2

9 1 0
                                    


Hari ini hari pertama gue untuk kegiatan MPLS. Namun, dihari pertama ini ternyata ddewi Fortūna tidak berpihak ke gue. Yaudahlah ya namanya juga nasib, kalau udah jalannya mau gimana lagi? Nggak ada yang bisa ngerubah, kan?

"KENAPA TELAT?!" teriak cowok itu dengan songong.

Elah, dikasih sapa kek atau dikasih senyum biar adek meleleh atau gimana gitu. Lah ini? Bernapas aja belum udah di teriakin aja. Emang pikir kuping gue ini budeg apa. Ganteng aja enggak sok-sokan. Hadehhh..

"Waalaikumsalam, Kak. Selamat Pagi," jawabku.

Cowok itu menaikkan tangan kirinya di atas pingang, kakinya dibiarkan santai, dan tangan kanannya ia gunakan untuk meraup wajah miliknya. Lo pikir lo ganteng apa? Sok sokan kek drama drama yang meranin jadi tokoh utama. Kesel jadian.

Cowok itu menggigit bibir bawahnya sendiri, "Buat kali ini! Kamu bisa masuk ke barisan kelas kamu. Tapi besok! Jangan sampai telat lagi. Mengerti?!" tanya cowok itu tegas.

"Mengerti kak."

Cowok itu memajukan sedikit kepalanya, mengarahkan telinganya di hadapan gue, "Apa? apa? Nggak denger." Tubuh cowok itu kembali tegak seperti semula, "Kalau jawab itu yang keras! Nggak menye-menye kaya gitu!" lanjutnya tegas.

Tuhkan, sebenernya yang budeng itu gue atau dia sih? Ngebentak-bentak melulu, "MENGERTI KAK!" Gue langsung ngejawab dengan lantangnya. Bahkan kaca aula yang gede banget itu pecah dan menimbulkan kebisingan.

Semua siswa dan guru, yang ada di luar maupun dalam gedung semua ikut keluar. Bahkan ada yang sampe pingsan segala, alay banget. Apalagi itu cewek yang lagi bawa kipas angin portable yang lagi tanya tanya sama Kakak yang ngobrol sama gue tadi. Sok iyes banget bahasanya. Inggris-Indo, Inggris-Indo, Halah, Pret. Ngomong Indonesia aja masih pake 'E' nggak pake 'i', selagak bergaya pake bahasa Inggris. Dan mulai dari itu gue berpikir gimana jadinya kalau gue sekolah di sini? Udah kakak kelasnya pada alay-alay semua, ada yang lebay banget, lebay, biasa, santai bahkan santai banget kaya mbak-mbak yang baru aja keluar pintu kelas. Hah, dari tadi kemana aja mbak? Nggak keluar-keluar.

Oh iya, satu lagi, salah satu cewek seangkatan gue berhasil mempermalukan gue di depan umum. Wah... Cari mati dia, nggak tahu siapa gue? Lihat aja nanti. Berani beraninya ngatain gue alay, cabe, misqin, bahkan hal yang nggak pengen gue sebutin 'cebol'. Hadeh.. Taik lah.. Elah... Ih.. Awas aja!

***

"Adeknya pendek banget"

"Dek, suit..suit.."
"Dek, dek, salah sekolah dek"

"Anak SD nggak disini"

"Dek minta nomer teleponnya"

"Itu beneran kelas 10"

"ih.. Imut tahu"

Hadeh.. Gini nih kalau jadi orang cantik, langsung famous-kan. Iyalah, Ara gitu loh. Gausah tebar pesona sana aini langsung terkenal..!

Enggak temen angkatan, temen kelas, kakak kelas, bahkan guru aja ngatain gue kalau gue tinggi. Ah elah. Kenapa sih di negara ini selalu memandang orang dengan fisik? Kaatanya 'Berbeda-beda Tetap Satu Jua', berbeda beda sukunya tetapi tetap satu, dan berlaku untuk berbeda beda tingginya tetapi tetap satu juga kan? Heran deh.

