8. Red Velvet Cake

246 123 73
                                    

Setelah menghabiskan waktu dengan gadis bernama belakang Viona itu, Alex kini berada di Antoinette Cafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah menghabiskan waktu dengan gadis bernama belakang Viona itu, Alex kini berada di Antoinette Cafe. Melakukan meeting dengan perwakilan dari Galenio Lexham.

Alex mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru Cafe. Dirinya tak tau, bagaimana rupa sosok pengganti CEO Lexham Company.

"Anda sedang mencari siapa?" tanya salah satu pekerja di sana yang berpapasan dengannya.

"Ah, saya mencari anak dari Pak Galen. Di antara semua pengunjung, yang mana salah satunya?" tanya Alex pada pekerja itu.

"Oh, anaknya Pak Galen. Beliau ada di pojok sebelah kiri," jawabnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, dirinya berjalan menuju tempat yang dimaksud. Sebelumnya, ia terkejut karena yang dipikirannya adalah seorang lelaki. Namun urung saat melihat seseorang di hadapannya.

"Selamat siang."

Orang itu menghentikan kegiatannya kala melihat Alex di dekatnya. Wanita itu berdiri, menyambut kedatangan pria itu.

"Anda Pak Alex? Perkenalkan saya Gabriella Lexham, Anda bisa memanggil saya dengan Gaby. Saya yang akan menggantikan Ayah saya untuk meeting siang ini dengan Anda." Gaby mengulurkan tangannya.

Alex menjabatnya, "Alexander Gevian, Anda bisa memanggil saya Alex."

"Silahkan duduk."

Alex duduk sambil membenarkan jasnya, "Boleh langsung kita mulai meeting-nya?"

***

Jam menunjukkan pukul lima, sudah saatnya Alex untuk pulang. Saat sudah berada di depan kantornya, Alex mengedarkan pandangannya pada seluruh bodyguard kepercayaannya.

Alex menatap salah satu pria yang terkenal dengan jabatannya sebagai kepala bodyguard. Seperti biasa, ia melempar benda kecil tersebut hingga ditangkap oleh pria berpakaian hitam itu.

"Bawa pulang mobil saya. Antar saya ke Javelin Hospital." Alex berjalan ke arah mobil hitam milik salah satu bodyguard-nya.

Salah satu bodyguard-nya sigap membukakan pintu untuk sang atasannya lalu satu lainnya segera mendaratkan pantatnya ke kursi kemudi.

Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di rumah sakit yang terkenal di Jakarta, Javelin Hospital. Di sana ada beberapa teman dari pria itu dan hampir semua orang di Rumah Sakit itu mengenal sosok Alex.

Pandangannya fokus ke depan, kaki jenjangnya menuju salah satu kamar dengan tangan yang bersarang di saku celananya.

"Sore, Bos," sapa pria berpakaian serba hitam.

"Gimana keadaannya, sudah sadar?"

"Sudah satu jam lalu. Anda bisa masuk ke dalam."

Alex memasuki kamar yang dijaga oleh salah satu bodyguard-nya. Di sana Alex dapat melihat seseorang yang duduk bersandar di atas ranjang.

"Gimana kondisi kamu?" Alex bertanya.

Pria dengan luka lebam di beberapa bagian wajahnya hanya tersenyum. "Sudah sedikit membaik, Pak."

"Jangan diulangi. Kamu tau akibatnya jika salah langkah," peringat Alex membuat Evan hanya menundukkan kepalanya.

Alex melangkahkan kakinya yang terbalut sepatu itu menuju pintu. Hendak membuka knop pintu, suara Evan membuat pergerakannya terhenti.

"Besok atau lusa, saya akan kembali ke kantor. Kaki saya masih terasa sakit jika digerakkan."

Tanpa memutar tubuhnya, Alex berucap, "Kalau masih sakit, jangan dipaksa. Urusan kantor biar Maureen yang handle."

Setelah itu, pria berjas hitam itu keluar dari ruang inap Evan.

