Gracie Abrams — Mean It
______
SEBELUM keluar dari mobil, Insan diam-diam memandangi Rere yang tengah bercermin. Memastikan cushion, concealer, dan bedak yang dipoles ke wajahnya sudsh sempurna. Bibirnya yang diwarnai didominasi tinta peach ia katupkan rapat sebelum ia buka sampai menimbulkan suara.
Ia tersenyum sekilas, lalu membenarkan tatanan rambutnya yang sudah diblow. Tubuhnya dibalut dress mustard floral selutut memberi kesan chic. Ini merupakan kali pertamanya bertemu orang tua Insan, semua harus sempurna. Harus.
"Yuk."
Rere meraup goodie bag putih berpita pink yang tergeletak di jok belakang, lalu keluar dari mobil. Begitu memasuki rumah, Insan menggandeng Rere menuju seorang wanita yang tengah berdiri di ruang tamu.
"Bu, kenalin ini Rere."
"Assalamualaikum, tante."
"Wa alaikum salam," sahut wanita paruh baya yang membelakangi mereka. Ia langsung berbalik. Kedua tangannya sibuk membenarkan bros hijabnya. Rere tertegun. Ia melirik Insan sepintas. Ternyata wajah mereka memang sangat mirip. Dari sini ia langsung tahu jika inilah ibunya Insan.
"Kenalin bu, ini Rere."
"Oh... aslinya cantik ya," ujar Indah— ibu Insan. "Kayak yang di foto."
Rere refleks melirik Insan. Namun laki-laki itu langsung mendongak, dan memutar matanya—pipinya mengembung karena menahan senyum.
"Makasih tante..." Rere tersenyum lebar dan menyalimi punggung tangan wanita bergamis hijau sage itu.
"Sebentar ya," ujar Indah. Ia berjinjit dan mendongakkan kepalanya. "Di! Di! Sini, Di!" Serunya.
Tak lama muncul perempuan berdress biru muda dari balik pilar tangga. Senyum Rere tersungging lebar ketika adik kelasnya berjalan mendekatinya.
"Hai, Di." Cengiran Rere masih melebar. Tangan kanannya terulur, menjabat milik Diana. "Happy birthday ya!"
"Makasih kak Rere!" Sahut Diana, semringah.
Rere menjulurkan goodie bag yang sejak tadi dijinjingnya. "Semoga suka ya," ujarnya.
"Ih repot-repot! Makasih lagi ya, kak!" Seru Diana, menerimanya dengan semringah.
"Bilang apa?" Giliran Insan menjulurkan box kecil yang sejak tadi ia sembunyikan dibalik punggung.
"Makasih bang!" Diana refleks memeluk Insan. Ia menggoyangkan box cokelat itu, menebak-nebak isinya. "Ini kamera analog yang gue bilang kan?"
Tak lama, dua orang pria dari dapur menghampiri mereka. Yang terlihat seumuran Insan mengenakan kemeja camel. Yang satu lagi seorang bapak berpostur gemuk dibalut kemeja putih, dan Rere langsung bisa menebak bahwa ialah ayah Insan.
"Nah ini nih tamu yang ditunggu-tunggu," ujar Jati—ayah Insan.
Rere lantas menyalami pria tersebut, dan Insan mengikutinya. "Assalamualaikum Om, aku Rere."
"Wa alaikum salam, nak," ucapnya. "Jadi yang ini ya, San?" Pria itu melirik Insan dan direspon kerlingan sekali oleh laki-laki itu.
"Yang tiap malem sleepcall-an om sampe subuh." Celetuk laki-laki berparas oriental yang kini berdiri di sebelah Insan.
"Oh ya?!" Seru Diana heboh.
"Apa tuh sleepcall?" Tanya Indah.
"Telfonan malem sampe subuh, bu."
YOU ARE READING
Real Talk
RomanceFor all the time we spent, For all the conversations we talked, For all the road we rode, For all the tears we shed. Still i remember how it began to end. I won't ever regret you. Ever.