Aku tak sengaja mendengar percakapan Ayah dan Ibu. Mereka berbincang santai di ruang keluarga, tempatku tadinya tertidur sambil menonton TV series kesukaanku.
Ibu membelai-belai kepalaku yang bersandar di atas bantal tak jauh darinya. Aku bergeming, berpura-pura masih tidur pulas.
"Kenapa kamu berkata begitu? Tak sedikitpun terlintas penyesalan di hatiku menikah denganmu."
Sepertinya Ayah mengulum senyum lega mendengar ucapan istrinya.
"Benar? Kamu nggak menyesal sudah menghentikan mimpimu? Kamu harus berhenti bekerja setelah anak pertama kita lahir. Padahal saat itu kamu baru saja diterima menjadi dokter di rumah sakit internasional. Kamu berkesempatan untuk melanjutkan kuliah spesialis anak. Kamu bisa mewujudkan cita-citamu."
Ibu terdengar mengembuskan napas panjang. Jemarinya berhenti membelaiku.
"Benar. Lagi pula siapa yang bilang aku berhenti bermimpi? Aku hanya mengganti mimpiku, membelokkannya sesuai dengan kodratku. Sekarang pun aku masih menjadi dokter bagi keluarga dan tetangga-tetangga kita yang kurang mampu. Itu jauh lebih berharga rasanya dibandingkan menjadi dokter di rumah sakit mewah."
Ibu menjeda kalimatnya. Sekali lagi menarik napas panjang.
"Mimpiku sekarang ini adalah bisa mendidik anak-anak menjadi manusia saleh dan saleha. Menciptakan rumah yang tenang dan bahagia. Hingga nanti kita semua bisa berkumpul lagi bersama-sama di surga."
"Aamiin," ucap Ayah mengamini doa Ibu. "Aku benar-benar beruntung menjadi suami dari seorang istri sepertimu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
2
2-02-2022
Tanggalnya cantik. Nggak terasa tinggal 6 hari lagi. Semoga bisa terus submit tanpa bolong.
Sayang, mepet, banyak ide tapi cuma segitu yang ditulis. Panggilan tugas sudah menunggu. Challenge hari ini adalah membuat cerita dengan tema: "Seseorang yang membuatku berhenti bermimpi."
