Musibah Yang Sadam Ingat

203 43 23
                                    

Sagara

—-

Kalau orangtua Ayu sudah berada di Bogor, yang pasti akan terjadi reuni antara ibu dengan bunda Ayu. Sebenarnya bukan hanya reuni antara mereka berdua, tapi antara dua keluarga ini.

Kemarin ibu menelfon gue dan mengabarkan dengan suara yang kelewat senang, kalau beliau diundang ke rumah orangtua Ayu yang ada di Bogor. Tentunya gue sudah tahu hal ini lebih dulu dari Ayu karena dia yang mengabari gue dari awal.

Setelah menjemput ibu dan ayah dari rumah, gue menyetir mobil menuju Bogor dengan kecepatan sedang. Tidak hanya ibu dan ayah, bang Sadam dan mbak Rhea juga akan menyusul nantinya. Dan ada satu personil tambahan, yaitu Janu. Bocah ini sengaja gue ajak karena tadi dia mampir ke apartemen untuk minta makan, sekalian saja gue ajak dia gabung makan bersama.

Sesekali gue mengecek handphone, memastikan apakah ada balasan pesan dari Ayu. Tapi, nihil. Sudah dua jam dia tidak membalas pesan terakhir yang gue kirim.

"Sagara, lagi di jalan tol, kamu jangan main hp kalau sedang nyetir." Protes ibu dari kursi belakang.

"Lagi ngecek ada chat kerjaan bu." Alasan yang gue keluarkan.

Sementara Janu hanya cekikikan gak jelas sambil mengunyah keripik singkong yang dia comot dari stock snack milik Kiran.

"Haduh... Ini tuh hari Sabtu, Sagara. Pokoknya nanti kalau sudah di rumah Ayu, ibu gak mau liat kamu nunduk main hp."

"Bu, anaknya kan punya kepentingan masing-masing. Masa iya ngecek kerjaan aja gak boleh?" Gue tahu ini lancang, tapi gue gak tahu lagi bagaimana cara untuk menutupi hubungan gue dengan Ayu.

"Benar kata ibu mu. Setidaknya hargai yang punya rumah. Kan kamu juga sudah lama tidak bertemu orangtuany Ayu to? Dulu mereka lo yang menjaga kamu kalau ibu dan papa sibuk." Tentu saja papa akan berada di pihak ibu.

Gue pura-pura mendesah berat. Tentunya nanti gue akan banyak menghabiskan waktu dengan Ayu. Tapi, kami juga pasti akan kesulitan untuk mencari cara agar hubungan kami tidak terlalu kentara.

Perjalanan satu jam lebih yang sudah ditempuh, akhirnya sampai di rumah orangtua Ayu. Tante Dewi dan suaminya sudah menunggu depan pintu untuk menyambut kedatangan ibu dan papa.

Gue sudah memprediksi ibu akan memeluk bunda Ayu dengan penuh haru bahkan bisa saja menangis. Dan benar saja, pelukan sambutan sekaligus pelukan rindu itu belum terlepas antara dua sohib yang terpisah selama dua puluh tahun. Papa dan ayah Ayu juga saling menepuk bahu masing-masing karena tidak terasa mereka bertemu dengan keadaan rambut keduanya yang sudah memutih.

Tentu gue juga menyalami tangan mereka, tetapi karena gue sudah bertemu dengan bunda dan ayah Ayu kemarin, jadi tidak ada adegan dramatis.

"Halo tante." Dengan polosnya Janu ikut menyempil dan salim mencium tangan ayah dan bunda Ayu.

"Ini Janu, keponakanku. Sengaja aku suruh ikut karena dia juga kenal sama Ayu." Ujar Ibu, "Ayu dimana?"

"Ayu masih di dapur, tadi aku suruh siapin buah." Jawab bunda Ayu.

"Sagara, kamu ke dapur sana bantuin Ayu." Ibu mendorong badan gue pelan untuk masuk ke dalam.

"Ndak usah... Kita langsung masuk saja. Biar nanti makanannya Ayu yang bawa." Bunda Ayu mencegah gue.

"Gak apa-apa. Biar mereka makin deket. Kalau gak diginiin dua-duanya gak mau ngobrol."

Tanpa membantah, gue izin masuk ke dalam rumah dan pergi ke dapur. Senyum gue muncul begitu melihat punggung Ayu yang sangat sibuk sedang memotong buah.

end gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang