7. Ternyata Gadis Malam itu

41 14 4
                                    

Pada sorenya, Damian baru saja bangun setelah tidur dari pukul sepuluh pagi. Sudah kebiasaannya untuk menghabiskan waktu tidur selama itu di hari libur seperti ini. Menurutnya hal itu merupakan reward setelah satu pekan bekerja tanpa henti.

Hari Minggu menjadi salah satu keistimewaan baginya, sudah bisa menghabiskan tidur berjam-jam saja, hal itu sangat membahagiakan baginya. Mungkin karena masih betah untuk sendirian, jadi ia tidak perlu menghabiskan waktu akhir pekan dengan kekasih.

Jujur, setelah pembicaraannya tadi pagi dengan maminya, ia belum menyelesaikan kesalahpahaman itu. Ia tahu, pasti maminya marah terhadap dirinya saat ini. Sebab, ia selalu tidak menganggap Delicia sebagai adiknya. Sebenarnya ia juga tidak berniat melakukan hal itu, tetapi terkadang hal itu muncul saja di pikirannya. Ia memang sudah sangat tega, padahal gadis cantik itu selalu menyayanginya.

Akhirnya tatapan Damian terpaku ke arah maminya, Areta. Sepertinya Areta sedang membersihkan kandang Milly. Kucing betina yang selalu bersikap manja kepada mereka dan juga yang selalu menemani maminya di rumah.

"Mi," sapa Damian dengan cukup lembut. Ia akan memperbaiki masalah yang terjadi tadi pagi.

Areta yang mendengar hal itu hanya menatap putranya tanpa minat. Entah mengapa ia merasa selalu kecewa jika Damian bersikap seperti itu kepada Delicia. Ia merasa gagal saja memberikan didikan moral terhadap Damian. Ia tahu hal ini sulit untuk diterima, tetapi kenapa kita tidak mencoba untuk berdamai dengan keadaan?

Sedangkan Damian yang mendapatkan perlakuan yang seperti itu hanya menghela napasnya dengan kasar dan ia langsung menghampiri Areta. "Mami masih marah sama, aku?" Tanya Damian sambil mengelus bulu putih milik Milly.

Damian sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari Areta. Ia kembali mengatakan sesuatu kepada wanita itu. "Mi, jangan kayak gini dong. Aku minta maaf soal ucapan aku tadi pagi, sebenarnya bukan karena Delicia yang bikin aku pagi-pagi udah balik ke rumah, tapi ada hal yang lainnya. Mami pasti udah tahu hal yang bikin aku seperti ini," mendengar hal itu Areta tampak mengerutkan dahinya sambil menatap Damian dengan bingung.

"Terus kenapa? Mami nggak tahu apa-apa," timpal Areta dan langsung berdiri sambil membuka sarung tangannya.

Damian tidak menjawabnya langsung. Ia mengikuti langkah Areta yang menuju bangku di teras belakang rumah mereka. Setelah mereka duduk, Damian langsung menyenderkan tubuhnya yang masih terasa banyak beban yang menghampirinya.

"Mi, oma berniat menjodohkan aku dengan cucu sahabatnya," Areta yang mendengar hal itu hanya diam dengan pandangannya lurus ke depan.

Damian yang melihat respon dari mami Areta cukup kaget. Biasanya mami Areta akan tampak begitu kaget atau antusias mendengarkan hal itu, apalagi mengenai ia yang akan di jodohkan. "Kok mami diam aja sih?"

Areta menghela napasnya dengan kasar dan membuangnya kembali. "Mami setuju jika kamu di jodohkan seperti ini, apalagi pilihan oma tidak ada yang salah. Kalau nggak di jodohkan, sampai kapan kamu akan melajang seperti ini?"

Damian menatap mami Areta dengan penuh tanda tanya. Kenapa semuanya mendukung mengenai hal ini? Apakah sudah setua itu dirinya untuk melajang seperti ini? Apa ia sangat merepotkan mereka kalau hidup sendirian seperti ini?

"Mami kok setuju dengan hal ini?" Tanya Damian yang tidak habis pikirnya.

"Damian, kamu sudah dewasa dan sudah pantas untuk berkeluarga. Kamu mau menunggu apalagi untuk menikah? Atau kamu sudah memiliki pilihan sendiri? Kalau ada, bilang ke mami dan kenalin dia ke mami. Biar mami yang akan bicara dengan oma bahkan ke papi, kalau kamu sudah memiliki pilihan sendiri," hal itu seperti suatu penekanan untuk Damian.

Damian langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sepertinya percuma saja ia menceritakan semua ini kepada mami Areta. Sama saja, ia tidak mendapatkan solusi. "Secepatnya aku kenalin ke mami," jawab Damian dengan cukup kesal.

Sebatas Formalitas Where stories live. Discover now