pertemuan itu

24 2 2
                                    

Entah dunia yang begitu kejam,
atau aku yang terlalu menganggap terlalu dalam?
Se bercanda itukah hidup?

"Irfan tunggu." Teriak Karina dengan begitu ngos-ngosan.

Sedang Irfan berusaha mungkin untuk berlari menjauh setelah mendengar dan melihat seseorang yang tengah memanggil namanya tidak lain dan tidak bukan adalah Karina.

"Irfan tunggu." Karina merengek, ah lebih tepatnya sedikit memelas pada Irfan yang masih saja terus menjauh darinya.

"Irfan." Lagi-lagi Karina terus saja mengejarnya, untuk bisa sejajar dengan langkah kaki Irfan.

Namun lagi-lagi Karina masih saja tertinggal di belakangnya. Meski tidak terlalu jauh, namun cukup membuat Irfan semakin lebar untuk melangkahkan langkahnya.

"Irfan pliss tunggu, ini Karina." Kali ini Karina berusaha memperkenalkan dirinya kembali.  Namun naas, Irfan tetap saja tak menggubris, bahkan ia semakin jauh meninggalkan Karina yang sudah kelelahan. Bahkan tetesan demi tetesan keringat telah membasahi tubuhnya.

"Aw," teriak Karina spontan, dengan meringis menahan sakit.

Iya, kali ini Karina tersungkur ke tanah, saking sibuknya mengejar Irfan hingga tak melihat ada lobang kecil di sana.

Sontak saja Irfan yang mendengar suara rengekan Karina, segera berbalik arah ke belakang.
Meski langkahnya masih memilih diam, hanya kedua matanya yang masih setia menatap Karina dari jarak jauh.

Ah lebih tepatnya Irfan masih ragu untuk menolongnya, karena bagaimanapun di mata Irfan, Karina sudah menjadi orang jahat karena telah berhasil merusak barangnya.

Sedang Karina malah menatap iba luka yang ada di lututnya itu, bahkan ia sudah tak ingin mengejar Irfan kembali setelah berhasil melihat darah di lututnya. Air mata Karina secara spontan mengalir begitu saja, bahkan ia sudah tak bisa lagi membendungnya.

"Ah," Karina merasa frustasi, kali ini ia sudah muak dengan semua ini, bahkan meski Irfan sudah tak mau pemperdulikannnya lagi.

Mendengar kekesalan Karina, Irfan semakin gelisah, ia mulai menggigit kuku-kukunya sambil berputar-putar di tempat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghampirinya.

"A..y...o." Kali ini tanpa sengaja suara seseorang laki-laki berbicara kepada Karina sambil mengulurkan tangan kanannya.

Sontak saja Karina berusaha menghapus air mata sebentar, sebelum akhirnya ia berusaha untuk menatap seseorang tersebut.

"Irfan." Karina tersenyum meski senyumnya tak ada balasan dari sang empu.

"Ay...o" terangnya lagi, dengan nada bicara sedikit gugup.

"Ah iya," Karina mulai menjawab uluran tangannya.

"Terima kasih Irfan." Terang Karina kembali setelah berhasil berdiri.

Namun bukannya Irfan menjawab ucapan Karina, ia malah memilih mengambil sesuatu di tas selempang yang selalu ia bawa kemanapun.

"Nih, p...a..ka...i kan.. i..ni... d..i... luka... kamu" ucap Irfan sambil menyodorkan hansaplas padanya.

"Ah, makasih fan." Jawab Karina bahagia mengambil hansaplast dari tangannya lalu ia mulai mencoba untuk memasangkan ke lutut yang terluka itu.

"Fan, sekali lagi terima kasih ya, oh iya Fan aku...."  Belum tuntas Karina bicara, namun seseorang yang di ajak bicara telah menghilang begitu saja.

Sontak saja Karina mulai melihat ke sana kemari, hingga di kejauhan sana, Irfan tengah melangkah menjauhi dirinya. Padahal Karina hanya ingin meminta maaf padanya.

"Irfan, makasih hansaplast nya" Karina mencoba berteriak karena Irfan telah jauh meninggalkan Karina. Namun tak ada respon apapun dari Irfan.

"Ah sudahlah mungkin dia tidak mau dengar atau mungkin memang tidak dengar kali ya." Terangnya sebelum akhirnya ia mencoba berdiri untuk pulang.

Dengan berjalan sedikit pincang, Karina terus saja melangkah satu demi satu.
Karina tidak habis fikir, ternyata Irfan sangat begitu membencinya.

Setelah tiba di rumah, Karina mencoba merebahkan tubuhnya di kasur lalu terlelap tidur. Tubuh Karina telah lelah, ia telah frustasi bahkan sedikit stress. Tidak tau lagi harus bagaimana mengembalikan kepercayaan Irfan terhadapnya.

"Ah sudahlah." Karina mengacak-acak rambutnya lalu mengakhiri dengan memilih tidur. Mungkin hanya inilah yang bisa Karina lakukan saat ini, saat semua jln masih terlihat kelabu dan buntu. Tidak masalah kan jika masih memilih berhenti dulu? Setidaknya mengecas energi sebentar sebelum berusaha kembali melanjutkan hidup yang begitu terlihat datar.

Setidaknya hari ini sudah berusaha, meski belum ada hasil yang nyata. Bukankah ini jauh lebih baik dari sekedar menunggu jawaban semesta?

"Tok-tok-tok," ketokan pintu seketika terdengar, sontak saja Karina bukannya membuka pintu, ia malah menatap jam dinding.

"padahal ini masih pukul 12.00 Wib tidak mungkin kan jika ibu sudah pulang?" Karina masih terus saja bergumam, ah lebih tepatnya otaknya terus saja berbunyi.

"Karina, ibu pulang." Kali ini suara ibu Medina seketika terdengar di telinga Karina, sontak saja Karina segera bergegas keluar.

"Iya Bu, tunggu." Teriak Karina sambil berjalan menuju pintu utama.

"Tumben ibu sudah pulang?" Karina mulai mengintrogasi ibunya, lebih tepatnya curiga. Takut-takut akibat perbuatan Karina di tempat ibunya Minggu lalu telah berakibat fatal pada pekerjaan sang ibu.

"Ibu gak lagi di pecat kan?" Karina mulai was-was bahkan khawatir berlebih, takut jikalau apa yang telah ada di pikirannya memang benar adanya.

"Ibu Assalamualaikum  dulu ya," Kali ini ibu Medina mencoba melangkah masuk ke dalam, bahkan ibu Medina sedikit tersenyum geli akibat pertanyaan aneh Karina dengan raut muka yang suram sekali.

"Ah ibu..., Iya-iya waalaikum salam, eh tapi gimana, ibu gak lagi di pecat kan?" Karina masih belum sepenuhnya paham juga rupanya, padahal ibu Medina sudah tersenyum lebar bahkan sedikit gemas melihat anaknya yang masih bereaksi penasaran begitu.

"Ih ibu kenapa senyum-senyum begitu, ih, jawab dong pertanyaan Karina ih." Karina mulai sebal, bisa-bisanya sang ibu masih tetap tenang, padahal Karina sudah kocar kacir atas fikiran-pikiran negatifnya.

"Karina,"

"Ah iya Bu, bagaimana?"

"Ah iya Bu, bagaimana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.












Kapten Spektrum (Tamat)Where stories live. Discover now