2. Sebuah Keharusan

67 15 4
                                    

Hanya tatapan kosong yang tergambarkan dari bola mata lelaki itu. Fokusnya untuk bekerja sudah berkurang setelah pembicaraan dengan papinya tadi sebelum ia kembali ke ruangannya ini.

Sekeras apapun Damian menutupi dan mengikhlaskan semua itu, tetap saja hal itu menjadi kejadian terburuk dalam hidupnya selama ini.

Kenapa ia sulit menerima semuanya? Jelas hal itu menjadi trauma buruk untuk dirinya. Bayangkan disaat dirinya masih sangat membutuhkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, tetapi hal itu hanya angan-angan semata dalam hidupnya.

Damian mengakui bahwa dirinya sangat pendendam dengan keadaan yang terjadi, padahal mami nya saja sudah bisa memaafkan mereka. Kenapa ia masih sesulit ini untuk memaafkan mereka?

"Damian, kenapa bengong aja sih?" Damian langsung mengedipkan matanya karena panggilan dari lelaki yang menjabat sebagai sekretaris nya itu, hampir tiga tahun belakangan ini.

"Ck, mau gue potong gaji lo?" ancam Damian sambil membenarkan posisi duduknya.

"Tunggu dulu dong, kenapa sampai ke pemotongan gaji sih? Dengar ya Pak Damian yang terhormat dan paling bijaksana, kedatangan saya hanya untuk meminta tanda tangan bapak yang dibutuhkan secepatnya," terdengar ucapan lelaki itu begitu dibuat-buat agar terdengar lebih sopan.

Lelaki itu sekretaris kepercayaan Damian yang bernama Argantara. Hampir tiga tahun belakangan ini, bahkan mereka sudah seperti teman baik yang sudah kenal lama saja.  "Sini berkasnya, pusing gue dengar bacotan lo," Damian mengatakan hal seperti itu kalau hanya berdua dengan Arga saja.

Arga hanya mencibirkan bibirnya. "Yah lo sendiri yang salah sih. Gue udah capek-capek manggil, lo malah mengkhayal sampai ke Eropa sana, kayak banyak beban hidup banget lo. Lagi mikirin apa sih? Proyek baru diterima, harusnya lo happy."

"Sok tahu lo, gue juga manusia pastinya ada beban hidup juga," jawab Damian yang tetap fokus menandatangani berkas-berkas tersebut.

Setelah semuanya selesai, Damian melirik Arga yang begitu fokus dengan layar ponselnya. "Nanti malam, lo sibuk nggak?"

Tatapan Arga langsung tertuju ke arah Damian, dan ia seperti tampak berpikir. "Enggak, kenapa emangnya? Mau ngajak booking ya? Udah ada foto ceweknya belum?"

Damian langsung menatap Arga dengan begitu tajam. Lelaki ini memang pikirannya terkadang hanya ke hal itu saja. "Gue lagi nggak pengen hal-hal begituan, jadi pikiran lo harus diperbaiki sedikit."

Arga hanya terkekeh mendengar hal itu. "Mana tahu lo lagi butuh hiburan sedikit, biar gue yang cariin."

"Kita ke tempat biasa aja, lo hubungi Vino biar dia siapin tempat VIP untuk kita," jelas Damian.

Arga sudah paham kemana Damian akan mengajaknya. Tempat yang katanya menjadi favorit lelaki itu, yaitu salah satu tempat karoke. Walaupun hanya Arga yang menyanyi, tetapi hal itu bisa menghilangkan beban Damian.

"Oke, mau sampe jam berapa, di sana? Mau pesan yang lainnya?" Tanya Arga.

"Kayaknya gak sampe larut malam, soalnya gue mau ke tempat oma malam ini. Lo tahu sendiri seperti apa oma gue. Pesan minuman kayak biasa aja, terus jangan lupa makanan juga."

Arga hanya menganggukkan kepalanya tanda paham atas maksud ucapan Damian. "Gue mau ke ruangan dulu," hanya sebuah anggukan yang ditunjukkan oleh Damian sambil mengacungkan jempolnya.

∆∆∆∆∆

Akhirnya pukul tujuh malam Damian dan Arga beriringan ke luar dari kantor. Sesampainya di dalam mobil, Arga langsung melajukan mobil untuk menuju ke tempat yang akan mereka datangi malam ini. "Mau makan dulu atau langsung ke sana?" tanya Arga.

Sebatas Formalitas Where stories live. Discover now