Satu bodyguard yang berjaga menunduk hormat kala Alex melenggang pergi. Pria itu keluar rumah sakit dan kembali memasuki mobil hitam milik bodyguard-nya.

"Sebelum pulang, belikan saya es krim vanilla dan kue red velvet di toko yang biasanya Mama saya kunjungi."

Seseorang yang sedang memegang setir mobil pun mengangguk.

Kira-kira satu jam lamanya perjalanan menuju toko roti dan kembali ke mansion. Pria bernama Alex sedang berjalan santai sambil membawa paper bag.

"Pak Alex?"

Alex yang berada di tengah-tengah anak tangga langsung menolehkan kepalanya ke belakang. Mendapati gadis dengan celemek yang menempel di tubuh mungilnya.

"Ngapain kamu pakai celemek?" tanya Alex seraya menuruni anak tangga.

Vio terkekeh sejenak. "Saya bosan nunggu Pak Alex pulang. Jadi, saya coba bikin kue." Senyum Vio merekah.

Alex menanggapi dengan wajah datarnya. Sadar akan sikap tidak sukanya, ia langsung mengubah mimik wajahnya. Tersenyum kembali pada si gadis.

"Boleh saya lihat?" Vio mengangguk.

Dua insan itu berjalan menuju dapur sang pemilik. Ketika sampai di dapur, hatinya bergemuruh kala melihat kue red velvet itu tersaji di piring.

"Pak?"

Sadar akan lamunannya, Alex mengangkat kedua alisnya dan menatap Vio.

"Coba Pak Alex cicipi. Enak atau gak?"

"Kamu gak sedang meracuni saya, 'kan?" Mata Alex memicing seraya menatap dua bola mata cokelat milik Vio.

"Mana mungkin saya meracuni Pak Alex."

Alex mengedikkan bahunya acuh. Tangan kanannya yang menganggur mencari-cari sendok. Setelah ketemu, barulah ia menyendoki kue itu ke dalam mulutnya.

Pria itu mengunyah perlahan seraya menerawang sesuatu. Rasanya seperti ... sedang menikmati kue buatan mendiang Ibunya.

"Bagaimana rasa---"

"Kamu mencari resep kue ini dari mana?"

"Ada apa, Pak?" Vio tertegun melihat ekspresi Alex yang sedikit menakutkan, menurutnya.

"Jawab!"

Bentakan Alex membuat Vio semakin tak berkutik. Hal itu membuat si pria melempar sendok dan mendekat ke arah Vio. Gadis itu sungguh takut dengan pria itu.

Telunjuk Alex menaikkan dagu Vio, membuat gadis itu mendongak. Selisih tinggi mereka juga jauh, membuat Vio harus mendongak ketika menatap pria itu.

"Jawab pertanyaan saya tadi."

Pandangannya terkunci pada netra hitam Alex. "Saya tau resep itu dari seseorang."

"Seseorang? Di mana kamu mengenalnya?"

Alex yang tidak sabaran, ingin sekali merobek mulut gadis di depannya. Sedangkan Vio menahan nafasnya dan menelan ludahnya kasar.

"Saya tidak ingin mengulang pertanyaan yang sama."

Vio tergagap. "Dari seseorang di Panti Asuhan. Saya memanggilnya dengan nama Bunda."

Alex menurunkan telunjuknya yang berada di bawah dagu Vio. Menetralkan nafasnya yang tersenggal-senggal serta emosi yang ingin ia ledakkan.

"Simpan ini di kulkas. Jangan sampai kamu menyentuhnya." Alex memberikan paper bag itu secara kasar pada Vio.

Setelah kepergian Alex, Vio menatap paper bag yang dibawanya. Dirinya masih tidak sadar apa yang dilakukan Alex barusan. Apakah barusan itu sifat Alex yang tidak pernah ia temui?

Dari pada memikirkan yang tidak-tidak, ia segera menyimpan paper bag itu ke dalam kulkas di bagian freezer. Entah isinya apa, dia hanya diperintahkan untuk menyimpan ke dalam kulkas.

SWEET REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang