5. Gombal

430 232 132
                                    


"Kak, ayah ada pekerjaan. Kamu naik angkot aja ya pagi ini." Ucap ayahku, setiap hari aku memang diantar oleh ayah, kalau pulang saja, naik ojek.

"Iya yah." Jawab ku tanpa menoleh, karena masih tetap fokus dengan makanan yang ada di hadapanku kini.

Saat sudah selesai, "Ayah, Bun. Aku sekolah dulu ya, mohon doanya tuan, nyonya." Pamit ku mencium tangan mereka dengan tawa di akhir kata.

Ayah hanya tertawa kecil, dan bunda berdoa agar aku konsentrasi saat belajar. Ah memang bunda terbaik bagiku!

Aku berjalan hingga keluar komplek, menunggu apakah ada angkot yang akan keluar di pagi hari ini.

Dapat! aku rentangkan tanganku, berniat memberhentikan angkot itu. Lalu aku menaikinya, Angkot ini masih sepi, mungkin karena masih pagi.

Belum juga setengah perjalanan, sudah ada saja yang memberhentikan angkot. Awalnya aku tidak mau melihat. Eh tunggu.

Itu dia, dia Pandji. Kenapa bisa ada disini, bukan kah dia punya motor. Apa hilang karena dibawa temannya saat ia menjadi ojek kemarin.

Aku hanya melihat sekilas kepadanya, rupanya dia sedang melihatku juga dengan senyum kecil. Apa dia tidak capek setiap menatapku selalu tersenyum.

Aku mengambil hp, alih-alih agar tidak terus menatap apa yang sedang dilakukan olehnya. Aku harap dia tau bahwa tidak bisa mengganggu orang, jika sedang sibuk.

Tapi dia berbisik, suaranya pelan sekali di telingaku.

"Selamat pagi."

Aku diam, tidak ku tanggapi.

"Kamu cantik." Katanya, dengan suara pelan tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Heh?

Aku kaget! serius, hampir tak percaya jika dia akan bicara begitu.

Aku bingung harus bagaimana dan berusaha memastikan bahwa penghuni angkot yang hanya 2 atau 3 orang itu tidak mendengarkan ucapan dia.

"Tapi, belum jadi pacarku." katanya. "Lagi usaha."

Ih! suaranya pelan, tapi kenapa bisikan itu seperti petir bagiku sih. Aku diam saja, tidak mau merespon perkataannya.

"Tunggu aja," Katanya.

rasanya saat itu aku ingin teriak di kupingnya;

"Apa, sih, mau kamu?!"

Tapi tak ku lakukan, aku memilih diam tanpa merespon, berusaha tidak akrab dengannya.

Habis itu, dia diam, tak lama berbicara lagi, "Kalau kau tau namaku, jangan panggil dulu ya."

Aku hanya mendengarkan, menunggu lanjutannya, tanpa menoleh.

"Karena itu," katanya. "Akan buatku semakin mengejarmu."

Mendengar dia ngomong begitu, rasanya aku ingin teriak kembali; "Siapa juga sih, yang bakal panggil namamu itu!"

Tapi yang keluar dari mulutku malah;

"Iya."

Ketika sebentar lagi sampai sekolah, dia memberhentikan angkotnya.

"Mang berhenti." ucapnya, "Mau ikut?" Tanya dia, Aku tau itu pasti untuk diriku.

"Gak." Jawabku singkat. Kulihat dia hanya mengangguk lalu beneran turun dari angkot. kukira hanya candaan saja.

Sebentar lagi juga sampai, untuk apa aku turun mengikutinya. Memang dasarnya orang itu aneh saja seperti jalangkung.

Aku tebak, pasti dia turun karena ingin kembali mengambil motornya yang entah dimana.

Ketika dia pergi, kemudian ada rasa bersalah dihatiku karena sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah dia sedih dan kesal kepadaku, Aku juga akan merasakan hal yang sama jika ada orang memperlakukan yang sama seperti aku kepadanya.

Aku turun dari angkot saat sudah sampai di dekat sekolah. Saat berjalan menuju gerbang, aku terus kepikiran tentangnya.

Ayolah, Lita. Apa yang salah dari dia? padahal baru kemarin kau tersenyum dan terhibur karena surat-surat yang dia berikan kepadamu kemarin.

Maaf.

Batinku terus saja ribut, seperti ada dua kutub yang bertolak belakang.

Aku membalas sapaan-sapaan dari para teman-teman yang sedang papasan saat ingin memasuki gerbang sekolah bersama.

Saat ingin masuk kelas, aku tiba-tiba saja teringat omongan Pandji kepadaku;

"Selamat pagi, Kamu cantik. tapi, belum jadi pacarku. Lagi usaha, tunggu aja!"

Kata-kata aneh yang terus nempel di kepalaku, hingga saat masuk kelas aku tersenyum, dan menahan teriak dalam hati, seolah-olah hal itu sengaja ku berikan kepada Pandji.

"Usaha aja yang keras. Mau berhasil mau enggak. Terseraaahhhhh! Emang gua pikirin!"

Hingga sampai dikelas, aku dapat surat dari Pandji. Entah bagaimana caranya dia bisa memberikan surat itu kepada Heni.

Isi suratnya sangat pendek;

"Pemberitahuan: Sejak turun dari angkot tadi, kamu sudah milikku — Pandji."

Aku terkesiap membacanya, Lalu dengan cepat melipat surat itu dan memasukannya kedalam tas.

Kuharap Heni belum membacanya, tapi sepertinya memang belum. Karena surat itu dimasukan ke amplop yang tertutup.

Aku merasa malu sendiri saat membacanya. Seakan Pandji berbicara seperti itu di depan ku langsung. Aku khawatir orang-orang akan menyadari bahwa wajahku sedang memerah.

Dia harus bertanggung jawab hari ini! Karena dirinya, doa bundaku tidak manjur, yaitu untuk konsentrasi saat belajar.

°°°°

°°°°

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


HUGLOVE [on going] Where stories live. Discover now