15. Mantan!

81 15 1
                                    

Entah apa, aku tak pernah tau apa yang membuat Dunia selalu mengkhianatiku.
🌻Anzel🌻

⚠️⚠️maaf apabila ada kesalahan dalam kepenulisan, itu benar-benar tidak disengaja

Hari ini adalah hari dimana pemilu calon ketua HIMA akan dilaksanakan. Semua kandidat ketua HIMA baru saja menyelesaikan pidato dalam menyampaikan visi misi mereka dalam menjadi seorang pemimpin organisasi terbesar di kampus mereka.

Anzel, ia memilih duduk di kursi yang paling dekat dengan tempat duduk Arion dan juga Joan, Keduanya tampak asik dengan pembicaraan yang tidak Anzel ketahui pokoknya. "Ari!, setelah ini kita ga ada kelas kan?" tanya Anzel, tangannya sedikit menyenggol Arion dengan alasan agar Arion segera merespon kehadirannya.

"Bentar." Arion hanya melirik Anzel sekilas, kemudian ia melanjutkan pembicaraannya dengan Joan.

Anzel yang merasa di acuhkan, ia pun memilih untuk memainkan handphonenya untuk meredam kekesalannya. Anzel sekilas mencuri-curi pandang pada Arion, tetapi ia sama sekali tak mendapatkan respon apapun dari Arion.

Sudah cukup lama Anzel menunggu, ia menyimpan handhhonenya ketika Arion menupuk pundaknya. "Mau pulang?" tanya Anzel lalu dijawab anggukan oleh Arion.

Anzel dan juga Arion mengubah posisi mereka, yang tadinya duduk kini mereka sudah berdiri. Keduanya melangkahkan kakinya meninggalkan Joan yang masih terduduk.

Anzel dan Arion kini sedang berbincang di tengah perjalanan mereka menuju parkiran. Arion mengernyit ketika ia melihat darah segar keluar dari hidung Anzel. "Zel lo mimisan!" Anzel meraba hidungnya dengan tanganya, benar saja ia mimisan.

Anzel meraih ransel yang ada di punggungnya, kemudian ia mengambil beberapa lembar tisu dan segera ia usapkan pada bagian hudungnya serta tangannya yang terkena daraha. Bahkan bajunya yang tadinya berwarna putih bersih, kini sudah terkena noda darah. Beruntungnya ia membawa jaket untuk menutupinya.

Anzel menyumbatkan tisu itu pada lubang hidungnya yang belum berhenti mengeluarkan darah. Sementara Arion, ia menatap Anzel penuh kekhawatiran.

"Ada yang sakit ga zel?" tanya Arion dengan nada khawatir.

"Ga kok sans aja!" Anzel berusaha menenangkan Arion, walau sebenarnya dalam hatinya benar-benar takut. Apa sudah separah ini?.

"Ya udah yuk kita pulang." Anzel melangkah mendahului Arion yang kini ia pun ikut melangkah, hingga mereka sampai pada tempat terparkirnya mobil milik Anzel.

Anzel terlihat memasuki mobilnya, diikuti oleh Arion yang juga memasuki mobil milik Anzel. Mata Arion tak pernah lepas dari pergerakan Anzel.

"Lo beneran gapapa kan zel?" tanya Arion, ia memastikan bagaimana keadaan sahabatnya.

"Aman, gue gapapa." Anzel mengcungkan jempolnya, kemudian tangannya terulur meraih sesuatu yang berada di dalam dasbor maobil tersebut. Ia membuka tabung itu, kemudian mengambil satu butir pil dari dalamnya. Ia menelan pil tersebut tanpa air.

"Zel!"

"Kenapa?"

"Itu obat dari dokter kan? Bukan obat yang bisa ngebahayain organ tubuh lo?" Anzel dengan susah payah menelan ludahnya, ia tidak mungkin memberitahu Arion jika itu adalah pil penahan rasa sakit.

"Hah?, iya itu obat dari dokter kok." Nada bicara Anzel terdengar gugup, tapi semoga saja Ariom tidak mencurigainya.

"Ouh, syukurlah."

Anzel mengangguk kemudian ia segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, hingga Anzel menghentikan mobilnya di pinggir sebuah rumah yang terkasan klasik namun mewah. Anzel melirik lelaki di sampingnya yang sibuk bermain handphone.

Form His Diary | Haechan (end)Where stories live. Discover now