XII. The Calm Before The Storm

7.5K 1.1K 58
                                    

Ah persetan tinggal berapa hari lagi dan gimana akhir antara dia dan kak Jihoon, Hyunsuk mau nikmatin aja. Barangkali setelahnya nggak bakalan ngerasain yang kayak gini lagi; diperhatiin, dinomor satukan, disayang-sayang. Ya kalo dipikir-pikir ya sedih, tapi mau gimana lagi? Dari awal dia setuju dengan hubungan ini juga akhir ceritanya udah bisa diprediksi.

Apa harusnya dari awal nggak usah dimulai? Tapi buat apa juga disesali? Beberapa rasa sakit pantas buat dirasakan kalau bahagianya luar biasa. Mungkin ini harga yang harus dibayar buat kebahagiaan satu bulan ini.

Mereka makan malam berdua dikantin rumah sakit, ditemani banyak perbincangan seru dan candaan lucu. Harusnya... harusnya Hyunsuk senang bisa ketawa sebegini bebasnya tapi kok rasanya seperti ketenangan sebelum badai?

Mungkin kak Jihoon mau mengakhirinya dengan bahagia, ya?

Malam semakin larut dan Jihoon mengantuk. Hyunsuk yang menyadari itu menepuk pahanya agar Jihoon menidurkan kepalanya disitu.

Hyunsuk duduk, sedangkan Jihoon tiduran dibangku panjang dengan berbantalan pahanya.

Hyunsuk mengusap surai Jihoon lembut. Dan hal itu membuat Jihoon terlelap lebih cepat.

“Kak Jihoon, nanti, kalo hubungan kita usai, jangan sering-sering makan junk food ya,” bisik Hyunsuk. Ia menunduk, memainkan surai Jihoon dan mengulum senyum. “Sering-sering juga nemuin ayah kakak.”

“Aku seneng bisa ketemu kakak. Ngehabisin waktu bareng kakak. Hal yang kayak gini nggak perlu disesali kan ya?” tanya Hyunsuk. Entah pada siapa.

Hyunsuk mencium kening Jihoon agak lama. Ketika dia mengangkat wajahnya, sebulir air mata turun tanpa permisi.

Hyunsuk pikir, Jihoon sudah terlelap, pergi kealam mimpi dan semua yang Hyunsuk ucapkan nggak bisa didengar Jihoon.

Tapi nyatanya Jihoon masih terjaga. Mendengar semua ucapan Hyunsuk. Bahkan dia menyadari kalau Hyunsuk menangis.

Rasanya diabingin, ingin sekali menarik Hyunsuk kepelukannya. Tapi nggak bisa.

***

Papi Hyunsuk sembuh. Utangnya juga udah lunas. Papi pulang kerumah, begitu pula Hyunsuk yang pulang ke apartemen Jihoon. Bersama Jihoon tentunya.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Benar-benar biasa. Mereka masih sering berbincang, membicarakan banyak hal, bercanda, pelukan, cuddling, hal-hal normal yang mereka lakukan masih tetap menjadi rutinitas.

Benar-benar the calm before the storm, menurut Hyunsuk.

Hingga hari yang ingin Hyunsuk hapus dari kalender akhirnya tiba. Hari terakhir dia dan Jihoon sebagai sepasang kekasih (bohongan). Awalnya Hyunsuk mau benar-benar menghabiskan waktunya bersama Jihoon hari ini karena besok udah nggak akan ada lagi pagi hari diawali dengan kecupan, pelukan yang diberi saat Hyunsuk sedang memasak, godaan-godaan kecil yang sering Jihoon lontarkan. Besok hanya akan ada Choi Hyunsuk dengan hidupnya dan Park Jihoon dengan pekerjaannya. Mereka akan kembali keawal, seperti tidak pernah mengenal, mungkin?

Tapi harapan Hyunsuk pupus kala ia terbangun dan Jihoon tidak ada disisinya. Yang ia lihat hanya secarik kertas dengan tulisan tangan Jihoon.

Maaf. Saya ada pekerjaan mendesak. Bakalan balik tiga hari lagi mungkin. Maaf ya? Make yourself comfortable ya.

Begitu yang tertulis disana.

Dada Hyunsuk nyeri. Kak Jihoon emang nggak inget ini hari terakhir atau dia mau menghindar?

Hyunsuk bergegas bangkit dari kasur. Mengemasi barang-barangnya. Bersiap untuk pulang.

Buat apa juga dia tinggal disini kalo yang punya apartemen pergi jauh? Besok juga Hyunsuk udah nggak ada hak buat melangkahlan kakinya lagi disini.

Makan Hyunsuk menulis sesuatu dikertas.

Kak Jihoon makasih buat sebulannya. Black card kakak aku kembaliin. Makasih banyak buat semuanya. Aku seneng kenal kakak.

Kak Jihoon keren. Jangan lupain itu ya.

Hyunsuk.

Diletakannya surat itu diatas kasur. Untuk beberapa menit ia mengamati kamar Jihoon yang rapih. Setiap sudutnya ia amati, mungkin untuk disimpan didalam memori bahwa kamar ini pernah menjadi saksi dari kisahnya dan Jihoon.

Sugary Dad [COMPLETED]Where stories live. Discover now