12. Cisantana Orphanage

164 81 30
                                    

Kurang lebih empat jam, Evan---sang asisten pribadi menyetir mobilnya menuju Kuningan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kurang lebih empat jam, Evan---sang asisten pribadi menyetir mobilnya menuju Kuningan. Dari jam dua belas siang kini sesampainya jam empat sore.

Mobil milik Evan sudah terparkir di depan gerbang Panti Asuhan Cisantana. Tak lama kemudian seorang pria paruh baya keluar dari sana, bertepatan dengan Evan keluar dari mobilnya.

"Cari siapa, Pak?" tanya pria tersebut. Nampaknya, pria itu satpam di sana.

"Saya ingin bertemu dengan ibu Panti. Orangnya ada?" tanya Evan.

Pria itu beroh-ria. "Ibu Riska sedang ada di luar kota dari kemarin. Mungkin besok pagi, beliau sudah pulang ke sini."

Evan mengangguk-angguk. "Baik, kalau begitu. Besok pagi saya akan kemari lagi."

Evan kembali ke dalam mobilnya. Ia mengatakan pada Alex bahwa orang yang akan ditemui saat ini sedang tidak ada di sana. Jadi, mari besok ke sini lagi.

Evan mengendarai mobilnya menuju hotel penginapan. Ia mencari yang kualitasnya bagus dan pastinya mewah. Agar si pria di belakang tidak mendumel saja.

Di dalam kamar, Alex langsung merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya seakan-akan ingin menghilangkan beban pikirannya saja.

Tak lama kemudian, ponselnya yang masih berada di saku celananya berdering. Ia segera menggapainya dan mengecek nama penelepon.

"Iya, kenapa Vio?

"Pak Alex gak pulang? Padahal ini sudah jam lima sore. Oh! Pak Alex sibuk di kantor ya? Yaudah kalo gitu, saya tutup ya, Pak!" oceh Vio.

Alex terkekeh sejenak. "Saya gak sibuk. Saya gak pulang karena ada di luar kota."

"Terus kalo gak sibuk, kenapa harus ke luar kota? Pasti itu ada sangkut pangkutnya sama kerjaannya Pak Alex."

"Ya, anggap aja seperti itu."

"Terus, Pak Alex ada di mana sekarang?"

"Hotel."

"Ah! Pak Alex istirahat ya? Yaudah, saya tutup teleponnya. Ini bener-bener saya matiin."

"Sebelum dimatikan, saya nitip Gev. Pastikan makan dengan giat. Saya pulang, Gev kurus, kamu yang akan jadi bahan makanan Gev."

Vio gelagapan. "Pak." Vio terkekeh. "Saya kasih makan Gev banyak. Yaudah, saya matiin teleponnya. Hati-hati di sana, Pak Alex!

Alex menaruh ponselnya di atas nakas. Dirinya melawan rasa malasnya untuk pergi ke kamar mandi dan menyegarkan tubuhnya yang lengket akan keringatnya.

***

Keesokan harinya pukul sepuluh pagi, Alex dan Evan sudah berada di Panti Asuhan Cisantana. Kedua pria itu duduk di ruang tamu seraya menunggu sosok ibu Riska yang masih sibuk di dalam.

Tak lama, bu Riska datang. Wanita berhijab merah muda itu tersenyum ramah ke arah mereka sebelum duduk di sofa.

"Selamat Pagi. Saya Riska, saya pembimbing yayasan di sini. Apa ada yang perlu saya bantu?" sapa bu Riska.

Alex dan Evan saling pandang. Alex menginstruksikan lewat pandangan mata bahwa dirinya saja yang akan berbicara.

"Saya Alexander, di sebelah saya asisten pribadi saya, Evan." Alex memperkenalkan Evan. "Sebelumnya, saya minta maaf atas kedatangan kami kemari."

"Baik, Pak Alex, Pak Evan. Katakan, ada perlu apa datang ke sini?"

Evan mengeluarkan kertas foto dari saku jasnya. Lalu ia taruh di meja depan bu Riska. Bu Riska menatap bingung foto tersebut.

Bu Riska mengambilnya. "Ini foto masa kecil Viona."

Evan mengangguk mantap. "Kami ke mari, ingin menanyakan tentang anak laki-laki yang berada di sebelah Viona."

Bu Riska beralih menatap Alex dan Evan bergantian. "Ada perlu apa kalian menanyakan tentang mereka?"

"Saya ingin tau, siapa anak laki-laki yang ada di foto itu?" tanya Alex langsung.

"Dia teman masa kecil Viona. Kedekatan mereka seperti tak bisa dipisahkan. Anak laki-laki itu bagai perisai bagi Viona. Asal kalian tau, Viona nampak kesepian ketika dia baru saja masuk ke sini. Lalu tak lama kemudian, anak laki-laki itu datang mengatakan kalau dirinya tak punya siapa-siapa lagi kecuali Viona. Saya merasa kasihan, jadi saya membawanya masuk," jelas bu Riska.

"Tapi saat Viona menyendiri, anak laki-laki itu selalu menghampiri Viona. Saya pernah dengar kalau mereka sudah besar nanti bakal keluar dari sini dan mereka akan segera bertemu lagi di sini," lanjut bu Riska.

"Anak laki-laki itu pernah datang ke sini?" tanya Alex.

Bu Riska mengangguk. "Sering. Bahkan selalu menanyakan kehadiran Viona."

"Apa kemarin datang kemari?" Alex bertanya lagi.

"Ya. Saya ditelepon oleh satpam."

"Jam berapa laki-laki itu ke sini?"

"Sekitar jam delapan pagi."

Alex mengangguk. "Ah, pagi rupanya. Kami kemarin juga ke mari tapi sekitar jam empat sore. Waktu itu Anda juga tidak ada di sini."

"Iya, maafkan saya. Ngomong-ngomong, kalian dari mana?"

"Kami dari Jakarta." Evan menjawab.

Bu Riska kebingungan. "Ah, pasti perjalanan ke mari sangat lelah. Saya hanya bisa menjamui Anda dengan minuman hangat."

Kedua pria itu tersenyum kompak lalu menyesap minuman itu.

"Ngomong-ngomong kalau boleh saya tau, Anda kenal bu Lucy?" tanya Alex spontan membuat bu Riska tersedak ludahnya.

"Maaf. Anda bilang, bu Lucy?" tanya bu Riska dengan nada rendah hingga tak ingin siapapun mendengarnya.

"Apa kurang jelas saya bertanya?"

"Maafkan saya, Pak Alex. Kalau boleh tau, untuk apa Anda bertanya hal itu?"

"Apakah Anda ingin tau alasan saya untuk bertanya tentang bu Lucy? Bu Lucy, ibu kandung saya?" Alex mempertegas.

Bu Riska spontan menutup mulutnya dengan tangannya. Sungguh, wanita itu terkejut bukan main. Kini putra bu Lucy sedang berada di hadapannya.

Bu Riska tergagap. "Anda putra bu Lucy? Maafkan saya, Pak Alex. Sungguh, saya tidak tau tentang ... kejadian itu. Saya saat itu sedang keluar. Lalu saya dikabarkan oleh satpam kalau bu Lucy ... tertusuk."

"Saya benar-benar lega bertemu dengan Anda. Bu Lucy pernah bilang ke saya, suatu saat beliau akan memperkenalkan Anda ke saya. Namun siapa tau, Anda datang ke saya saat bu Lucy tiada."

"Apa yang Anda ketahui ketika terjadi penusukan terhadap mama saya?"

"Sekali lagi, maafkan saya Pak Alex. Saya tiba di TKP melihat ... Viona sedang memegang pisau. Saya bingung, saya juga tidak percaya dengan kejadian itu. Apalagi Viona yang menusuk ibu Lucy."

"Maaf memotong." Evan berkata. "Kata Anda, teman dekat laki-laki Viona layaknya perisai. Lalu, bagaimana ceritanya kala Viona menusuk bu Lucy?"

SWEET REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang