SALOT

12 1 0
                                    

Salot
by Pianputh

~

Awalnya aku berpikir bahwa wabah zombie adalah wabah paling mengerikan yang terjadi—walau hanya ada di film atau serial game atau buku fiksi yang dibaca orang-orang. Nyatanya ada yang lebih menyeramkan dari pada wabah mayat hidup tersebut.

Yaitu wabah Vampire gila.

Namaku Levon, hanya lelaki biasa yang hidup di tengah-tengah wabah Vampire gila, umur 19 tahun, dan sedang bersembunyi di balik tempat tidur.

Wabah Vampire gila telah berlangsung sejak 2 tahun yang lalu, setelah seorang ilmuwan membangkitkan mayat Vampire yang mati sejak abad ke 19.

Dirasa posisiku aman sekarang, aku keluar dari persembunyian dan berlari naik ke loteng. Tempat paling aman. Di sana sudah ada saudara kembarku yang bernama Levin, tengah duduk santai sembari membaca novel romantis yang ia temukan di salah satu kamar.

Sebenarnya rumah ini bukan rumah kami. Rumah kami telah hancur menjadi abu setelah Levin membakarnya—saat kedua orangtua kami disedot habis darahnya oleh Vampire—karena tak mau melihat Ayah dan Ibu kami berubah menjadi Vampire.

Walaupun kelihatannya sama seperti zombie, Vampire hanya menggigit leher mangsanya untuk menyedot darah di seluruh tubuh hingga tak tersisa, tidak memakan daging mereka seperti zombie.

Namun setelah korban terinfeksi menjadi Vampire gila, korban itu akan hidup kembali dengan rasa haus yang sangat menyiksa, tak peduli bila yang ada di dekatnya keluarga, teman, atau tetangga, ia akan menyedot darahnya tanpa berpikir lama. Plus isi kepala mereka seperti diriset ulang, alias hilang ingatan.

Dan selepas itu, mereka akan merasa haus lagi. Sampai-sampai-sampai seterusnya. Tak akan pernah puas.

Di kota ini, mungkin hanya aku dan Levin yang masih berstatus manusia. Saat malam hari memang kami adalah seorang mangsa, tapi ketika pagi tiba, kami adalah raja yang seperti hidup di surga.

Hanya satu kelemahan para Vampire yang aku dan Levin ketahui, yaitu sengatan sinar matahari langsung. Tubuh mereka akan terbakar bila sorot cahaya matahari sampai mengarah kepada mereka.

Dan biasanya saat siang hari, mereka tertidur di rumah yang menjadi ‘sarang’ bersama Vampire-Vampire gila lainnya. Dan untuk rumah yang aku tempati sekarang, sudah dipastikan bukan menjadi sarang Vampire.

Pukul 7 pagi aku dan Levin bangun dan bersiap menuju supermarket yang ada di ujung jalan raya. Kami ke sana menggunakan sepeda motor juga membawa panahan, serta membawa keranjang troli—yang kami colong kala mencuri makanan minggu lalu di supermarket yang sama—untuk digunakan kembali membawa makanan-makanan kami.

“Sudah lama tidak ke sini, aku takut kalau sekarang tempat ini sudah menjadi sarang Vampire,” kata Levin sembari menoleh ke sana-kemari.

“Kalaupun tempat ini sudah menjadi sarang Vampire, pasti mereka sedang tertidur dan tak memedulikan kita,” sahutku sambil tangan mendorong pintu kaca supermarket dan berjalan masuk.

“Tapi kalau mereka tiba-tiba bangun bagaimana?”

“Ya, makanya kau jangan membuat keributan, dan jangan pernah tinggalkan panahanmu kecuali kita sudah sampai di loteng.”

Levin mengangguk, dia memang selalu begitu, terus memikirkan sesuatu yang sebenarnya belum tentu terjadi.

“Aku akan mengambil mie instan, jadi kau segera pergi ke rak sabun dan juga shampo.” Walaupun berada di tengah wabah Vampire, menjaga kebersihan diri juga sesuatu yang diperlukan, bukan?

Selepas menerima anggukan dari Levin, aku bergegas ke rak mie instan yang ada di lorong ke tiga. Hanya tersisa sedikit sebab sudah kami curi selama berbulan-bulan.

Antologi : Vampire MemoriesWhere stories live. Discover now