudah tidak aktif. Kuhubungi ponsel Ibu, tapi tidak di jawab. Mungkin beliau sibuk. Akhirnya aku menelepon toko kue. Seorang karyawan yang menjawab dan dia bilang kalau Vi belum sampai rumah. Bisa jadi dia masih di perjalanan.
Saat masih berganti baju. Silvi menelepon berulang kali. Aku ingat kalau hari ini ada meeting dengan beberapa relasi yang tidak bisa kutinggalkan. Terpaksa kuurungkan ke rumah mertua, aku harus ke kantor.
Segala kegiatan di kantor hari ini tidak bisa membuatku konsentrasi. Resah karena berulang kali kuhubungi ponsel Vi masih tidak aktif.
"Sil, saya pulang dulu. Jika ada yang mencari, bilang saja saya ada urusan di luar," pesanku pada Silvi.
"Baik, Pak."
Mobil kulajukan menuju ke rumah Ibu. Langit mulai kelabu meski baru jam dua siang.
"Apa kemarin Vi enggak pamitan sama, Nak Ilham, kalau mau pergi beberapa hari?" tanya Ibu, setelah meletakkan secangkir kopi di meja depanku.
"Tidak, Bu."
"Ayo, di minum dulu kopinya. Syifa baru saja tidur tadi."
"Iya, biar saja, Bu. Nanti dia kaget kalau dibangunkan."
Aku menyesap kopi pahit buatan Ibu.
"Vi bilang pergi ke mana, Bu?"
"Maaf, Nak Ilham. Kemarin dia pesan kalau jangan diberitahukan kepada siapapun. Vi enggak lama, mungkin hanya tiga sampai empat hari."
Aku mengangguk, tidak mungkin akan memaksa Ibu untuk mengatakan ke mana putrinya pergi. Beliau tidak bertanya apa yang terjadi pada kami saja sudah membuatku lega.
Untuk beberapa saat aku duduk sambil menghabiskan kopi. Sementara Ibu pergi ke toko karena ada beberapa pemesan kue. Satu jam lebih akhirnya aku pamitan karena Syifa belum juga bangun.
Hening.
Aku merebahkan diri di ranjang dengan lengan kanan di atas kening. Aku rindu dengan suara Vi dan Syifa yang kadang terlibat perdebatan-perdebatan kecil.
Syifa yang gemar menonton Shinbi House tiap jam tiga sore itu kadang tidak mau segera mandi saat mamanya memanggil. Padahal dia harus segera mandi dan pergi mengaji. Meski aku hanya mendengar perdebatan mereka saat libur kerja Sabtu dan Minggu, tapi cukup membuatku terseret pada pusaran kenangan.
Beberapa waktu yang lalu, di kamar Syifa aku menemukan beberapa mainan puzzle-nya yang tertinggal, juga beberapa jepit rambut. Aku seperti di tampar dan sadar. Vi telah melahirkan bidadari secantik itu dan aku sibuk dengan kegilaanku di luar.

BINABASA MO ANG
Setelah Lima Tahun
General FictionMereka mengira kami baik-baik saja. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di istana kami. Kenyataan yang membuatku harus menentukan keputusan, bertahan atau melepaskan. Cerbung ini sudah cetak novel, juga bisa dibaca di aplikasi KBM App, Goodnovel, Inn...