8. Kemana dia

255 171 396
                                    


Setelah kelakuannya dua hari lalu, ku lihat dia sekolah seperti biasa.

Tapi, sudah dua hari juga tidak ada pergerakan apa-apa dari Pandji. Maksudku, dia tidak melakukan hal apapun yang bersangkutan denganku.

Dia pergi begitu saja, dan tidak menunjukkan diri kepadaku sama sekali. Aku sempat berfikir, apa dia merasa, aku telah mengaturnya saat meminta dia memasuki baju dan mengikuti pelajaran?

Atau apa? kenapa? Ya, Tuhan. Aku gak tau, beneran, gak tau! Ada apa sih denganku. Kenapa saat itu aku merasa sangat sedih.

Saat ada pameran lukisan di sekolah, aku termasuk yang menyumbang salah satu karya lukisan ku, dan menjadi nomor satu disana. Iya, aku.

Aku memang ingin menjadi seorang seniman, mengikuti jejak kakek. Lukisan ku adalah dua orang yang bertemu, lelaki yang memberi perempuan di lukisan itu sebuah surat di atas motor dengan pakaian sekolah.

Benar! Aku melukis Pandji dan aku yang bertemu pertama kali. Entah apa yang membuat ku ingin melukis itu, pikiran ku hanya terbayang olehnya.

Aneh, Pandji melihat itu, tapi terlihat biasa saja. Pandji seakan pergi dariku, padahal lukisan itu gampang di tebak olehnya.

Apa dia sudah tidak menyukai ku lagi, atau aku membosankan, atau, atau apa?!

Huh! untuk apa aku pikirin, dia bukan siapa-siapa juga kan. Lebih baik aku memakan makanan ku bersama Yaya, Heni, juga Damar.

"Lukisan kamu bagus, ta." Puji Damar, sambil menatapku.

"Setuju! Kok bisa kamu kepikiran lukis itu? Cantik." Ujar Heni, dia berucap sambil tersenyum kepadaku yang masih asik melamun.

"Haha makasih, itu aku sedang bosan saja. Makanya ingin gambar seperti itu." Aku menjawab setelah sadar dari lamunan ku karena disenggol oleh Yaya.

Aku tak tau apa yang sedang dipikirkan pada saat itu, yang pasti pandangan ku kosong dan tak fokus mendengarkan sekitar ku.

"ngopo koe?" Tanya Yaya dengan logat jawanya, aku tau itu pertanyaan yang ditujukan untuk ku pasti.

"gak apa-apa, aku ke kelas dulu ya." Aku menggeleng dan meminta izin untuk pamit, karena makan ku juga sudah selesai.

Saat aku pergi, aku masih dengar dimana Damar, Heni, juga Yaya berbicara tentang ku, walaupun samar-samar;

"Lita kenapa Ya?" Itu suara Heni.

"Gak tau, hari ini dia aneh."

"Ada masalah kali. Nanti aku tanya." Balas Damar.

Setelah itu aku tak dengar lagi, karena langkah kakiku semakin menjauh dari meja mereka.

Kelas sangat sepi, mungkin karena sedang ada pameran dan jam sekarang adalah waktu istirahat. Aku hanya membaca novel di mejaku, sambil mendengarkan lagu favorit ku.

Antara aku terlalu fokus dengan novel atau masih berlanjut melamun, aku tak tau. Yang pasti, disitu aku tak sadar bahwa earphone ku diambil satu oleh seseorang yang tiba-tiba saja duduk di sebelah ku.

Aku langsung menoleh, ingin tau siapa yang melakukannya. Ku kira Yaya, teman sebangku ku. Ternyata, dia Pandji.

Awalnya aku hanya diam memandanginya, dia sedang menutup matanya sambil menelungkup kan kepalanya ke atas lengan yang dia lipat di meja. Kepalanya menghadap ke arah ku, sehingga aku bisa melihat wajahnya, lebih leluasa.

"Kamu mulai mencintai ku ya?" Ucap Pandji tiba-tiba yang membuka matanya sambil tersenyum kecil.

Aku gelagapan, kemudian langsung pura-pura menghadap buku novel yang sedang ku baca. Sebenarnya hanya agar tak melihat matanya saja.

"Jangan sotoi kamu!" Sargah ku gugup.

"Haha, wajah kamu memerah, Lita." Tawanya dengan menunjuk ke arah ku, menusuk pipi ku.

Jika, saat itu ada yang bilang bahwa apakah hati ku sedang berbunga-bunga, maka aku langsung setuju.

"Kamu, kemana saja?" Tanyaku mengubah topik, dan kali ini menatap matanya setelah ku rasa sudah siap.

"Hatimu."

"Aku serius, Pandji." Beneran, aku lagi kesal dengannya.

"Sibuk berfikir, bagaimana cara untuk dapatin kamu."

Aku hanya diam, tak membalas. Aku tak yakin dengan jawabannya, aku tak tau itu benar atau tidak. aku rasanya ingin membalas  "gombal aja terus, udah kenyang. Mending kamu diem deh!"

Jujur, aku sedang kesal dengan Pandji. Aku merasa terabaikan olehnya, walau sekarang dia sudah kembali. Apa aku sudah menyukainya? seperti apa yang dia bilang, bahwa aku akan segera menyukai dia.

Aku langsung saja menepis pikiran itu, huh! yang benar saja aku menyukainya, aku hanya nyaman saja kok. Nyaman dalam berteman, mungkin?

Semalam aku memang merindukannya, lalu ku buka salah satu origami bintang yang ada di botol, yang di berikan Pandji saat itu. Saat dia menjadi tukang paket.

Isi kertasnya berisikan;
"Aku akan menemuimu, besok."

Isi kertasnya itu, aku kira itu bohong. Tetapi, kenapa pas sekali sekarang. Dia benar-benar menemui ku, Pandji benar-benar datang.

Ku akui, Pandji memiliki beribu cara untuk membuat ku terpukau dengannya. Cara dia berbeda dengan cara orang lain yang pernah menyukaiku.

Jika mereka mendekati yang berani lewat chat dan penuh gombalan saja yang di copy dari majalah-majalah atau google. Tapi, Pandji beda. Dia terang-terangan untuk mengejarku, tanpa pesan dengan kata alay. Dia lebih memilih surat, dan bertemu langsung menghadap ku.

"Lukisan mu cantik." Puji Pandji dengan senyumannya yang menatapku. Kali ini dia duduk tegap, menghadapiku sepenuhnya.

"Makasih."

"Kamu, juga."

"Apa?"

"Cantik."

Mungkin, kalau aku tidak sedang duduk sekarang, aku sudah jatuh, karena kaki ku yang merasa tiba-tiba sangat lemas. Lagi-lagi Pandji selalu berbicara begitu santainya, bagaimana bisa dia selalu santai seperti itu? aku tidak mengerti dan kagum.

"Ini untuk kamu." Kata Pandji sambil memberiku sebuah buku catatan.

"Buat?"

"Buka aja, saat sudah di kamar."

"Makasih, Pandji." Aku tersenyum, kali ini senyuman itu sangat lembut.

°°°°

Ketemu lagi kita, jangan lupa tinggalin jejak! biar kamu di ingat oleh Pandji dan Thalita. SEE U CHAPTER SELANJUTNYA ❗

HUGLOVE [on going] Where stories live. Discover now