Ulang Tahun Gita

9 2 2
                                    

Hari ini Gita ulang tahun. Bagas sudah menyiapkan hadiah untuk Gita. Hadiah itu ia titipkan di pos satpam saat berangkat sekolah. Ia berencana akan memberikannya saat pulang sekolah. Ia memberikan Balloon Bouquet dengan nama Gita, yang akhir-akhir ini sedang tren, sebuah boneka dinosaurus berukuran sedang, dan sebuah dompet.

Bagas sengaja memberi Gita balloon bouquet karena Gita alergi serbuk sari. Pernah suatu hari saat Gita menang olimpiade sains, guru-guru memberikan buket bunga. Hari itu juga, Gita demam dan bersin-bersin. Esoknya Gita tidak masuk sekolah selama dua hari. Maka dari itu, supaya tidak mengulangi hal yang sama, ia memberi Gita balloon bouquet. Ia juga memberikan boneka dinosaurus, bukan beruang, karena sepengetahuannya, Gita suka karakter dinosaurus dari sebuah serial televisi luar negeri. Untuk dompetnya, Bagas membelikan itu untuk Gita karena ia sering melihat Gita membawa dompet yang sudah sedikit usang.

Sorenya, Bagas menunggu Gita di belakang pos satpam. Di situ lumayan tertutup dan terhindar dari pandangan murid-murid yang pulang sekolah. Bagas sudah mengajak Gita bertemu di belakang pos satpam selesai jam sekolah. Hatinya berdebar-debar menunggu kedatangan Gita. Ia sudah memegang buket bunga di tangan kanannya dan dua hadiah lainnya, yang ia letakkan di di sebuah papper bag, di tangan kirinya. Hatinya tambah berdebar saat melihat sosok Gita yang mengintip dari tembok pos satpam. Gita segera menghampiri Bagas dangan senyum khasnya.

“Hai!” Sapa Bagas.

“Hai!” Gita tersenyum sambil melambaikan tangannya.

“Selamat ulang tahun, semoga kamu bahagia selalu!” itu kalimat yang sudah Bagas siapkan tadi. Kemudian ia menyerahkan hadiahnya ke Gita. “Ini buat kamu.”

Gita terlihat kebingungan dan tidak segera menerima hadiah dari Bagas. Bagas berpikir bahwa Gita sepertinya keberatan menerima hadiahnya.

“Makasih, tapi maaf...” Gita menjeda perkataannya.

Bagas menunggu kalimat Gita.

“Sebenernya aku bingung mau bawanya gimana.” Gita menunjukkan dua tas plastik besar di kedua tangannya.

“Ah, mau aku anterin sampai mobil jemputanmu?” Tawar Bagas.

“Tapi aku mau makan seblak dulu. Aku minta dijemputnya di tempat makan seblak. Mau makan bareng?” Gita malah menawari Bagas makan seblak.

“Berdua?” Bagas memastikan.

“Iya, berdua aja. Aku yang traktir.” Gita mengangguk meyakinkan.

“Mau aku boncengin pakai sepedaku?” Bagas berharap Gita menjawab iya. Tepat sekali hari ini ia memakai sepeda jengki kakaknya.

“Boleh,” Gita mengangguk bersemangat. “Yuk!”

Bagas masih tak percaya. Ia makan berdua dengan Gita. Sebenarnya jarak antara sekolah dengan tempat makan seblak lumayan jauh dan berlawanan arah dari rumahnya, tapi Bagas tidak mau melewatkan kesempatan ini.

“Yakin Git, kamu mau level segitu?” Tanya Bagas begitu tahu menu apa yang dipesan Gita.

Gita mengangguk pasti. “Dari dulu aku selalu pengen makan seblak level segini. Tapi nggak boleh sama orang tuaku. Sekarang kan nggak ada mereka. Jadi aku mau coba.”

Bagas mengangguk-angguk, tapi sebenarnya dirinya agak khawatir. Tapi mana bisa ia melarang Gita. Dirinya kan bukan siapa-siapanya Gita. Bakal aneh kalau ia melarang Gita. Gita bisa saja jadi nggak nyaman.

Dua mangkuk seblak sudah tersaji di hadapan mereka. Gita terlihat bersemangat dengan isi mangkuknya yang terlihat sangat merah. Suapan pertama, Gita masih tersenyum dan mengatakan bahwa seblaknya enak dan nggak sepedas itu. Beberapa suap kemudian, Gita mulai kepedasan. Ia menghabiskan segelas es teh di hadapannya, yang membuat ia harus memesan es teh lagi.

“Kalau terlalu pedas udahan aja, Git.” Bagas mengingatkan.

“Aku masih tahan, kok.” Gita masih memasukkan sesendok seblak ke dalam mulutnya.

Beberapa suap kemudian, wajah Gita benar-benar memerah. Bahkan lebih merah daripada kalau ia sedang tertawa. Bagas menjadi lebih khawatir. Apalagi setelah Gita mengatakan kalau tenggorokannya sakit.

“Mendingan udahan aja deh, Git.” Bagas menarik mangkok di hadapan Gita menjauh dari jangkauan Gita.

Gita cemberut menatap Bagas. Tapi ia tidak protes. Ia menyeruput es tehnya sampai habis.

“Makasih udah nemenin aku hari ini,” kata Gita setelah ia sudah tidak kepedasan lagi. “ Makasih juga udah ngasih hadiah.”

“Nggak masalah, Git. Aku senang kok makan bareng kamu.” Kata Bagas.

“Kalau kamu mau pulang duluan, nggak apa-apa. Aku bentar lagi dijemput kok.” Gita mempersilahkan Bagas pulang.

Tapi tentu saja Bagas tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berdua dengan Gita.

“Aku temenin aja sampai kamu dijemput,” Kata Bagas, kemudian cepat-cepat menambahkan, “Kalau boleh.”

“Bolehlah, masa enggak.” Gita memukul pelan lengan Bagas.

Mereka pun mengobrol sampai mobil yang menjemput Gita datang.

“Aku duluan, ya. Kamu hati-hati di jalan.” Kata Gita sambil berdiri dari kursi.

“Kalau udah sampai rumah, aku perlu ngabarin kamu, nggak?” Kata Bagas sambil membantu Gita membawa barang-barangnya.

Gita menghentikan gerakannya. Ia menaikkan kedua alisnya sambil menatap Bagas yang kini juga menatapnya. Suasananya jadi agak canggung.

“Kalau udah sampai rumah, chat aku. Aku tunggu.” Gita menjawab dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan.

“Kalau telepon, boleh?” Bagas memberanikan diri bertanya.

“Boleh.” Gita tersenyum, yang membuat hati Bagas lega.

Gita tertawa kecil sambil menepuk-nepuk lengan Bagas, kemudian berjalan menuju mobil jemputannya. Bagas terdiam sejenak mempelajari keadaan. Gita menepuk lengannya barusan. Bagas tiba-tiba tidak bisa melihat dengan jelas. Pendengarannya juga seperti bermasalah. Dan perutnya, seperti ada jutaan kupu-kupu terbang di dalam perutnya. Ya Tuhan.

Tapi kemudian Bagas sadar bahwa dia harus mengantarkan barang-barang Gita. Dia segera mengangkat tas plastik yang ada di tangannya dan berjalan ke mobil jemputannya Gita.

Selepas Gita pergi, Bagas menaiki sepedanya yang ada di tempat parkir di depan tempat makan tersebut. Tiba-tiba dari samping ada seseorang yang merangkulnya.

“Ciee... habis makan berduaan sama Mbak Gita!” Suara Dimas memenuhi telinga Bagas.

“Kok kamu bisa ada di sini, sih?” Bagas mengerutkan keningnya keheranan.

“Aku lagi jajan bakso di depan situ. Eh lihat kamu sama Gita.” Jelas Dimas singkat.

“Sejak kapan?” Bagas menyelidik.

“Sejak kamu sama Gita boncengan naik sepeda di sekolah.” Jelas Dimas enteng.

“Itu namanya nguntit! Dasar penguntit!” Bagas menjitak kepala Dimas.

“Ah, gila ya! Sakit!” Dimas mencekik leher Bagas.

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Jan 22, 2022 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Pelangi Kehidupan BagasWo Geschichten leben. Entdecke jetzt