Air Mata Gita

5 2 0
                                    

Hari ini sekolah mengadakan festival. Banyak orang yang berjualan. Kelas Bagas dan Gita agak sibuk hari ini. Siang hari, mereka sempat beristirahat sebentar. Gita dan teman-temannya membeli banyak jajan dan mengobrol di kelas. Begitu juga teman-teman Bagas. Kelas agak kosong, jadi mereka bicara dengan leluasa.

"Eh, ada yang mau es krim, nggak?" Tanya Eva. "ada yang jual es krim di festival ini, tahu."

"Mau!" Kata Gita keras.

"Yang lain?" Tanya Eva.

"Aku mau." Kata Difa dan Kiki.

"Aku nggak mau ah, lagi diet." Kata Mutia.

"Aku juga nggak mau. Uangku udah mau habis." Nala membuat ekspresi sedih.

"Git. Bukannya kamu lagi sakit tenggorokan, ya?" Tanya Difa yang membuat Gita cemberut.

"Bodo amat. Aku mau es krim." Gita mengambil uang dari dompetnya.

"Terserah dah. Besok kalau nggak berangkat sekolah gara-gara batuk, aku udah ngingetin, lho." Kata Difa.

Gita, Difa, dan Kiki menyerahkan sejumlah uang pada Eva.

"Lah, aku beli sendirian ini?" Eva menatap teman-temannya satu persatu dengan tatapan memelas. "Nggak ada yang mau nemenin?"

"Aku kira kamu yang mau beliin." Kata Difa.

"Ya enggak lah. Masa aku sendirian ke sana beli es krim buat empat orang. Temani lah." Kata Eva, kemudian menarik lengan Difa.

"Lha. Kenapa jadi aku?" kata Difa, tetapi dia tetap mengikuti Eva keluar kelas.

Di pojok belakang kelas, Bagas dan teman-temannya duduk mengobrol.

"Gita sakit tenggorokan?" Tanya Dhani.

"Iya kali. Bukannya dari kemarin dia batuk-batuk terus, ya?" Kata Rian.

"Cie... perhatian." Bagas menyenggol Rian.

"Cie... cemburu." Rian menyenggol Bagas lebih keras.

"Si Gita sakit tenggorokan gara-gara kamu jajanin seblak, kan." Tuduh Dimas.

"Mana ada. Enggak mungkin lah. Dia sakit karena mau flu kali." Bagas menyangkal perkataan Dimas.

"Apanya yang enggak. Aku lihat pas habis makan seblak sama kamu, terus dia batuk-batuk sambil megangin leher. Terus mukanya merah banget." Dimas mencoba memberikan bukti.

"Bagas emang nggak ada otaknya, sih. Masa ngajakin cewek makan seblak." Kata Rian

"Iya. Gita juga aneh sih. Masa mau diajak makan seblak sama Bagas. Biasanya kan cewek-cewek tuh nggak mau makan pedes di depan cowok." Kata Dhani.

"Kan aku udah bilang dari dulu. Gita tuh bukan cewek biasa. Dia tuh spesial." Kata Bagas menggebu-gebu.

"Bukannya itu berarti Gita nggak suka sama kamu ya. Berarti dia nggak nganggap kamu cowok." Kata Dhani.

"Tapi dia gitu ke semua cowok." Bagas masih tak percaya.

"Berarti dia nganggap kamu sama kayak semua cowok." Kata Dhani, Rian, dan Dimas dengan keras.

"Gila. Keras banget ngomongnya!" Bagas melotot ke arah ketiga temannya.

"Diam! Berisik!" Teriak Gita dan teman-temannya dari depan.

"Kalian juga berisik dari tadi." Dimas tiba-tiba sewot.

"Sabar. Tarik nafas. Hembuskan." Kata Dhani.

Tiba-tiba terdengar pintu kelas dibanting. Tak lain dan tak bukan, itu adalah kedua teman Gita yang paling heboh, Difa dan Eva.

"Git. Ada berita penting!" Kata Difa agak keras.

Gita yang sedang duduk santai langsung tegak. "Berita apa?"

"Tapi janji jangan nangis lho, Git." Eva menyenggol tangan Difa.

Gita mengernyit bingung. Difa dan Eva membagikan es krim yang mereka beli, kemudian duduk. Mereka duduk lurus-lurus di hadapan Gita.

"Tadi kita dengar sesuatu tentang Kak Farhan." Difa merendahkan suaranya.

"Bentar. Aku tarik nafas dulu." Gita menarik nafas, kemudian mendekat ke arah Difa dan Eva. Teman-teman di sekeliling mereka turut mendekat.

"Jadi gini. Tadi..." Eva menjeda, kemudian berkata, "Ah, jangan aku yang cerita. Kamu aja Dif. Aku nggak tega sama Gita."

"Ah, kamu ini." Difa memukul lengan Eva.

"Jadi, tadi waktu kita berdua beli es krim, yang jual tuh nanya rumah kita di mana. Terus aku jawab, di daerah Sono. Terus penjualnya bilang, oh deket rumah pacarnya Farhan. Gitu. Berarti Kak Farhan sama Kak Hasna jadian." Difa menjelaskan dengan singkat.

"Memang yang jual siapa? Kok bisa kenal Kak Farhan sama Kak Husna?" Tanya Gita penasaran.

"Kita juga nggak tahu." Kata Difa.

"Kamu nggak apa-apa kan, Git?" Eva memegang tangan Gita.

"Aku nggak apa-apa. Lihat, aku nggak nangis, kan." Kata Gita. Tapi kemudian air mata menetes dari sudut matanya. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya, kemudian menangis pelan.

"Git..." Nala menyentuh pundak Gita.

"Aku nggak apa-apa kok. Beneran. Aku cuci muka dulu deh." Gita beranjak dari duduknya, kemudian keluar dari kelas.

"Kamu sih. Aku udah bilang kan, jangan kasih tahu Gita." Kata Eva.

"Tapi kalau kita nggak ngasih tahu, sama aja kita ngekhianatin Gita, nggak sih?" kata Difa.

"Iya juga, sih. Kalau gini jadi serba salah juga." Kata Eva.

Sementara itu anak laki-laki juga heboh di pojok belakang kelas.

"Gita nangis, tuh." Dhani menunjuk Gita yang keluar kelas.

"Kenapa?" Tanya Bagas panik.

"Kayaknya soal mantan pacarnya deh." Jawab Rian.

"Aku susul aja gimana?" Bagas meminta pendaapt teman-temannya.

"Jangan lah. Bentar lagi juga balik ke kelas." Dimas menahan badan Bagas yang sudah berdiri.

"Dia tuh kalau sama cowok lain cuek banget, tapi giliran tentang mantannya langsung nangis gitu." Kata Dhani.

"Dia kayaknya suka banget sama mantannya. Masih belum lupa." Kata Rian.

"Orang baru putus kemarin-kemarin, masa udah mau lupa." Bagas menyeletuk.

"Putusnya nggak baik-baik soalnya." Kata Dimas.

"Mana putusnya pas sebelum ujian kenaikan kelas." Kata Dhani.

"Tapi Gita gila banget. Habis putus aja masih tetap ranking satu." Kata Bagas bangga.

"Kalau kamu, putus nggak putus tetap ranking terakhir." Rian mengejek Bagas, yang langsung memukulnya.

Gita muncul dengan wajah yang basah karena habis mencuci wajahnya. Gita tidak duduk kembali di kursinya, melainkan berjongkok di bawah mejanya sambil menelungkupkan wajahnya. Teman-teman Bagas bergerombol mendekati meja yang dipakai Gita dan teman-temannya.

"Gita kenapa?" Tanya Dhani.

Tidak ada yang menjawab.

"Tentang Farhan ya?" Tanya Dhani lagi, yang langsung disusul dengan senggolan orang-orang di sebelahnya.

"Bajingan kayak gitu nggak usah dipikirin lagi kali Git." Dhani masih berbicara.

"Iya Git. Bener kata Dhani." Kata Difa.

"Kita percaya kok sama kamu." Kata Eva.

"Lagian gosipnya udah terbukti nggak bener, kan." Kata Kiki.

"Orangnya juga udah lulus." Kata Mutia.

Nala turun dari kursinya kemudian mengelus punggung Gita.

"Lupain aja Git. Katamu kita geng anti cidro. Kok sekarang kamu malah cidro? Udahlah, nih es krimnya udah hampir cair." Difa menyodorkan es krim Gita.

"Makasih semuanya." Kata Gita kemudian menerima es krim tersebut sambil tertawa.

"Ngomong-ngomong ngapain kalian ke sini?" Tanya Eva pada Bagas dan teman-temannya, yang membuat mereka saling pandang dengan kebingungan. "Kalian ke sini Cuma penasaran sama masalahnya Gita sama Kak Farhan kan?"

Keempat cowok itu nyengir tanpa rasa bersalah.

"Dasar cowok-cowok tukang gosip!" Eva menjitak kepala mereka satu persatu.

Bagas senang Gita sudah tertawa lagi. Tadi ia benar-benar tidak tega melihat Gita yang biasanya terlihat kuat, menangis. Mata sembabnya dan wajah sendunya, membuat Bagas juga ingin ikut menangis. Andaikan Bagas berani memberi pelajaran untuk Farhan. Tapi apalah dayanya yang jauh lebih lemah dibanding Farhan. Yang bisa dia lakukan hanyalah menghibur dan menguatkan Gita.


Pelangi Kehidupan BagasWhere stories live. Discover now