Ulang Tahun Bagas

5 1 0
                                    

Hari ini Bagas ulang tahun. Dhani, Rian, dan Dimas menyiapkan kue ulang tahun untuk Bagas. Kue ulang tahun berwarna serenity dan rose quartz dengan krim putih yang melengkung-lengkung di bagian sampingnya. Bagian atasnya yang tertutup rata dengan krim berwarna serenity dan rose quartz di hias dengan banyak potongan strawberry dan cokelat putih. Potongan strawberry-nya dihias melingkar menyisakan bagian tengah yang ditancapkan sepotong besar cokelat putih bertuliskan 'HBD BAGAS'. Tepat di tengah kuenya ada sebatang lilin tertancap.

Mungkin hal ini agak norak jika dilakukan oleh empat bujang SMA. Tapi ini telah menjadi tradisi selama dua tahun terakhir. Merayakan empat kali ulang tahun dalam setahun dengan kue warna-warni yang penuh krim dan jangan lupa dengan lilin.

Agar tidak ditertawakan oleh teman-teman sekelas yang lain, mereka menyimpan kuenya di lemari es kantin sekolah dan mengambilnya saat pulang nanti. Ibu Kantin yang sudah lebih dari empat kali kedatangan kue ulang tahun warna-warni milik empat makhluk berkumis tipis ini hanya bisa tersenyum geli.

"Kalian ini lho. Cowok-cowok udah gede kok ya masih ngerayain ulang tahun pakai kue warna-warni. Pakai lilin lagi." Kata Ibu kantin dengan logat jawanya yang kental.

"Hehe... iya Bu. Titip dulu ya, Bu. Nanti sore kita ambil. Nanti kita kasih sepotong deh Bu." Kata Dhani.

"Bener lho ya. Awas nek kamu bohong." Bu Kantin memasukkan kue itu ke dalam lemari es.

"Bener Bu. Kita balik ke kelas dulu ya, Bu." Kata Rian, kemudian mereka berempat berjalan menuju kelas.

Mereka berempat tidak sabar menunggu sore hari. Pelajaran sekolah lewat begitu saja di kepala mereka. Tak ada satu pun dari mereka yang fokus pada pelajaran. Di setiap kesempatan, mereka saling lirik dan cekikikan. Untungnya hal itu tidak terlihat di mata para guru.

Sore hari yang terasa lama akhirnya tiba. Mereka berjalan pelan, menikmati udara sore hari, menuju kantin. Mata Bagas berbinar melihat kue cantik itu. Ia bukan pencinta warna pastel, namun tetap saja warna-warna pastel selalu dapat memanjakan matanya.


Mereka merayakan ulang tahun Bagas di kantin yang sepi itu. Cahaya lilin kecil yang tertancap di tengah-tengah kue itu sangat cocok dengan suasana sore yang syahdu. Bagas berdoa terlebih dahulu sebelum meniup lilinnya.

"Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga." Dhani, Rian, dan Dimas bernyanyi pelan menggunakan suara berat nan fals mereka.

Bagas memotong kue menjadi enam bagian. Mereka memberikan satu kuenya ke Bu Kantin, yang menerimanya dengan terharu, kemudian mengambil potongan kue masing-masing satu.

"Sisa satu buat aku, ya?" Kata Dhani yang memang makannya paling banyak.

"Enak aja! Bagi-bagi lah." Rian menepis tangan Dhani.

"Ingat, aku yang paling banyak iuran." Tukas Dimas sengit.

"Aku aja yang milih kue ini buat siapa." Bagas melindungi kue itu dengan tangannya.

"Lah? Kan kita yang beli." Dimas tidak terima.

"Tapi ini kan buat aku. Jadi terserah aku dong mau ngasih satu kue ini buat siapa." Kata Bagas.

"Ya udah, deh. Cepetan bilang kue ini mau buat siapa." Kata Dhani tak sabar.

"Buat Gita." Kata Bagas malu-malu.

"Yah... nggak seru banget sih." Dhani cemberut.

"Tanda-tanda terlalu bucin." Dimas menimpali.

"Memangnya kamu tau sekarang Gita ada dimana?" Rian menaikkan alis.

"Tau lah. Memangnya dia di mana lagi kalau bukan di perpus, ruang jurnalistik, atau ruang klub mading." Kata Bagas bangga.

"Ya udah, coba aja cari." Rian menantang. "Coba kita lihat, bakalan ketemu atau enggak."

"Kalau nggak ketemu, kuenya jadi punya kita." Kata Dhani.

"Eh, enak aja. Jadi punyaku lah!" Rian mendorong bahu Dhani.

Sebenarnya Bagas tidak tahu di mana Gita berada. Tapi ia yakin sekali, jika Gita melakukan hampir semua kegiatannya di ruang klub mading. Ruang klub mading bisa dibilang sebagai ruangan milik Gita. Bagas berjalan menuju klub mading dengan hati berdebar-debar, berharap Gita betulan ada di sana. Jika tidak, ia bisa jadi bahan tertawaan ketiga temannya itu.

Pintu ruang klub mading setengah terbuka, yang berarti ada orang di dalam. Bagas mengintip dari balik pintu untuk melihat ada siapa saja di situ. Bagas menghembuskan nafas lega setelah melihat Gita ada di situ bersama Kayla dan seorang adik kelas bernama Tia. Bagas membuka pintu pelan, yang langsung membuat ketiga insan yang berada di dalam ruangan tersentak kaget.

"Cari siapa?" Tanya Gita.

"Gita. Ini aku mau kasih kue." Bagas menaruh kue itu ke depan Gita.

"Dalam rangka apa, nih?" Tanya Gita.

"Hari ini aku ulang tahun terus temen-temen bawain aku kue. Jadi kamu aku bagi." Jelas Bagas dengan singkat.

"Wah, selamat ulang tahun. Maaf, aku nggak tau kalau kamu hari ini ulang tahun. Makasih, ya." Kata Gita, kamudian memandangi kedua orang yang ada di situ. "Ini Cuma buat aku doang?"

"Iya. Kuenya terbatas soalnya." Kata Bagas.

"Nggak ada buat Kayla?" Gita menggerakkan alisnya naik turun sambil tersenyum, menggoda Bagas. Seperti kebanyakan murid di angkatan mereka, Gita mengira Kayla dan Bagas saling menyukai.

"Eh?" Bagas melirik Kayla dengan canggung. "Maaf, habisnya kuenya kecil banget."

"Iya, nggak apa-apa kok." Kayla tersenyum canggung.

"Kuenya Cuma cukup untuk kelas kita doang, ya?" kata Gita polos. "Makasih ya."

Bagas meninggalkan ruang klub mading dengan hati berbunga-bunga. Ia terlalu senang sampai melupakan ketiga temannya yang mengikutinya di belakang. Meski begitu, ia merasa agak kecewa karena Gita mengira bahwa dirinya menyukai Kayla. Dia ingin Gita tahu bahwa dirinya hanya menyukai Gita, bukan siapapun.


Pelangi Kehidupan BagasWhere stories live. Discover now