Butterfly Effect

318 60 8
                                    

"Our duty is to do our best to keep on living. Even if our lives are not perfect."

Kalimat itu yang selalu menempel di hidup Ayu, ketika ia membaca buku Colorless Tsukuru Tazaki karangan Haruki Murakami saat kuliah dulu. Sedari dulu Ayu merasa hidupnya tidak akan pernah sempurna.

Bahkan sedari kecil.

Saat ayah dan bunda baru saja mengadopsi Dimas, tiba-tiba ayah kena tipu oleh temannya yang meminjam duit berpuluh-puluh juta dan dibawa kabur. Padahal saat itu, ayah sedang menyiapkan biaya untuk Adimas masuk TK. Dan disinilah bunda dan Ayu yang menjadi guru untuk Adimas. Bahkan ketika SD pun, saat ditanya oleh guru, dimana TK Adimas berasal, Dimas akan menjawab TK Bunda dan Kakak Ayu.

Saat ekonomi keluarga mulai kembali dan mulai settle pun, Ayu masih harus tetap berhemat. Karena dulu Ayu suka menyanyi, ia mulai mencoba ikut lomba yang diadakan sekolah bahkan tembus hingga tingkat provinsi, meskipun saat itu Ayu tembus juara dua. Tapi, Ayu bangga, setidaknya dia menemukan hal yang ia bisa di hidupnya.

Alasan kenapa Ayu memilih kuliah di perguruan tinggi negeri, salah satunya karena biaya yang dikeluarkan tidak terlalu mahal. Setidaknya Ayu bisa meringankan beban keuangan ayah yang tidak terlalu stabil. Meskipun ayah bekerja sebagai PNS yang mendapat tunjangan setiap tiga bulannya, tapi tetap saja mereka tetap harus berhemat, karena pendidikan Adimas juga belum selesai.

Cobaan dimulai lagi saat Ayu masuk semester 4, saat itu tiba-tiba ayah masuk IGD karena mengeluh dadanya nyeri dan ayah didiagnosa memiliki penyakit jantung. Beruntung ayah segera dibawa ke rumah sakit dan mendapat penanganan segera, Ayu saat itu hampir kehilangan ayah. Dan biaya ayah untuk berobat juga tidak sedikit, belum lagi ayah harus pasang ring di jantung, Ayu mau tidak mau harus mengalah lagi. Ia cuti dua semester kuliah, untuk mencari kerja tambahan.

Selama cuti, Ayu bekerja sebagai kasir di makanan cepat saji dan terkadang mengambil part time untuk menjadi SPG di acara pameran-pameran yang dimana duitnya Ayu tabung untuk membayar kuliah dan menambah biaya pengobatan ayah.

Hidup Ayu tidak selalu sempurna dan ia selalu kurang. Tapi, kekurangan itu tidak selalu menjadikan Ayu merasa kecil, yang ia lakukan hanya berusaha. Itulah kenapa setelah lulus dan bekerja di daycare milik ayah Yaya, Ayu menyarankan untuk membuka sekolah Rumah Pohon untuk anak-anak jalanan yang kurang beruntung. Ayu tidak ingin kekurangannya membawa Ayu sebagai orang yang kecil hati dan menyerah dengan keadaan.

Yaya dan Dhiska setuju dengan ide Ayu, awal mula mereka hanya mengajar dengan biaya pribadi. Lalu, ayah Yaya menjadi donatur pertama. Dan seiring berjalannya waktu, mereka mulai merambah membuka donasi secara terbuka. Bahkan tidak sedikit orangtua murid yang menyumbangkan harta mereka, berupa duit ataupun barang-barang yang bisa dipakai.

Dari mengajar biasa, sekarang biaya yang terkumpul bisa menyekolahkan anak-anak jalanan dan anak pemulung yang tidak beruntung.

Ayu teringat kata bunda, "Kalau gak ada orang baik di dunia ini, kenapa bukan kakak aja yang jadi orang baik?"

Menurut Ayu, ia selalu merasa baik ketika melihat anak-anak asuhnya ceria ketika belajar dan menceritakan pengalaman mereka di sekolah.

Kemiskinan itu jahat menurut Ayu. Bohong jika kemiskinan menghalangi pendidikan. Bahwa nyatanya memang iya. Sehebat apapun program pemerintah untuk membantu pendidikan anak miskin di Indonesia, pasti ada saja celah bagi anak-anak yang kurang mampu untuk mereka merasa tidak pantas ada di sekolah. Dan Ayu tidak ingin mereka merasa demikian. Orangtua mereka terbatas masalah pengetahuan karena pendidikan terakhir mereka bahkan SD saja tidak lulus. Di sini siapa lagi jika bukan Ayu dan teman-temannya yang bergerak. Ayah dan Bunda menyekolahkan Ayu sampai sarjana bukan hanya untuk diam duduk di kursi kantor saja. Ada hal yang harus Ayu bantu di luar sana.

end gameWhere stories live. Discover now