Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam.
"Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang.
"Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?"
"Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?"
"Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah."
"Kamu ada masalah lagi sama Ilham."
"Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput."
"Iya, Nduk."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wanita idaman lain suaminya.
Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku dengan sadis karena kalah bersaing.
Pria yang baik tidak akan mengkhianati pernikahannya dan wanita yang baik tidak akan menukar air mata wanita lain demi kebahagiaannya.
Saat sibuk menenangkan diri, bunyi klakson di sebelah membuatku menoleh. Pria itu lagi.
"Mas, ketemu lagi kita," kataku sambil tersenyum. Di balik helm teropongnya ia pun tersenyum.
"Aku ngikutin kamu dari belakang tadi. Kenapa selalu berhenti?"
"Anginnya kencang banget, sampai mataku berair," jawabku sambil mengerjapkan mata berkali-kali. Ini drama tentunya. Aku tidak ingin dia tahu kalau ini benar-benar air mata ratapan.
"Bukan karena menangis?" tanyanya penuh selidik.
Aku tersenyum. "Mas, ini mengada-ada. Untuk apa aku nangis. Oh, ya, Mas ini darimana? Setiap jam sekolah ada di luar."
"Aku masih ngurus tim yang mau tanding. Terpaksa bolak-balik antara sekolah sama GOR."
"Tanding lagi? Yang kemarin apa enggak jadi?"
"Jadi, Alhamdulilah dapat juara dua. Ini yang mau maju tim taekwondo."
"Ish, hebat Pak Guru ini. Sukses terus, ya, Pak. Capek yang penting happy, ada hiburannya juga, 'kan? Murid perempuan SMA cantik-cantik, lho!"
"Lebih menggoda lagi ibu anak satu ini," ucapnya sambil nyengir.
"Bisa aja. Udah panas-panas digombalin pula. Meleleh aku nanti."
"Lelehannya yang kunanti."
Tawa pecah di antara kami. Kulihat jam dipergelangan tangan.
"Maaf, Mas. Aku pergi dulu ya, ini Syifa pasti udah nungguin."
"Oke, hati-hati. Kalau naik motor usahakan pakai masker, musim begini debu jalanan sangat mengganggu pernapasan."
"Terima kasih udah diingetin. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Motor kustater lagi dan melaju. Bre mengikuti di belakang, kemudian membunyikan klakson ketika hendak mengambil arah berbeda saat kami di persimpangan.
🌺🌺🌺
Syifa sangat bersemangat sekali saat memasukkan mainannya di kotak yang kusediakan. Mungkin karena di rumah ibu dia akan memiliki banyak teman.

BẠN ĐANG ĐỌC
Setelah Lima Tahun
Tiểu Thuyết ChungMereka mengira kami baik-baik saja. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di istana kami. Kenyataan yang membuatku harus menentukan keputusan, bertahan atau melepaskan. Cerbung ini sudah cetak novel, juga bisa dibaca di aplikasi KBM App, Goodnovel, Inn...