19. Memulai dari sampul

117 10 0
                                    

Biarkan aku dan awan menangisimu untuk kali ini saja. Agar tidak menjadi beban hingga di akhir hidupku.

Sudah tiga bulan lamanya Anzel pergi dari bumi pertiwi, tanpa membawa luka pada Deja ikut bersamanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sudah tiga bulan lamanya Anzel pergi dari bumi pertiwi, tanpa membawa luka pada Deja ikut bersamanya. Sungguh pria itu benar-benar ingkar kepadanya. Hujan selalu datang menyampaikan pesan dari pria itu, walau ia tak pernah tau patah kata yang tersampaikan. Tetapi ia selalu tau akibat wangi kerinduan yang di bawa rintik hujan.

Ia akan selalu menangis di mana jika hujan tidak mendatanginya di malam hari. Semesta tidak boleh abai dengan kepergian pria sebaik Anzel. Harap ada yang menangisi lelaki itu setiap malamnya.

Malam ini hujan datang, Deja menatap tetes air hujan melalui jendela kacanya. Aroma cokelat yang masih panas menerbak ruangan itu. Gadis itu berjalan ke arah meja belajarnya. Ia mengambil sebuah kotak berwarna kuning dengan motif bunga matahari dan tergambar beberapa bunga Kenanga di sana.

Deja kembali berjalan ke dekat jendela dengan kotak tersebut. Perlahan jemarinya bergerak membuka kotak tersebut. Ia mengambil sebuah amplop kecil di dalamnya. Tubuhnya tiba-tiba merinding ketika matanya melihat noda darah yang sudah kering pada amplop itu. Ia mencoba abai dengan itu, ia menatap tulisan-tulisan yang berada di luar amplop itu.

Matanya meneteskan cairan bening yang membasahi amplop itu, ia tau benar itu adalah tulisan tangan dari pria yang selalu ia rindukan. Ia juga tau kapan lelaki itu menuliskan surat itu. Airin yang telah memeberi tahu tentangnya. Malam sebelum Anzel di bawa kerumah sakit, lelaki itu menahan sakitnya hanya untuk gadia yang tidak tau diuntung sepertinya.

'Hai Deja!' itulah kata pertama yang ia lihat dari sampul amplop yang berada di genggamannya.

"Hai juga Anzel, gimana di sana baik kah?" Deja berucap dengan lirihnya, ia tak kuasa menahan tangisnya. Seharusnya pria itu yang ada di sini sekarang, seharusnya pria itu yang membuatnya sembuh dari sakit mentalnya. Tetapi Tuhan mendatangkan pria lain, untuk membantunya sembuh dari sakit mentalnya.

Deja membalikan amplop tersebut, di sana juga ternyata masih ada ucapan dari lelaki itu. Di sana ada ungkapan semangat dati pria itu yang pastinya di tunjukan untuk dirinya.

"Udah tiga bulan kamu ninggalin aku zel, makasih buat semuanya,Aku ga mau nyalahin kamu tentang jiwaku yang rusak, tapi kenapa setelag kamu pergi aku baru bisa sembuh zel?"

Deja membuka amplop tersebut, seperti dugaanya, di dalamnya ada surat. Hatinya sakit, jiwanya teriris ketika ia melihat isi surat itu di penuhi dengan noda darahnya. "Sepenting itu aku buat kamu, tapi selama ini aku buta, aku mengira kanu melepasku begitu saja." gadis itu berucap di tengah isakan-isakan kecilnya.

Deja melipat kembali selembar kertas itu, ia membawanya kedekapan, mengingat bagaimana pelukan hangat yang pernah ia dapat dari pria yang kini benar-benar tiada lagi bersamanya. Ia mengingat bahwa dirinya pernah mendapatkan bisikan dari lelaki itu. 'Kalau Deja suka sama Anzel, semoga Anzel bukan laki-laki terakhir yang ada di hati Deja ya, soalnya perjalanan Deja masih panjang.'

Form His Diary | Haechan (end)Where stories live. Discover now