Lihat Dengar Rasakan

290 56 7
                                    

Ayunda

---

Ketika Kiran menarik tangan gue untuk segera pulang dengannya, gue sudah mulai merasa gak enak sebenarnya. Tentu ini dengan berbagai alasan. Yang pertama, gak dibenarkan seorang guru harus ikut pulang satu mobil dengan muridnya, ini pasti akan menimbulkan persepsi dan omongan nggak enak dari orangtua murid. Kedua, gue juga merasa gak enak jika harus 'menumpang' di kendaraan orang yang gak gue kenal dekat, untuk apa? Gue malah merasa artinya gue juga punya hutang budi. Ketiga, setelah gue tahu siapa yang menjemput Kiran hari ini, kekesalan gue muncul kembali karena teringat kejadian di kafe kemarin.

Ini hanya gue saja yang sadar atau bagaimana ya? Dia benar-benar gak merasa bersalah ketika melihat wajah gue. Dari raut mukanya juga dia sepertinya gak mengingat gue siapa. Atau berarti ini memang hanya gue yang menyimpan dendam pada orang yang sedang berdiri di hadapan gue sambil menggendong Kiran.

Setelah gue mengeluarkan berbagai alasan pada Kiran kalau gue bisa pulang sendiri dan gak perlu sampai diantar segala, anak itu tetap saja memaksa dengan alasan, "Om Aga udah janji sama Kilan, kalau telat jemput, nanti om Aga antal bu Ayu pulang."

Mata gue menyipit, beralih pada lelaki satu itu yang terlihat sedikit gelagapan. Loh... bisa panik juga dia?

"Kok jadi om Aga yang janji sama kamu? Kamu yang bilang ya, Ran. Bukan om." Sangkalnya cukup panik.

Gue tertawa dalam hati, ternyata cowok menyebalkan dan berkepala batu seperti dia bisa ciut juga di hadapan anak kecil berusia tiga tahun.

Gue kira cowok itu juga berprofesi sebagai dokter, sama seperti papa dan mama Kiran, tapi tadi, saat dia meminta izin dahulu untuk mengambil barang di kantor, ternyata mobilnya berbelok ke kawasan universitas negeri ternama di Indonesia. Univ yang sempat menjadi impian gue saat SMA dulu, universitas yang selalu menjadi incaran calon mahasiswa di seluruh Indonesia. Namun, sayang, dulu gue merasa gak pede dengan kemampuan gue untuk masuk ke kampus tersebut. Di saat teman-teman seangkatan gue yang masuk sepuluh besar di sekolah kebanyakan memilih univ tersebut, gue sangat berkecil hati. Merasa nggak mampu untuk bersaing dengan mereka, bayangkan saja gue yang paling mentok masuk 10 besar di kelas, tiba-tiba harus bersaing dengan mereka si 10 besar paralel sekolah.

Katakanlah gue memang gak punya ambisi besar haha. Payah ya gue? Gue memang tipe orang yang selalu mengikuti arus. Tolong ini jangan ditiru sebenarnya di satu sisi sangat aman hidup seperti ini, tapi di satu sisi juga berbahaya.

Tapi, kan satu-satunya jalan gak harus melulu kuliah di univ tersebut, ayah gue selalu meyakinkan mau dimanapun kampusnya jika gue gak bisa mengikuti mata kuliah dan gak ada keinginan untuk belajar ya sama saja. Satu yang gue yakin hanyalah, gue ingin kuliah di jurusan psikologi. Lalu, di detik-detik terakhir pemilihan kampus untuk seleksi SNMPTN, gue mencari-cari berbagai video pengalaman dimana universitas dengan fakultas psikologi yang terbaik. Lalu gue memilih salah satu kampus di Surabaya.

Gue bahkan gak tau di Surabaya ada apa saja, kotanya seperti apa, benar-benar sangat asing di telinga. Tapi, gue nekat. Langsung memilih kampus itu dengan mata tertutup. Ya... dan gue pasrah lagi hahaha. Jika gue gagal nanti, gue hanya perlu mencoba lagi kan?

Tapi, entah kenapa Tuhan selalu berbaik hati pada manusia yang penuh dengan kesalahan ini. Gue gak tau kebaikan apa yang gue perbuat, hingga seorang Ayunda masuk universitas negeri jurusan psikologi! Lewat jalur SNMPTN pula. Setelah mengadu pada ayah dan bunda, mereka bersyukur dan memberi gue selamat. Nggak lupa mereka berterima kasih atas kerja keras gue selama ini.

Gue kira ini hanya hoki, tapi gue benar-benar gak suka jika dibilang seperti itu. Luck is for losers, kalau kata buku yang gue baca. Setelah melihat kilas balik, gue juga sadar, ini adalah bagian dari usaha keras gue. Ketika saat ujian teman-teman gue berusaha untuk curang hanya demi sebuah nilai ujian, gue harus ibadah dan bangun tengah malam untuk belajar, mengerjakan ujian gue seorang diri dengan kemampuan gue sendiri, bimbel sejak kelas 10 agar nilai rapot gue selalu naik. Itulah kenapa nilai ujian gue nggak terlalu besar, meskipun kebanyakan jarang yang remedial, hanya mentok KKM sedikit saja sih hehehe. Disitu, gue jadi sadar kemampuan gue. Gue selalu tahu apa yang gue pelajari. Makanya kenapa terkadang teman-teman gue menganggap gue orang yang serba tahu meskipun nilai gue pas-pasan haha.

end gameWhere stories live. Discover now