Dua Puluh Sembilan

8.7K 1.5K 121
                                    

Buka hati ke orang baru tuh nggak gampang.

-Lusi

"Nggak ada? Apa maksud Kakek?!" bentak Feronika yang sudah gregetan dengan respon kakeknya. Padahal mereka sudah mengumpulkan niat untuk berberat hati menemui kakeknya, karena hanya pria itu yang mengetahui di mana tubuh Bizar, Aydan, Natasya, dan ayah Lauren. Tidaklah mungkin tubuh mereka menghilang dengan sendirinya.

Kakek Feronika tampak menatap kosong ke suatu tempat. "Kakek ... mengaku kalah. Kakek ... salah. Tapi kalau kamu mau tau, sepertinya mereka sudah ...."

Tiiiiiiit!

Bunyi alat kardiograf yang berdenging lantang menandakan berhentinya detak jantung. Spontan Feronika menatap alat yang berdenging itu dan memukul-mukulnya. "Ini rusak?"

Kemudian Feronika kembali mendekati tubuh kakeknya. Dia melihat kakeknya sudah memejamkan mata dengan bibir terbuka. "Kek! Kan belum selesai ngomongnya! Kakek! Kakek kok tidur?! Bangun, dong!"

Melihat itu Lusi terkejut. Dia segera menghampiri Feronika dan berucap, "Kayaknya ... kakek lo udah meninggal, Fer."

" A--apa?!" Feronika tak percaya. Dia berusaha membangunkan kakeknya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Kok bisa? Kakek kan nggak punya riwayat penyakit parah! Kakek kan cuma sakit ringan, kok bisa meninggal?"

Feronika masih sangat syok. Dia mendekatkan telinganya ke dada kakeknya yang sudah tak berdetak. Napasnya juga tak lagi berembus seperti saat masih hidup.

"Fer ... maut datengnya kapan aja. Nggak harus sakit dulu. Untuk sementara kita hentikan pencarian Bizar. Kita makamin kakek lo dulu," ucap Lusi sembari memeluk Feronika dari samping.

Mendengar itu, Feronika terdiam. Walau kematian kakeknya adalah hal yang dia nantikan, dia masih merasa tak terima dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba. Tak seharusnya kakeknya meninggalkannya mendadak dengan situasi begini. Sekarang apa yang harus Feronika lakukan?

***

Tiga minggu setelah pemakaman kakek Feronika, mereka masih belum melanjutkan pencarian karena keadaan Feronika yang tiba-tiba menurun. Dia merasa sangat pusing dan tak kuat ke mana-mana. Kalau Lusi mencarinya sendiri juga tidak akan membuahkan hasil memuaskan karena dia tidak tau apa-apa.

Untuk mengisi kegiatannya, Lusi mencoba melamar ke beberapa sekolah untuk menjadi guru matematika sesuai dengan gelar sarjananya.

"Masih belum enak makan?" tanya Lusi pada Luki yang baru saja ke luar dari kamarnya.

Luki menggeleng. "Tidur terus, makannya nggak dihabisin. Kalau sampai besok nggak ada kemajuan, gue bawa ke rumah sakit. Lo nggak pa-pa kan sendirian?"

Lusi spontan mengangguk. "Jangan pedulikan gue. Lo urus aja Feronika, gue khawatir dia kenapa-napa."

Luki berjalan ke dapur untuk meletakkan mangkuk bekas makan Feronika. "Kegiatan lo sekarang apa?"

Lusi berjalan mengikuti Luki dan mendudukkan diri di meja makan. "Gue melamar ke beberapa sekolah, tinggal nunggu panggilan. Kalau gue udah punya pekerjaan tetap, gue akan segera cari rumah biar nggak merepotkan kalian."

"Jangan ngomong kayak gitu. Gue masih punya hak untuk menghidupi lo. Jangan lupa kalau gue adalah wali lo," ucap Luki yang tak suka kalau Lusi jauh darinya.

I'm In Love With A Second Lead Where stories live. Discover now