12. for all the love

6.4K 896 275
                                    

Terhitung Jeff kembali menghela nafas panjang setelah empat kali ia lakukan dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit. Hanna jadi ikut melakukan hal yang sama. Bukannya apa, namun melihat tampang kusut suaminya selama seminggu ini, literally tujuh hari, membuat Hanna ikut pening. Jeff betul-betul dibuat pusing dengan kerugian perusahaannya yang membuat pengeluaran tiba-tiba bocor macem air keran, gak seimbang dengan pemasukan. Gak cuman sepuluh atau dua puluh juta, angkanya bahkan mendekati setengah triliun.

Perempuan itu menyamankan posisi duduk, menurunkan kaki ke bawah karpet, kemudian menepuk paha.

"Sini, aku pijetin kepalanya."

Jeff gak menolak. Dia langsung merebahkan kepala di pangkuan sang istri dengan posisi memunggungi perut Hanna. Matanya terpejam seiring tangan Hanna bergerak memijat kepalanya yang terasa dihantam palu. Oke, itu lebay.

"Biasanya juga gini, kan?" Hanna memulai. "Kantor bakal ngeluarin duit banyak dulu, baru kehitung dua puluh persen proyek dimulai, pemasukan langsung nutupin rugi."

"Beda. Kemarin pas meeting udah dibahas, ada enam persen yang gak bakal ketutup."

"Aku gak ngerti harus bilang gimana buat nenangin kamu. Tapi ada baiknya kamu gak terlalu overthinking. Berapa persenpun yang ilang, anggep aja kamu lagi ngasih uang cuma-cuma ke orang lain, jadi gak berat di kamu. Lagian kamu bulan ini juga belum sempet ngasih, kan?"

Ngasih yang dimaksud Hanna, tuh, adalah rutinitas Jeff dan Hanna untuk berbagi sebagian harta untuk orang yang membutuhkan. Biasanya memang sebulan sekali, setiap selesai gereja, mereka akan mencairkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada beberapa panti asuhan.

"Mungkin emang karena aku lupa ngasih kali, ya? Jadi gini."

Hanna menggumam saja. Toh yang ia inginkan hanya Jeff bisa kembali tenang.

"Istirahat aja di rumah, ambil libur berapa hari."

Jeff membuka mata seketika, menemukan ide yang lebih baik daripada sekedar di rumah.

"Liburan aja gimana?"

"Boleh. Kita terakhir liburan juga tahun kemarin, kan? Ajak anak-anak sekalian."

Jeff mengangguk setuju. "Telepon anak-anak. Suruh turun."

Hanna melakukan permintaan suaminya. Dia mengirimi pesan singkat di grup keluarga yang berisi empat orang—dirinya, sang suami, dan dua anak mereka. Dalam hitungan kurang dari lima menit, Gellar dan Jena muncul.

"Baru bangun tidur kamu?" Jeff nanya Gellar sambil bangkit dari posisi tidurannya. "Jam berapa ini?"

Gellar mengedikkan bahu tak berniat menjawab, dia hanya melirik jam dinding sekilas lalu duduk di sebelah mamanya, menyenderkan kepala ke bahu Hanna dan menguap.

"Kenapa, Ma?" Jena langsung to the point. "Aku lagi nonton drakor."

"Nih, Papa kamu mau ngomong."

"Papa mau liburan sama Mama. Kalian ikut, ya?"

Jena langsung berbinar semangat. "Serius? Ayo, ih!"

"Iya, mumpung kamu lagi libur semester juga, kan?"

"Gellar mau, kan?" Hanna nanya puteranya. "Kamu juga lagi libur, kan?"

"Mm-hm."

"Ajakin tunangan kamu sekalian biar rame." Jeff menyahut menambahi.

"Pacar aku gak diajak?" Jena merajuk. Tapi kemudian langsung melebarkan senyum kala Papanya mengangguk sambil bilang, ajak aja. "Mau liburan kemana? Jangan Dubai lagi, please. Bosen."

imperfect.Where stories live. Discover now