4. Dia Pandji

432 242 92
                                    


°°°°

Hari Senin, ditengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satupun yang menyadari bahwa mataku sedang mencari-cari seseorang yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku.

Mungkin cuman ingin lihat saja, tidak lebih. Boleh kan?

Tapi sampai upacara sudah akan selesai. Orang itu, Penyurat itu, Tidak ku temukan. Dimana dia, Apakah tidak masuk karena sakit? hatiku bertanya.

Apa yang ku lakukan, kenapa juga harus memikirkannya. Memang siapa dia?

Hingga upacara bendera pun selesai. Seorang guru pun memberi komando agar seluruh siswa tidak membubarkan diri dari barisan.

Kupandang ke arah depan, untuk melihat apa yang terjadi dengan guru itu, sehingga tidak membubarkan barisan. Dan saat itulah aku melihat dirinya.

Sang penyurat itu disana, berdiri di samping bendera, menghadap kami, bersama ke empat temannya.

Baju yang dikeluarkan, rambut melebihi alis dan acak-acakan. terkesan seperti badboy yang berandal.

Dia dan empat orang temannya, disuruh guru BK untuk banding, kata lain squat jump.

Disana, di tempatnya berdiri. sepertinya ia menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memandanginya dari tengah barisan peserta upacara. Itu diriku.

Apa tidak?

Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandanginya dari jauh, dengan perasaan yang sulit ku mengerti.

"Berulah lagi!" Gumam Yaya berbicara sendiri.

Yaya itu teman kelasku, yang berdiri di sampingku.

"Siapa dia?" Tanyaku kepada Yaya, sambil menunjuknya dengan dagu.

"Pandji."

"Oh."

Itulah harinya. Hari dimana aku mengetahui siapa namanya.

Kata Yaya, saat dikelas, setelah upacara bendera. Pandji itu anak kelas XII IPA 5 dan kumpulan geng motor, ketua futsal.

Saat itu aku berpikir, bahwa Pandji pasti sangat nakal dan mungkin jahat. Meskipun aku yakin dia tidak seperti itu.

Tapi aku harus menjauh darinya, jangan biarkan dia mendekatiku dan membuat aku kesulitan. Aku tak mau membuang-buang waktuku hanya untuk anak nakal seperti itu lebih jauh.

Pokoknya, Mulai besok, Saat dia ingin mendekati ku atau sekedar memberikan surat, aku tidak ingin menggubrisnya.

Bukan bermaksud kasar, tapi aku tau itu harus ku lakukan.

Kalaupun dia ingin menjadi pacarku, katakanlah seperti itu. Pasti ia akan kabur saat melihat betapa seramnya ayahku. Toh, aku juga tidak diperbolehkan untuk pacaran dengan ayah.

°°°°

Bubar sekolah, aku pulang bersama para temanku. Ada Pandji menyusulku dengan motornya, teman-temannya meninggalkan dia seorang saja.

HUGLOVE [on going] Where stories live. Discover now