03. start over again

9K 1K 124
                                    

Jeff Raksakatama's POV

Kok bisa, sih? Kok bisa, sih? Kok bisa, sih?

Jujur, kalau beneran ngitung berapa orang yang nanya kayak gitu di hari pernikahan gue sama Hanna dulu, kayaknya bakal ada tiga puluh orang lebih.

Gue tahu mereka kaget. Gue sendiri aja juga kaget, kok. Bahkan pagi pas gue didandanin sebelum akhirnya harus ke altar menyambut calon istri, gue masih gak nyangka kalau betulan Hanna yang nikah sama gue.

Kalau inget perjalanan cinta gue sama Hanna, sumpah, keren banget gak, sih, gue?

Dari awal naksir cewek kayak Hanna yang gengsinya setinggi tiang listrik, digantungin lama banget sebelum akhirnya dia mau jadi pacar gue, itupun masih disuruh backstreet sama doi. Pun pas lagi adem sama Hanna, tiba-tiba ada aja masalah yang muncul.

Gue masih inget setiap detail yang terjadi dalam hubungan kami. Bagaimana kemudian gue marah ke dia, memutuskan untuk mengakhiri hubungan, menutup mata dan telinga bahkan ketika dia menangis dan membuang harga dirinya di depan Papa gue. Gak akan pernah ada satupun hal yang terlewat.

Apa gue menyesal pernah meninggalkan Hanna? Jawabannya enggak.

Nyokap pernah bilang, bahwa apapun yang terjadi di masa lalu adalah takdir terbaik yang diciptain Tuhan. Pasti ada timbal baliknya di kemudian hari. Pasti diganti sama sesuatu yang  jauh lebih baik dari apa yang kita mau.

Apa yang nyokap bilang terbukti benar.  Siapa yang sangka setelah empat tahun lebih gue pisah dari Hanna, menangis seorang diri pas tahu dia mau tunangan sama cowok lain, lagi-lagi Hanna baliknya ke gue? Bukan balik jadi pacar, tapi langsung jadi istri.

Well, gue bilang juga apa. Gak ada sesuatu yang perlu disesali. Kalau pasangan lo betulan tulang rusuk lo, Tuhan pasti ngasih cara.

**

Hari dimana gue ketemu Hanna lagi setelah sekian tahun, sore itu langit lagi hujan. Gue masih inget gimana gue beneran jadi sad boy kayak di film-film picisan yang ngelihatin jendela sambil ngelamun, berujung tiba-tiba ada yang netes. Eh, ternyata mata gue berair.

Tapi Tuhan kayaknya masih sayang sama gue. Karena empat tahun tanpa Hanna yang gue isi dengan mendekat ke Tuhan dan rajin ke gereja, akhirnya doa gue dikabulin. Gue ketemu lagi sama cewek itu. Di tempat itu. Detik itu juga.

Jangan tanya rasanya kayak apa. Gak bakal bisa dideskripsiin karena semua feeling jadi satu, campur aduk.

Gue berjalan kikuk menyapa perempuan yang gak pernah absen di kepala gue itu.

"Apa kabar, Han?"

Dia mengulas senyum tipis, membuat gue rasanya mau nangis aja disitu. Gue kangen. Gue gak pernah sekangen ini ke orang selain ke cewek di hadapan gue itu.

"Hai, Jeff. Gue baik. Lo lagi ada urusan disini?"

Jujur, agak nyelekit di hati pas tahu dia kayak biasa-biasa aja ngobrol sama gue. Beda sama gue yang merasa dicekik keadaan karena ingin membawa tubuhnya ke pelukan dan merengkuhnya erat.

"Ah, iya. Abis meeting. Lo sendiri?"

"Gue—"

"Honey."

Lalu suara pria lain yang—sumpah, suaranya hampir mirip Hulk saking gedenya—terdengar di antara kami. Gue menoleh, dahi gue mengernyit dalam kala pria asing itu tiba-tiba merangkul pinggang Hanna.

Hanna melirik gue sekilas, sebelum kemudian kembali membuka suara dan memperkenalkan pria dengan tangan lancang tersebut.

"Jeff, ini Herdan."

imperfect.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang