FIRST PARTY

20 3 0
                                    

FIRST PARTY
by Dedy Purwono

~

Ting tong ... ting tong ….

Bel berbunyi. Mataku mengerjap. Pukul dua puluh tiga lebih lima puluh delapan menit. Entah orang macam apa yang menekan tombol bel pada waktu seperti ini. Tamu dengan kepentingan mendesak, orang iseng yang kurang kerjaan, atau jangan-jangan ....

Walau dengan bulu kuduk yang merinding, aku beranikan diri melangkah menuju pintu depan. Pelan-pelan, kusibak tirai jendela dekat pintu untuk mengintip. Sepi. Tak ada sesosok manusia pun yang terlihat. Aku semakin waswas.

Tangan ini terulur hendak menarik kenop saat sepasang mataku melihat sesuatu di celah bawah pintu. Kulihat lebih saksama. Seperti seselip kertas berwarna hitam. Aku berjongkok untuk meraih kertas itu.

Tanganku sedikit basah. Pada permukaan plastik pembungkus kertas, terdapat cairan merah. Darahkah?

Refleks, kertas hitam dengan pembungkus plastik itu terjatuh ke lantai. Kulihat ada sedikit cairan merah memercik di lantai bersamaan dengan jatuhnya kertas. Samar, pada permukaan kertas, tertulis dengan tinta merah sebuah kata. Undangan.

***

Tubuhku bersandar. Walau aku takut, entah mengapa, rasa penasaranku seolah menuntun langkah untuk menghadiri undangan misterius itu. Setelah mengikuti petunjuk yang tertera dalam undangan, di sinilah aku sekarang. Bersama sekira sembilan belas orang yang lain. Sembilan belas orang dengan satu kesamaan. Sama-sama tersedot oleh kemisteriusan undangan

Mobil elf itu membawa kami melewati jalan beraspal yang tidak terlalu lebar. Kadang mobil bergoncang tanda permukaan aspal yang tidak terlampau mulus. Aku melihat keluar jendela. Hanya gelap dan gelap. Entah berapa jauh dari lampu-lampu penduduk yang tadi sempat kulihat sebelum hilang dalam rimbunan pohon-pohon menjulang.

Mobil elf ini memang disediakan panitia untuk menjemput kami. Peserta pesta kostum Halloween. Tempat pesta sendiri, dalam undangan, disebut di pinggir hutan sebelah tenggara kota.

Mobil elf berhenti. Para penumpang turun. Kami tidak melihat bangunan menyerupai rumah atau semacamnya. Kami mulai kasak-kusuk. Jangan-jangan ….

Namun, penantiankami ternyata hanya beberapa menit saja. Tak berapa lama, terlihat lampu sepeda motor dari arah setapak menuju hutan. Cahayanya yang menyilaukan seolah menyibak kegelapan. Bukan hanya satu. Ada sekira lima atau enam motor. Sepertinya motor tukang ojek.

Kami diminta naik. Satu motor untuk dua penumpang. Motor melaju melalui jalan setapak. Dari laju motor yang cukup kencang walau melalui medan yang sulit, aku menduga, para tukang ojek ini pasti sangat hapal dengan jalanan di hutan ini.

Setelah melalu setapak sekira satu kilometer, terlihatlah sebuah bangunan bergaya eropa abad pertengahan. Kami turun dari motor. Motor kembali membelah hutan untuk menjemput penumpang elf yang tersisa.

***

Aku menatapnya. Walau dia memakai kostum dan riasan seram. Tetapi wajahnya sepertinya sangat familiar. Dia tersenyum padaku, "Ayuk masuk." Suaranya merdu. Namun, dalam suasana seperti ini, suaranya yang merdu justru terdengar begitu menggidikkan.

***

Malam semakin larut. Tibalah pada acara inti. Satu demi satu peserta dipanggil ke atas panggung pendek berkarpet merah. Ada peserta berkostum vampire, drakula, kuntilanak, wewegombel, pocong. Semua nampak seram. Semua seperti hantu sungguhan.

“Silvia,” begitu nama gadis berwajah pucat yang tadi sempat menyapaku di pintu masuk itu. Nama itu seperti pernah kudengar. Aku berusaha mengingat, namun seolah ada kabut tebal menyelimuti otakku.

Setelah semua peserta tampil di panggung, pesera diajak menuju ruang tengah.

***

"Waktu pesta dimulai," katanya.

"Pesta?" aku sedikit heran.

"Iya, pesta kostum ini sebenarnya adalah perangkap untuk manusia agar masuk ke rumah kita. Dengan perangkap ini, kita jadi lebih mudah memangsa mereka," jawabnya.

"Tapi, aku ...." aku tak bisa melanjutkan kata-kata. Kepalaku mendadak pusing.

Setelah itu, apa yang kulihat sungguh sulit diterima akal sehat. Sebagian peserta mencabik-cabik tubuh peserta yang lain. Darah muncrat. Lolong ketakutan dan kesakitan, bercampur begitu pilu.

***

"Ini kusisakan satu untukmu. Masih muda. Darah perawan tentu lebih manis. Dagingnya juga pasti masih empuk. Sengaja kubuat pingsan agar kau mudah memangsanya. Ini kali pertama kau ikut bukan?" dia menyeret sesosok gadis dengan riasan kuntilanak. Aku bergidik.

"Mangsa? Tapi aku masih hidup? Aku bu, bu, bukan han, hantu. A, aku ma, manusia!" jawabku terbata. Antara ragu, takut, dan ngeri.

"Manusia? Tentu saja bukan! Apa kau tidak ingat bahwa dalam perjalanan Bukittinggi--Payakumbuh dua bulan lalu, bus yang kita tumpangi masuk jurang. Semua penumpang tewas. Aku adalah teman sebangkumu waktu itu. Kita sempat saling berkenalan dan ngobrol. Yach, walau sekadar basa-basi, tapi aku belum lupa," dia sedikit sewot.

Kini aku paham mengapa wajahnya terlihat begitu familiar.

Perlahan, kudekati gadis berkostum kuntilanak yang tergeletak pingsan. Mulutku terbuka. Pesta pertama. Darah perawan.

Mendadak, aku merasa begitu haus.

-The End-

Tentang Penulis :

Dedy Purwono, lahir di Kebumen sekira tiga puluh tujuh tahun lalu. Pernah belajar di Jurusan Sastra Indonesia UGM, PGSD Universitas Terbuka, dan PPG Dalam Jabatan Universitas Negeri Yogyakarta. Pengalaman awal mendidik di SD IBS Sleman dan Neutron Yogyakarta. Saat ini menjadi pendidik di SD Negeri 2 Beji, Banjarnegara, Jawa Tengah. Dapat dijumpai lewat instagram @kaca_nusa

Antologi : Vampire MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang