Dua Puluh Tiga

12.2K 1.7K 118
                                    

Aku tidak menyangka bahwa kehilangan seseorang itu bisa semenyakitkan ini.

-Lusi

"Nak," panggil ayah Lauren dari pintu. Lusi pun menoleh, dia masih berdiri di balkon karena merasa panas di dalam kamar. "Sedang apa?"

"Nyari angin aja, Yah. Gerah di dalem," kata Lusi sembari menyunggingkan senyumnya. Dia senang dengan kehadiran Pamungkas, sebab pria itu memberikan peran seorang ayah di hidup Lusi. Lusi jadi mengerti bagaimana rasanya kasih sayang seorang ayah.

"Hari ini bagaimana? Semuanya lancar? Ayah juga belum dengar cerita tentang liburanmu ke pulau," ucap ayah Lauren yang berjalan ke balkon. Sampai di sana, ayah Lauren mendudukkan diri di kursi kayu.

"Lancar kok, Yah. Aku seneng-seneng di sana."

Aku nggak mungkin cerita kalau ada kejadian Bizar hilang. Bisa-bisa ayah khawatir, batin Lusi yang kini duduk di dekat ayahnya.

"Syukurlah, ayah senang dengarnya." Ayah Lauren mengelus puncak rambut Lusi dengan tatapan penuh sayang. "Kamu mau dengar cerita tentang ibumu?"

Kenapa tiba-tiba? pikir Lusi yang belum pernah mendengar soal ibu Lauren sejak datang ke mari.

"Aku sedikit tidak ingat, bolehkah Ayah menceritakannya? Aku ingin tau ibu adalah sosok yang seperti apa," ucap Lusi, tatapannya lurus pada ayah Lauren yang tampak memikirkan sesuatu.

"Ibumu adalah orang yang periang. Dia selalu tersenyum lebar ke arah ayah ketika bercerita. Salah satu penyesalan ayah dulu adalah ayah belum siap memiliki anak." Lusi mengerti, jadi Lauren dan Leoner sempat tidak diinginkan oleh ayahnya. "Hal itu membuat hubungan ayah dan ibumu sempat renggang. Satu-satunya hal yang dia jaga sampai akhir hidupnya adalah kedua anaknya. Itulah yang membuat ayah berpikir bahwa ayah telah melakukan kesalahan besar. Seharusnya ayah bersyukur dengan kedatangan mutiara-mutiara kecil ayah."

Lusi menarik ujung bibirnya. "Tapi sekarang Ayah berhasil membesarkan putra-putri Ayah sendirian. Itu adalah hal hebat yang tidak semua orang bisa melakukannya."

Mata ayah Lauren berkaca kala mendengarnya. Apakah dia memang berhasil?

"Benarkah?"

Lusi mendekap lengan ayah Lauren lalu menyandarkan kepalanya di sana. "Mungkin di luar sana ada anak-anak yang tidak tau bagaimana wajah orang tua mereka, ada juga yang tak diinginkan karena kesalahan orang tuanya, dan ada yang tak ingat bagaimana kasih sayang sepasang orang tua karena tak pernah merasakannya. Jadi, aku merasa bahwa Lauren adalah orang paling beruntung."

Ayah Lauren merasa senang mendengarnya. Dia mengusap air mata yang sempat mengalir. Tangannya menepuk-nepuk pelan tangan Lusi. Keduanya fokus menatap bulan yang mulai berubah menjadi paruh.

"Aku tidak ingat kenapa aku ingin mengakhiri hidupku saat itu, tapi aku tau betul bahwa tindakanku membuat Ayah sedih. Setelah bangun dari koma, aku merasa seperti terlahir kembali. Dan Ayah adalah orang pertama yang menyambutku di sini," ucap Lusi. Kalau dipikir-pikir memang ayah Lauren yang pertama kali menyapanya dan menunjukkan kasih sayang luar biasa.

"Aku tidak tau bagaimana hidupku di sini tanpa Ayah," kata Lusi, dia berharap kenyamanan ini akan berlangsung lama.

"Ayah tidak sadar kalau anak Ayah sudah besar. Ayah tidak menyangka kata-kata itu yang akan keluar. Kamu harus selalu ingat, Lauren, bahwa kamu akan selalu menjadi anak ayah. Jadi, kamu tidak perlu bersikap dewasa pada ayah. Kamu boleh mengeluh dan mengatakan semuanya pada ayah."

I'm In Love With A Second Lead Where stories live. Discover now