"Ini kenapa sapu ijuknya cuma ada 20?" tanya Gilang, yang tadi sudah memperkenalkan dirinya didepan. Ia menjabat sebagai wakil ketua OSIS 2.

Tuh..tuhkan.. Sial lagi gue. Aishh.. Hari ini kok kesialan menimpa gue sih. Tar kalau gue dihukum gimana? Trus nanti ketemu ketua osis trus nyuruh gue buat keliling lapangan 100 kali trus gue pingsan trus gue digendong ke UKS trus pas gue sadar ketua OSIS nya ganteng. Huh.. Napas dulu.. Oke! Itu kaya drama banget, dan nggak akan mungkin terjadi di kehidupan nyata.

Gue dengan hati yang nano-nano gitu langsung mengacungkan tangan. Otomatis sudah kata-kata meluncur seketika dari Gilang, sang wakil ketua OSIS 2.

"Berdiri dong, Dek. Kalau cuma ujuk tangan gitu nggak kelihatan," ucapnya sambil menggaruk tengkuknya. Entah itu gatal, atau panuan gue nggak tahu. Tapi sedetik kemudian dia nyentil item-item dari dalem kukunya. Ewh...

Gue berdiri, dan gue ngerasa kalau gue duduk dan berdiri sama aja gitu. Nggak nambah-nambah. Pas gue mau ngelihat Kak Gilang, eh dianya malah ngobrol sama temennya. Misuh sudah batinku ini.

"Dek, kamu ikut Kak Nabila ya," ucap Gilang sambil menunjuk Nabila yang hanya senyum-senyum saja.

Gue cuma cengo ngelihatin doang, dan akhirnya gue sadar kalau gue dari tadi cengo. Gue melangkah mendekati Kak Nabila dan mengikutinya keluar kelas.

OMG! Oh May Gat! Gila! Sumpah! Kalian tahu? Pastinya enggak. Gue kasih tahu nih. Ini adalah sebuah tempat dimana dedaunan tumbuh. Oke, ini sepertinya taman sekolah, yang sengaja nggak di bersihkan. Kotornya minta ampun, mana ada kodok, bekicot, semut, jentik-jentik lagi.

Gue cuma natep Kak Nabila dengan penuh harap, "Ya Tuhan semoga aja, semoga, semoga," begitulah kira kira isi batinku.

"Nabila!"

"Eh, David. Ada apa, Vid?" tanya Nabila.

Waduh. Keknya gue kenal nih siapa laki-laki itu. Aduh siapa ya? Kenapa gue jadi lupa tiba-tiba? Ayo berpikir, berpikir. Kok gue jadi cemas gini ya? Aduh.. Siapa sih..?

Duar!

"Eh, Anjing!" wah, umpatan gue keluar nih. Mati aja sana Ra. Nggak guna hidup lo.

"Eh, lo yang tadi nabrak guekan?" ucapnya mengintimidasi. "Dan sekarang lo udah berangkat telat, nggak bawa sapu lagi, lo niat sekolah nggak?" tanyanya. "Sekarang kalau lo disini berarti lo tahu hukuman lo. Bersihin taman ini," ucapnya sambil memberikan satu trash bag.

Ya karena gue tahu kalau gue salah ya gue terima aja trash bag-nya. Tapi kalau suruh bersihin taman ini cuma dengan tangan mulus gue ya gue nggak mau. Masa suruh beresin taman ini dengan tangan telanjang. Gila tuh cowok, kalau ada kesempatan lain buat ketemu di luar sekolah, gue tabrak aja lagi sampe mati.

Oh em ji. Kulit tanganku serta kuku kuku ku yang habis masuk salon. Maaf in gue ya, karena nggak bisa ngerawat kalian. Jangan nangis dong Ku, tar gue ikutan sedih.

Gue mau kasih tahu ke kalian semua. 'Balaslah dendam itu, jika kalian merasa dendam.' Lihat aja Kak David, mati lo di tangan gue.

_________________________

👇 don't forget to vote and comment

Ara's LifeWhere stories live. Discover now