7. Seorang Ibu

174 101 27
                                    

'Ga usah hidup kalau ga mau kecewa'
'Ga usah hidup kalau ga mau berjuang'
'Ga usah hidup kalau mauanya bahagia terus'
Jadi intinya kalau mau bahagia itu harus siap kecewa dan juga harus berjuang.


⚠️sebelumnya saya meminta maaf untuk part ini, jadi di sini adalah part yang berkaitan dengan rumah sakit, sementara saya tidak memiliki sedikitpun pengalaman dalam rumah sakit saya hanya tau melalui media TV ataupun lainnya. JADI APABILA ADA KESALAHAN MOHON UNTUK DIBENARKAN, sekian terima kasih

Setelah selesai dengan acaranya di kamar mandi Anzel segera bergagas untuk kembali keruangan Jaka. Anzel menatap sahabatnya yang kini tengah berbaring di ranjang rumah sakit.

"Jaka maafin gue ya!, gue ga mungkin bilang ke orang tua lo!, gue juga ga mungkin bilang ke temen-temen yang lain." Anzel menjeda kalimatnya un uk mengambil napas.

"Gue takut mereka nyalahin gue, dan gue ga mau itu terjadi, lagian ini salah lo, siapa suruho ngikut pertandingan kaya gini?" Anzel tidak berani untuk sekedar menatap wajah sahabatnya yang tak berdaya itu.

"Terus giman kalau mereka nyariin lo?, lo bikin gue repotkan!"

"Jaka lo ga bisa gini."

Pandangan Anzel tertuju pada pintu ruangan yang mulai tetbuka memunculkan sosok pria dengan jas putih yang melekat pada tubuhnya. Pria itu berjalan menghampiri Anz yang tengah menatapnya.

"Nama kamu Bagaskarey Anzel Alderian?"

Anzel mengangguk menatap sosok paruh baya yang ada di hadapannya "Iya dok."

"Kami sudah tau golongan darah dari pasian, menurut pemeriksaan golongan darah dari pasian adalah O dan untungnya rumah sakit ini masih ada stocknya, jadi kamu tidak perlu khawatir untuk mencari pendonor untuknya." Jelas pria tersrbut dengan sesekali menatap catatan yang ada pada tangannya.

"Iya dok terima kasih." Anzel menganggukan kepalanya.

"Iya, lagi pula itu merupakan tugas kami untuk membantu pasian, kalau dia bangun nanti mungkin dia akan sangat berterimakasih kepada kamu karena telah menyelamatkan nyawanya." Pria paruh baya itu menatap sosok Jaka yang tengah tertidur.

"Atau dia akan membenci saya dok?"

"Ya sudah kami akan segera melakukan transfusi darah jadi lebih baik kamu tunggu di luar ya." Mendengar itu Anzel segera keluar dari ruangan milik Jaka.

Anzel meraih handphone milik Jaka yang sedari tadi berbunyi berada pada saku celannya, tangan Anzel seketika sedikit bergetar ketika tau siapa sosok yang menelephone handphone milik sahabatnya.

Pikirannya seketika kembali dipenuhi rasa bersalah ketika jarinya menekan ikon merah yang menandakan ia menolak panggilan tersrbut. Ia benar-benar takut, bagaimana kalau nanti ketika Jaka bangun ia akan membencinya, atau akan melapornya, bagaimana jika Anzel berpikir untuk membunuhnya?.

Anzel mendudukan tubuhnya pada kursi yaang terletak tidak jauh dari tubuhnya, ia menundukan kepalnya kemudian degan tangan yang gemetar Anzel meraih handphone milik Jaka yang berada di saku celananya.

Ia mencari nama kontak yang tadi sempat menelephonenya.

"Ha-hallo!" Suaranya terdengar gemetar seakan-akan ia benar-benar takut akan terjadi hal buruk kepadanya.

'......'

"Maaf saya Anzel Temennya Jaka tante."

'........'

Form His Diary | Haechan (end)Where stories live. Discover now