Part 3

4.6K 417 22
                                    

03. Diculik

~°•°~

Naka menoleh kebelakang. Sejak tadi dia merasa kalau sekarang dia tengah di awasi. Naka menggeleng. Dia tidak menemukan siapapun. Kembali berjalan dengan santai. Dia baru saja ke alpa. Beli jajan.

Gerakan Naka terhenti. Keningnya terlipat tipis. Bukannya gak hujan ya? Kok ada genangan air?

Naka menunduk, dia tersentak kaget saat yang ia lihat adalah genangan datar. Naka menelan salivanya. Mengikuti asal dari mana darah itu berasal. Kedua mata Naka melebar. Dia mundur. Perutnya melilit. Mual.

Siapa yang tega bunuh anak kecil? Naka bertanya di dalam hati. Tubuhnya terasa lemas. Sebenci-bencinya Naka sama anak kecil, dia gak bakalan tega bunuh anak yang masih suci seperti itu. Apalagi yang ia lihat sekarang terlihat masih di bawah umur enam tahun.

Bau anyir darah tiba-tiba terasa di hidungnya. Naka mundur. Kakinya terasa begitu lemas. Beruntung dia masih bisa mengendalikan dirinya.

Bugh!

Tengkuk Naka di pukul oleh seseorang. Pukulannya sangat keras. Belum lagi seseorang juga menendang kakinya. Naka tersungkur ke depan. Kaos yang ia kenakan basah karena darah.

"Bawa dia."

Mulut Naka di bekap, entah oleh siapa. Tapi yang pasti, setelah itu Naka menghirup sesuatu yang membuat kesadaran Naka perlahan menghilang.

"Mau bawa kemana?"

"Simpen aja di gudang. Nunggu perintah boss lagi."

Salah seorang pria berdecak. Menatap Naka kasihan. "Ckck! Kasian banget ni anak. Padahal ganteng ya, masa mau berakhir tragis?"

"Orang ganteng gak nentuin nasibnya baik atau enggak. Udah ayo!"

~°•°~

Naka menggerakkan tangannya yang terikat dibalik kursi yang ia dudukki. Ikatannya cukup kencang, membuatnya kesulitan untuk membukanya. Beruntung kakinya tidak ikut di ikat.

Penculiknya bodoh.

"Kalo Ayah yang ngelakuin ini, gak bakalan gue maafin." Naka menggerutu. "Gue ini 'kan normal, emang gara-gara Alca aja malah nikahin gue. Sialan banget. Gue bakalan tendang anunya Alca sampai dia puasa setahun."

Pintu terbuka membuat Naka langsung menghentikan aksinya untuk mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya.

Seorang pria masuk sambil membawa pisau. Naka mengernyit. "Saya mau di bunuh?" tanya Naka santai.

Pria itu mengernyit bingung. "Lo mau di bunuh kok santai banget? Takut gitu atau apa kek. Gue berasa gak ada harga dirinya sebagai penculik."

"Loh? 'Kan emang gak ada harga dirinya." balas Naka santai.

"Lo bilang apa?!" tanya pria itu kesal. Sudut matanya berkedut. Kepalanya yang botak plontos itu tampak mengkilat terkena cahaya matahari pagi.

"Om, bisa matiin lampunya gak? Silau." Naka menutup sebelah matanya.

Pria itu semakin kesal mendengar ucapan Naka. "Lo emang ngeselin. Kayak bapak lo itu."

"Loh? Om di suruh Bapak saya buat nyulik saya?"

"Ya iyalah. Lo 'kan gak berguna, makanya dia berharap lo mati." Pria itu menggeleng pelan, "Kasian banget hidup lo. Nanti kalo udah di surga, kasih tau gue gimana rasanya ya? Gue juga pengen tinggal di surga."

"Lah?" Naka menatapnya bingung. "Om ini mau bunuh saya tapi berharap tinggal di surga? Om gila ya?"

"Gak gila gue. Tapi pernah baca quotes, 'Mending bunuh orang dari pada ngefitnah orang. Karena fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan' makanya gue mau ngebunuh lo, dosanya gak begitu gede."

MINE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang