8. Dia spesial

166 89 19
                                    

Jika cinta itu Anugerah terindah,
Kenapa rasanya sesakit ini?
Apa ini akibat dari jatuh cinta?
Jika ia aku tak akan pernah menginginkannya lagi.
🌻Sategorreng🌻

⚠️⚠️Tinggalkan jejak komen atau vote pada cerita ini untuk menghargai si penulis

~🌻🌻~

Seorang pemuda berjalan dengan perlahan, langkah kakinya yang sudah hampir tumbang tertuju pada pintu utama rumah yang bernuansa klasik tapi fasilitasnya tidak kalah dengan rumah modern jaman sekarang.

Tangannya yang sudah gemetaran mulai meraih gagang pintu tersebut. Kemudian dengan sisa tenaganya ia mendorong pintu tersebut hingga menampakan isi rumah tersebut. Pemuda itu melangkah memasuki rumahnya.

Langkahnya terhenti ketika telinganya mendengar suara yang menyebut namanya, ia menoleh menatap siapa sosok yang barusan memanggilnya, bibirnya yang pucat seketika melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah "Nenek." suaranya yang serak memanggil sosok yang ada di belakngnya.

"Anzel kamu kenapa sampai pucet gini?, mama sama papa kamu kemana?" Beliau yang melihat wajah cucunya pucat seperti mayat berjalan langsung membawa cucunya kepelukan hangat miliknya.

"Anzel gapapa kok nek." Anzel berusah untuk tetap tersenyum walaupun rasanya sangat menyaki kam ketika neneknya menaykan sosok orangtuanya.

"Gapapa gimana?, ini loh badan kamu aja gemetara gini!" Beliau memang sudah tua tapi beliau juga masih mempunyai indra perasa dengan keadaan sekitar bukan?, terlebih dia juga seorang ibu.

"Mama kamu mana?" Nenek Anzel langsung melepaskan pelukannya kemudian memegang wajah Anzel yang begitu dingin.

"Bentar ya nek Anzel mau kekamar dulu Anzel ngantuk, soalnya semalam begadang nemenin teman di rumah sakit." Lagi-lagi ia mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi saat ini ia sedang butuh istirahat memang.

"Ya udah kamu istirahat dulu ya Nenek mau ke dapur buatin kamu bubur dulu ya." mendengar itu lantas Anzel tersenyum dan mengambil langkah untuk menuju kamarnya, tak lupa ia mengacungkan jempolnya untuk merespon ucapan neneknya.

Setelah sampai di kamarnya Anzel segera menutup pintu rapat-rapat dengan, tenggorokannya benar-benar gatal, sedari tadi ia menhan diri untuk tidak batuk di hadapan neneknya, karena jika ia sudah batuk akan sulit untuk dihentikan, ia juga sempat kesulitan bernapas tapi untung saja sekarang ia sudah bisa betnapas dengan sedikit lega.

Jika biasanya orang-orang ketika sedang berdiam diri di pojok kamar selalu diiringi dengan musik sedih, berbeda dengan Anzel yang diiringi oleh suara batuk yang tidak mau bethenti, bahkan akhir-akhir ini sempat beberapa kali batuk disertai darah.

Sebenarnya harusnya ia melakukan pengecekan untuk kesehatan paru-parunya setiap satu bulan, namun sudah tiga bulan lamanya ia tak melakukannya disebabkan oleh rasa takut yang ada padanya ia tak mau mendengar suara dokter yang mengatakan 'kondisimu memburuk' tetapi untuk obat ia tak pernah melewatkannya pasalnya jika kondisi sedang sangat genting hanya dengan meminum satu butir obat saja pasti akan langsung membaik.

Tapi kini badannya benar-benar lemas, nyeri juga ia rasakan pada dadanya, napasnya terdengar seperti siaulan. Ia menatap tungkai kakinya yang terlihat membengkak, dengan susa tenaganya ia mengambil sesuatu di dalam laci nakas yang terletak tak jauh dari ranjang tidurnya.

Ia segera menghirup benda tersrbut. Inhaler, ya benda itu inhaler yang ia gunakan selama dua tahun belakangan ini. Napasnya kini mulai teratur, ia menjatuhkan tubuhnya pada ranjang tidurnya. Pelan tapi pasti mata itu terpejam dengan tangan yang meremas sprai ranjang tersebut guna mengurangi rasa nyeri pada dadanya.

Form His Diary | Haechan (end)Where stories live. Discover now