High Hopes

242 53 4
                                    

"Lo sama Ayu lagi ada masalah ya, Ga?" Rhea meletakkan snelinya ke kepala kursi.

Jadwal konsultasinya di poli baru saja berakhir dan Aga sedang menemani ibu untuk check up, sekaligus untuk membawa Kiran bertemu dengan Rhea

"Nggak tuh. Kita biasa aja." Jawab Aga santai sambil duduk di kursi di mana pasien biasa duduk.

"Masa sih? Soalnya semenjak habis dari dufan itu, kata mas Sadam, Ayu setiap ditanya tentang lo selalu ngehindar. Tapi, pas gue kontak kemarin juga biasa aja sih."

"Mungkin lagi ada masalah."

"Iya... Masalah sama lo kan?"

Aga menghela nafasnya, lelah dengan pertanyaan Rhea, "Gue sama Ayu gak kenapa-kenapa, mbak."

Rhea memicingkan matanya, gak percaya dengan ucapan Aga yang terdengar penuh kejanggalan.

"Gak mungkin. Waktu lo sama dia balik ke mobil, kalian tuh jalannya pisah. Ayu jalan di depan, lo di belakang dia."

"Itu gue lagi capek aja. Ayu ngajakin naik wahana yang ekstrim terus. Hampir mabok gue."

Rhea meletakkan kacamatanya di atas meja, membereskan tumpukan jurnal yang akan ia bawakan di seminar minggu depan.

"Usaha, Ga. Kalau lo suka sama Ayu, deketin aja. Siapa tau kan cocok."

"Sejak kapan kalian berasumsi gue tuh naksir sama Ayu?"

"Ya tapi kan... ibu lo mau jodohin kalian. Emang lo gak ada effort gitu buat deketin lah seenggaknya atau cari kemistri gitu? Meskipun lo emang gak suka sama Ayu sekarang, tapi ya usaha aja, siapa tau suka."

"Ya tapi mana ada mbak, nikah karena alasan kita dulunya teman masa kecil. Padahal kan nikah harus ada komitmen dan sisanya karena dua duanya sama-sama cinta."

"Hhh... ya udah deh. Gue juga gak bisa maksa. Gue tau emang yang namanya perjodohan itu kesannya dipaksa, semua ini emang gak masuk akal, tapi kan yang gue bilang dari awal, lo juga perlu usaha untuk cari kepastian hati lo. Pelan-pelan... Jangan cuma dipikir pake logika aja, yang namanya cinta juga butuh kata hati."

Rhea menasihati dengan nada lembut, berusaha memberi Aga arahan yang menurutnya belum paham dengan perasaannya. Rhea bisa melihat, kalau Aga sebenarnya tertarik pada Ayu, namun lelaki itu terlalu denial dan egois dengan logikanya sendiri.

"Gak semua yang dijodohin itu gak baik, Ga. Mau lo kabur kemanapun, kalau emang dia jodoh lo ya bakal balik lagi." Rhea berdiri dan mendorong kursinya, ia menepuk bahu Aga pelan, "Pokoknya kalau sampe terjadi apa-apa antara kalian, gue doain kalian jodoh. Gue tinggal sebentar ya."

Aga memejamkan matanya, memikirkan kalimat Rhea yang mengusik pikirannya. Seolah Rhea tahu, kalau selama ini Aga hanya memakai logikanya saja ketika memikirkan perjodohan dengan Ayu.

Raut wajah Ayu begitu ia mengatakan kalau tidak bisa menerima perjodohan ini masih melekat erat. Bola mata gadis itu bergetar dan berusaha mengatur emosinya. Ia tidak bisa menebak perasaaan Ayu, tapi ia tahu saat di dufan dua minggu lalu, ia menyakiti perasaan gadis itu. Logikanya memang sangat jahat, Aga juga tidak mengerti kenapa hal-hal seperti itu yang keluar dari mulutnya.

Ia juga bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kalau selama ini ia juga menyukai Ayu atau hanya nyaman berada di dekat gadis itu? Yang Aga tahu, saat kejadian ia memegang tangan Ayu untuk memastikan perasaannya, logikanya gak berjalan lagi. Aga ingin memegang tangan itu lagi. Aga ingin memastikan apakah hari ini Ayu sudah meminum sekaleng milo atau belum. Aga ingin menemui gadis itu untuk melihat senyum ceria yang selalu Ayu sematkan ketika dengan iseng meledek Aga.

Ponselnya bergetar, membuat Aga sedikit terhenyak. Aga langsung mengecek notifikasinya, berharap Ayu menghubunginya. Tapi, ternyata bukan.

Pesan itu dari Clara. Mantan pacarnya dulu, yang memutuskannya tiga tahun lalu, sebelum Aga berangkat ke Nottingham.

end gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang