14. Supermarket

134 70 23
                                    

Kedua pria yang bernama Alex dan Evan kini sudah sampai di Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua pria yang bernama Alex dan Evan kini sudah sampai di Jakarta. Setelah mengantarkan sang atasan ke mansion, Evan langsung melesat pergi.

Alex segera merebahkan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Ia memejamkan matanya sejenak. Cukup lelah perjalanan empat jam lamanya.

"Pak Alex?"

Tidak ada sahutan. Vio yakin, itu Alex. Ia segera mendekat ke arah pria itu. Oh, benar. Pria itu sudah terbawa ke alam mimpinya. Vio menatap lekat wajah Alex yang damai.

Alis tebalnya, kulit putih tanpa pori-pori, hidung mancung, bibir tipis merah mudanya, rahang tegas serta jakunnya yang menonjol. Sungguh, wajahnya dicetak bak Dewa Yunani.

Tanpa sadar, gadis itu menatap Alex lima menit lamanya. Tanpa berbicara apa pun dan tanpa bergerak sedikit pun.

"Sebegitu tampannya saya, sampai kamu gak beranjak?" Suara serak nan berat membuyarkan lamunan Vio.

"Hah?" Tangan Vio mengibas ke udara. "Mana ada, Pak." Vio terkekeh lega.

Alex terkekeh sejenak. "Buatkan saya minum, antar ke kamar saya." Alex beranjak dari duduknya.

Vio mengangguk. Ia segera menuju ke dapur dan membuatkan Alex minum segera. Sedang Alex, menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas.

Tak butuh waktu sepuluh menit, Vio segera mengetuk pintu kamar sang tuan rumah. Tangannya membawa nampan berisi minuman untuk Alex.

Pintu terbuka, menampakkan Alex yang telanjang dada. Hal itu, membuat Vio mati kutu. Kakinya tak sanggup melangkah lagi. Hei, otot perut pria itu sungguh menggiurkan!

"Sanggup berdiri berapa lama kamu? Cepat bawa masuk minuman saya. Taruh di meja," perintah Alex.

Vio segera menaruh gelas itu ke meja. Sebelum pergi, ia mengingat suatu hal yang harus dibicarakan dengan Alex.

"Pak Alex, bi Arum pulang ke rumahnya. Katanya, anaknya lagi sakit. Jadi, mulai kemarin saya sendirian di sini. Oh, iya. Saya nanti mau pergi ke supermarket beli kebutuhan dapur. Kebetulan stoknya mau habis."

Alex mengangguk. "Ya."

Ya, doang?!?!

Vio terkekeh menghilangkan rasa canggungnya. "Pak Alex mau saya beliin sesuatu nanti di luar?" Alex menggeleng.

"Yaudah, saya keluar dulu, Pak."

Di kamar, Vio memainkan ponsel pemberian Alex. Dirinya telungkup sambil membuka salah satu aplikasi sosial media-nya.

Tak ada yang menarik. Bahkan dirinya pun juga tak punya banyak teman di sana.

Namun saat ia membuka direct message, matanya membulat sempurna kala melihat pesan seseorang. Sungguh, Vio kira orang itu sudah lupa dengannya.

Tangan gadis itu tak berani menekan pesan itu. Sudah lama pula, dirinya tak bertemu dengan orang itu. Dengan cepat, ia segera menekan tombol keluar. Ponselnya ia taruh kembali di atas nakas.

Tubuhnya yang telungkup, kini berubah menjadi telentang. Netra coklatnya menatap langit-langit kamarnya.

"Tuhan, biarkan aku hidup dalam ketenangan." Vio memohon. Tanpa sadar setetes air mata keluar dari pelupuk matanya.

***

Sore hari jam tiga, Vio sudah siap. Dirinya berniat akan pergi ke supermarket. Ia kini sedang berada di ruang tamu, menunggu Alex. Bukan karena Alex ikut, melainkan Vio akan meminta izin darinya.

"Ke supermarket sekarang?"

Vio berdiri, mendapati Alex berdiri di anak tangga terbawah. Pria itu segera menghampiri Vio.

"Saya pergi ke supermarket sekarang. Pak Alex kalo mau sesuatu, boleh telepon saya aja." Alex mengangguk.

