Kerja Kelompok

6 1 0
                                    

"Hari ini Bapak akan mengadakan kerja kelompok membuat miniatur. Masing-masing kelompok berisi tiga sampai empat orang. Bapak udah bikin undiannya. Satu-satu maju ke depan buat ngambil undiannya." Kata Pak Ari.

Satu persatu murid mengambil undian. Di dalam undian ada tulisan angka. Jika dapat angka yang sama, maka satu kelompok. Bagas mendapat nomor tiga. Ia tidak sabar untuk tau siapa saja teman sekelompoknya.

"Kelompok tiga siapa saja?" Tanya Pak Ari.

"Putra!" Kata salah seorang murid.

"Gita!" Kata Gita membuat hati Bagas langsung berdebar.

"Bagas!" Kata Bagas, berusaha menyembunyikan rasa senangnya.

"Silakan kalian berkelompok sesuai kelompok masing-masing. Bahas miniatur apa yang mau kalian buat dan dengan apa kalian akan membuatnya. Kalau sudah selesai, tulis di kertas dan dikumpulkan ke Bapak." Kata Pak Ari.

"Baik, Pak!" Seru murid-murid serempak.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara riuh rendah dari kelas karena murid-murid yang berdiskusi sambil bercanda. Ada juga yang berdebat dan berbicara agak keras, tapi tidak begitu mengganggu.

"Kita mau bikin miniatur apa? Ada ide?" Tanya Gita pada dua orang cowok di depannya.

"Belum tau juga. Aku cari-cari dulu di internet." Kata Bagas.

"Aku ada ide, sih. Aku kan sering lihatin miniatur kapal-kapal kayak gini. Ini ada satu yang kayaknya gampang dibikin. Gimana kalau kita bikin ini?" Usul Putra sambil memperlihatkan gambar-gambar di layar handphone-nya.

Gita memperhatikan layar handphone Putra dengan seksama.

"Bagus banget idemu. Aku setuju!" Kata Gita, kemudian menoleh ke Bagas. "Kamu setuju?"

"Aku setuju deh." Kata Bagas. Dia setuju saja, asalkan Gita menyetujuinya.

"Coba kirimin gambar miniaturnya ke kita." Kata Gita.

"Gimana kalau kita bikin grup chat aja biar enak bahasnya?" Usul Putra.

"Boleh tuh. Kamu bikinin gih, terus kirim gambarnya di situ." Kata Gita.

Sambil menunggu Putra membuat grup chat, Gita memainkan handphone-nya. Bagas juga memainkan handphone-nya, tapi ia tidak fokus mau membuka apa. Ia hanya berada di layar utama dan menggeser-geser layar handphone-nya. Ia tidak tahan untuk tidak melirik Gita yang sedang fokus dengan handphone-nya.

Matanya yang melihat ke bawah, ke layar ponselnya, begitu cantik. Gita memiliki mata yang bulat dengan ujung luar yang agak naik ke atas. Jika matanya melihat ke bawah, terlihat sekali jika ujung luar matanya naik ke atas. Matanya terlihat seperti bentuk sabit. Apalagi bulu matanya yang tebal dan panjang terlihat meneduhi mata uniknya.

Tiba-tiba handphone-nya bergetar. Ada notifikasi masuk yang menyatakan bahwa ia dimasukkan ke dalam sebuah grup chat, dan kemudian dilanjut notifikasi bahwa Putra mengirim gambar di grup chat.

"Ini detail banget. Nggak ada yang lebih gampang?" Tanya Gita.

"Ada sih. Bentar coba aku cariin." Jawab Putra.

Putra mencari-cari referensi miniatur kapal di internet. Gita menggeser duduknya mendekati Putra untuk melihat-lihat juga. Bagas jadi merasa canggung karena tidak ikut bergabung dengan mereka. Mau ikut bergabung tapi ia takut kelihatan aneh.

"Yang ini kelihatannya sederhana." Gita menunjuk layar ponsel Putra. "Gimana menurutmu, Put?"

"Bagus, sih. Tapi terlalu sederhana, nggak sih?" Kata Putra.

"Justru lebih sederhana malah lebih gampang bikinnya, kan." Gita tetap mempertahankan pendapatnya.

"Menurutku tetap lebih bagus yang aku kirimin di grup, deh." Putra juga tetap kekeh dengan pendapatnya.

"Ya, kalau kamu yang bikin pasti gampang lah. Aku nggak rapian banget lho, orangnya. Kalau terlalu detail takutnya malah berantakan." Gita mencoba membuat alasan.

"Ya udah, aku aja yang bikin. Kalian bantu-bantu aja." Putra masih tak mau kalah.

"Nggak bisa gitu dong, Put. Kamu juga harus mikirin kita. Ini kan kerja kelompok, bukan kerja sendiri." Gita masih bersikeras.

Gita dan Putra terus berdiskusi, melupakan fakta bahwa Bagas ada di sana memperhatikan diskusi mereka berdua dengan rasa sedikit cemburu. Dia memperhatikan wajah Gita yang memerah, alis Gita yang mengkerut, dan garis bibirnya yang turun ke bawah setiap Putra menolak pendapatnya. Gita terlihat sangat menyeramkan, dan dia heran mengapa Putra tidak takut pada Gita yang kelihatan mau meledak. Saat sedang berpikir seperti itu, tiba-tiba Gita memandangnya yang sedang duduk dengan canggung menonton perdebatan mereka.

"Bagas, sini deh. Coba kamu lihat, kamu pilih yang mana di antara dua ini?" Gita menyuruh Bagas mendekat.

Bagas mendekat dan melihat gambar yang ada di handphone Putra. Ia berpikir sejenak, mana gambar miniatur yang hendak ia pilih. Ia memutuskan memilih yang sederhana, karena Gita juga memilih yang sederhana. Lagi pula ia harus mendukung Gita dalam perdebatan ini. Ia tak mau mendukung laki-laki angkuh yang sudah membuat Gita kesal.

"Yang ini kelihatannya lebih gampang dikerjain." Bagas menunjuk gambar miniatur yang lebih sederhana.

"Tuh, kan. Yang ini aja." Kata Gita senang.

"Kalau yang ini terlalu sederhana, nggak ada istimewanya." Putra tetap mendebat.

"Dua lawan satu." Gita merangkul bahu Bagas.

Dug!

Bagas bisa mendengar degup jantungnya. Ia berharap suara jantungnya tidak terdengar terlalu keras.

"Kalau terlalu sederhana nanti nilai kita jelek." Putra pantang menyerah.


Gita menatap Putra dengan putus asa, kemudian mendengus keras.

"Ya udah deh, gini aja. Kita cari yang nggak begitu sederhana, tapi juga nggak begitu detail. Gimana, setuju nggak?" Gita akhirnya mengambil jalan tengah setelah perdebatan panjang.

"Oke." Kata Putra singkat kemudian kembali fokus menatap layar handphone-nya.

Gita melipat tangannya di depan dada. Bagas kembali ke kursinya dan menatap Gita. Ia merasa takjub pada Gita yang mau mengalah dan memberikan solusi yang tidak merugikan siapapun.


Pelangi Kehidupan BagasWhere stories live. Discover now