6. Remember Me?

371 48 10
                                    

UMI — Remember Me
_____

HAMPIR dua jam sudah Rere hanya duduk menikmati kesendiriannya. Tak banyak yang ia lakukan selain memainkan ponsel sambil menikmati es greentea latte. Rere menutup laptopnya, tugasnya sudah terkoodinir dengan baik membuatnya lega. Ia tersenyum tipis, merasa bersyukur atas segala hal yang ia miliki sekarang.

Keputusannya untuk tetap menyendiri, terkadang membuatnya dilanda galau. Ia merindukan sosok pacar. Tetapi, serindu-rindunya perempuan itu menjalin hubungan asmara dengan seseorang, rasanya belum siap jika ia harus merasakan pahitnya sakit hati lagi.

Entahlah.

Perempuan berambut lurus itu tersenyum kecut, menyadari bahwa bertahan di atas kesendirian tidak melulu berdampak baik. Rere terkadang menyesali sifatnya yang terlalu labil.

Tak terasa dua bulan sudah ia menyandang status single. Mungkin bagi sebagian orang, inilah waktu yang tepat untuk menjalin hubungan baru. Sempat beberapa kali ia hangout bersama beberapa lelaki. Namun, tak ada satupun dari mereka yang membuatnya merasakan ada getaran.

Bukan maksud Rere menutup hatinya.

Tetapi, kalau soal hati siapa sih yang bisa berbohong?

Suara dering ponsel tiba-tiba saja membuyarkan lamunannya.

"Halo bun?" Sapa Rere setelah menerima panggilan.

"Halo, nak. Kamu udah makan?"

Rere menghela. "Udah, bun. Bunda udah?"

"Udah," wanita di seberang menghela napasnya. "Bulan depan bunda jadi pulang ya. Rumah jangan berantakan."

"Iya, bun," kata Rere. "Emang Mbak Puput nggak balik lagi ya?"

"Nanti kalo udah di Jakarta bunda mau ajak kamu ke rumah dia di Babelan,"

Rere mengernyit. "Babelan? Mana tuh?"

"Bekasi."

Rere tertegun sesaat, teringat seseorang. "Oh, jauh ya."

"Yaudah, bunda lanjut lagi ya," ujar Bunda. "Jangan lupa sholat, jangan main terus!"

"Iya, bun. Tenang."

Setelah sambungan panggilan terputus, Rere menoleh ke kanan, dilihatnya sepasang kekasih berseragam SMA swasta tengah bergelendotan sambil ber-selfie ria, seolah tak peduli mereka berdua jadi sorotan. Dan hal tersebut mencekiknya, membuatnya rasa yang tidak mengenakkan menyelimuti dirinya.

Rere mendongak, menatap payung merah yang menaunginya. Sebetulnya, ia baru berani mengunjungi tempat ini setelah dua tahun merasa cemas yang mendalam. Pasalnya, tempat ini punya kenangan tersendiri untuknya.

Tentu ia teringat suatu kejadian di tenda circle K ini bersama sosok yang pernah singgah di hidupnya dua tahun lalu. Rasa rindunya terhadap lelaki itu kian menggebu. Meski dua tahun sudah berlalu, tetapi Rere tak mau munafik bila perasaan cinta itu masih ada.

Ingin sekali ia menghubungi lelaki itu. Tapi, ia tahu diri. Terlebih ia tahu kondisi yang sudah tak lagi memungkinkan.

Setiap kali baru putus dari mantannya, bayang-bayang tentang sosok itu selalu hadir. Dan, tak jarang ia membandingkannya dengan mantan-mantannya yang lain.

Sejauh ini, ternyata dialah yang terbaik.

Dalam sekejap, bayangan tentang sosok itu hadir di kepalanya lagi. Mulai dari tawa renyahnya, cara pandangnya terhadap dunia, tatapan mata tedugnya, suaranya, gesture tubuhnya, lelucon tak jarang payahnya dan sentuhan tangannya.

Masih terngiang jelas bagaimana ia pernah menjadi satu-satunya sosok yang memprioritaskan Rere dibandingkan dirinya sendiri, dan hal-hal indah lainnya yang laki-laki itu perbuat. Sehingga menyisakan rindu yang terasa berkali-kali lipat lebih menyakitkan saat dikenang.

Hal tersebut membuat Rere terkadang bertanya, apakah laki-laki itu masih mengingatnya?

Perempuan berkaos hitam itu mendongak di sela lamunannya, menatap payung merah di atasnya dengan helaan napas. Rere rindu, ia merindukan laki-laki yang kini telah menjadi kekasih orang. Sebetulnya, Rere juga tak mau mencintai orang yang sudah bahagia.

Tetapi, lagi-lagi.

Hati tak bisa memilih kepada siapa berlabuh.

Terakhir kali Rere mencari tahu kabar laki-laki itu, minggu lalu. Bahkan, sekadar melihat aktivitas laki-laki itu di Instagram saja penuh perjuangan; Rere harus melihat akun lelaki tersebut dengan akun palsu. Belum lagi, harus kuat hati melihat potret-potret mesranya bersama orang lain.

Tak jarang, hal ini menjadi pemicu bagi Rere untuk membandingkan hidup mereka.

Dan, bagian paling menyakitkan adalah melihatnya bahagia tanpa Rere, malah lebih bahagia.

Suara notifikasi chat masuk menyadarkan Rere. Perempuan itu meraih ponselnya, sontak ia mengernyit membaca tiga pesan yang baru saja masuk.

Akbar Kurniawan: i know i messed it up but i really want you back

Akbar Kurniawan: i miss you

Akbar Kurniawan: like crazy

Rere tertegun, kemudian menghela napas dalam-dalam. Mungkin bila Akbar mengirim pesan ini di minggu pertama putus, Rere akan luluh. Besar peluang bagi mereka untuk bersama kembali. Tetapi, untuk sekarang? Semua terasa percuma bagi Rere.

Perasaannya bagi Akbar telah hilang. Entah untuk rasa sakit hatinya, atau rasa sayangnya. Semua benar-benar hilang tak tersisa. Dua minggu sudah Rere membuka blokir semua akun Akbar. Semua itu Rere lakukan bukan karena ia masih rindu, atau peduli.

Melainkan, ikhlas.

Rere pun tak menyangka, secepat ini Tuhan membalikkan hatinya menjadi hambar terhadap Akbar. Rere menghela napas. Ia tak langsung membalas pesan Akbar. Mungkin Rere akan membalasnya begitu di rumah, entahlah. Yang jelas untuk saat ini Rere hanya ingin menyendiri.

Alih-alih menetralkan pikiran, gadis itu menoleh ke arah pintu masuk. Selang beberapa menit, matanya menyipit saat dilihatnya sosok laki-laki berjaket denim baru saja keluar dari minimarket ini. Sosok itu berdiri di depan pintu, memandang ke arah jalan raya, berkacak pinggang dengan satu tangan yang lain memegang ponsel, menelepon orang.

Dan dari sekian banyaknya kemungkinan pertemuan yang dapat terjadi di dunia ini, ternyata Rere kembali melihat wajah itu secara langsung. Bukan lagi lewat media sosial.

Rere merasa tak ada yang berubah dari penampilan laki-laki itu. Dari ujung kepala hingga kaki, semua masih terlihat sama. Bahkan gaya berpakaiannya pun masih sama. Kulitnya masih sawo matang tetapi bersih dan segar. Rambutnya tetap cepak rapi. Benar-benar tidak berubah.

Rere refleks tak berkedip selama lima detik. Jantungnya berdebar-debar seiring deru napasnya yang melambat, ia masih tak percaya. Seorang laki-laki yang selama ini ia rindukan kini ada di hadapannya.

Fungsi otak Rere belum bisa bekerja dengan baik. Ia menunduk, bingung harus berbuat apa. Rere ingin pergi, tetapi mana mungkin? Menghindari seseorang adalah hal yang paling kekanakan menurutnya.

Saat Rere mendongak kembali, sontak ia tercekat mendapati sosok itu ternyata memandang ke arahnya. Rere yang masih bingung refleks melambaikan tangannya dengan cengiran canggung.

Dan, debaran jantungnya tak dapat dielak lagi saat sosok itu langsung menghampirinya dengan tawa canggung dan pelototan kaget.

"Re? Astaga. Ternyata bener kamu!"

Refleks, tawa Rere berubah jadi cengiran lebar saat melihat laki-laki itu menarik kursi, dan ikut duduk di dekatnya.

"Hai, San!" Seru Rere. "Kamu apa kabar?"

______

hoo ini Insan, ada yg bisa nebak gasi dia siapa? huehuehe

Real TalkМесто, где живут истории. Откройте их для себя