Alex memberikan kartu kredit pada Vio. "Pakai uang di sini. 200395, nomor password-nya. Bilang ke William, biar diantar ke supermarket."

Vio mengangguk mantap. "Terima kasih, Pak. Saya pergi dulu." Vio melambaikan tangannya lucu ke Alex.

Sesuai perkataan Alex, Vio meminta William untuk mengantarkannya ke supermarket. Mobil hitam kini Vio tempati dengan William yang sedang menyetir.

Sesampainya di supermarket, Vio mendorong trolley dan berjalan santai menuju rak buah-buahan. Ia segera mengambil beberapa buah sesuai kebutuhan.

Sedangkan William, pria itu menjaga Vio dengan radius lima meter. Itu pun karena permintaan Vio. Dirinya merasa risih jika seseorang mengikutinya secara terang-terangan.

"Apel, anggur, jeruk, pisang ... apa lagi ya?" gumam Vio menatap trolley-nya.

Vio mendorong trolley-nya menuju rak sebelahnya. Ia segera mengambil kebutuhan sayuran untuk Alex. Vio mengambil banyak sayuran, toh pakai uang bosnya.

Setelah kurang lebih setengah jam mengitari supermarket, akhirnya usai juga dirinya berbelanja. Di kasir, Vio membayar seluruh belanjaan, tentu dengan uang Alex.

Tadi Vio juga sempat membeli es krim. Mumpung pakai uang Alex, dirinya membeli lima macam es krim. Entah rasa coklat, vanilla, buah, dan sebagainya.

Seluruh belanjaan kini William ambil alih. Sedang gadis itu, enak-enakan memakan es krim vanilla-nya sambil berjalan.

"Pak William, saya ke toilet bentar ya? Pak William boleh ke mobil dulu, nanti saya nyusul."

William mengangguk. "Baik. Jangan lama-lama." William pergi meninggalkan Vio yang berjalan menuju toilet umum.

Setelah menemukan toilet umum, Vio segera masuk ke bilik toilet. Beberapa saat kemudian setelah selesai, Vio mencuci tangannya sejenak di wastafel lalu meninggalkan toilet.

Saat perjalanan, Vio merasa janggal. Ia bingung sendiri, seperti ada yang tertinggal. Tangannya meraba saku celananya. Ponsel! Ah, benda itu tertinggal di bilik toilet.

Vio berlari kecil menuju toilet. Dengan jantung yang berdegup kencang, takut ponsel dan kartu kredit Alex hilang. Aih, ceroboh sekali dirinya.

"Untung aja masih di sini. Kalo hilang, gak ngerti lagi." Vio lega melihat kedua benda itu di tangannya. Ponsel dan kartu kredit Alex.

Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal menghiasi layar ponselnya. Tanpa ragu, ia menggeser tombol hijau.

"Non Vio, saya William. Anda menemukan toiletnya?"

"Oh, Pak William. Sudah, Pak. Tadi handphone saya ketinggalan di toilet, jadi saya kembali lagi ke sini. Ini sudah ketemu kok, saya langsung menyusul Pak William. Tunggu."

"Saya tunggu, Non Viona."

Memutuskan panggilannya, Vio menyimpan kembali ponselnya ke saku celana. Bercermin sebentar untuk merapikan rambutnya yang sempat berantakan akibat lari-larian ke toilet.

Vio keluar dari toilet, ia mempercepat langkahnya. Namun, kecepatan langkahnya membuat dirinya menabrak seseorang.

"Ah, maaf," ucap Vio tanpa melihat orang yang ia tabrak.

"Tidak apa-apa. Hati-hati kalau jalan. Ada apa sampai kamu terburu-buru?"

Suara itu. Mengingatkan Vio pada seseorang.

Ia menatap wajah orang yang ia tabrak. Ekspresinya seketika berubah datar. Sungguh, dirinya tak ingin menemuinya lagi. Mengapa Tuhan berkehendak lain.

Lain hal dengan Vio, orang itu malah tersenyum pada Vio. Matanya melengkung bagai bulan sabit akibat senyumannya.

"Hello? How are you, Viona?"

SWEET REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang