Babak 1 Fajar

4.1K 350 34
                                    

Fajar adalah cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur pada menjelang matahari terbit atau waktu sebelum matahari terbit. Andaikan manusia sadar, Tuhan telah menciptakan sesuatu yang indah untuk memulai sesuatu, sebuah hari. Pasti kehidupan akan terasa indah, meski dominan rasa pahitnya. Bersyukur, itulah yang alam ajarkan pada kita. Menurutku sih begitu.

Aku penyuka fajar, meskipun lahir di waktu senja. Biasanya kusempatkan menengok fajar sebagai syarat memulai hari. Sama seperti kusebutkan nama sebelum menuliskan kisah ini, yang kata orang indah sekali, Sky Allura Senja Kamarati. Langit merah senja yang cantik, kira-kira begitu artinya. Hari ini tanggal 20 Mei 2013, aku mau ambil KTP di kantor kecamatan. Artinya usiaku baru 17 tahun dan dengan usia segitu aku masih duduk di kelas XI IPA 1 Semester Genap di sebuah SMA Negeri Kota Malang.

Memilih lahir di tanggal 20 Mei 1996, aku tumbuh besar di kota sejuk ini. Menjadi gadis ceria meski tak bahagia-bahagia amat adalah pilihanku, meskipun aku lahir tepat di peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Tak bahagia, ya, sebab aku adalah korban perundungan sejak SMP. Sampai detik ini pun aku selalu memikirkan apa alasan para anak itu tidak menyukaiku. Saat melihatku, mereka memandang enggan bak menatap virus. Namun, aku selalu santai karena nilaiku berada di atas mereka. Katakan saja, aku korban perundungan yang ceria.

Mungkin memang wajahku nyebelin, udah gitu aja.

Aku senang belajar banyak hal di usia 17 tahun nan manis ini. Menguasai beberapa rumus Matematika, Fisika, dan sebagainya. Mengerjakan ulangan tanpa berusaha mencontek, walau kadang khilaf juga. Menulis beberapa bait puisi di dedaunan nan romantis. Belajar keras sepanjang waktu agar beasiswaku tidak dicabut oleh sekolah. Selain korban perundungan yang ceria, aku juga bukan anak yang mampu-mampu amat.

Kata mereka, hal mewah yang kupunya cuma nama yang berkelas. Sisanya nihil. Uang saku 5 ribu rupiah setiap hari setia menghiasi dompet lusuhku hadiah dari toko mas – pemberian ibu. Meski dirundung, aku tak mengganti benda itu karena aku suka modelnya. Bukan karena tidak bisa beli kok. Uang saku segitu pun harus dicukup-cukupkan sampai sore. Semua demi bisa bersekolah di sekolah terkenal di kota ini.

Prinsipku adalah meski tidak kaya uang, tapi perkaya otakmu dengan ilmu. Itu yang membuatku berteman dengan belajar dan belajar sepanjang waktu. Tak ada bosannya aku belajar meski kadang lelah juga. Mungkin karena kualitas otakku yang nggak mampu melahap puluhan rumus rumit itu. Maklum saban hari cuma makan nasi, telur ceplok, kucuran kecap manis, dan kerupuk. Nggak masalah, aku suka kok dan nggak pernah bosan.

Bapakku seorang tentara, Pembantu Letnan Dua yang sebentar lagi akan pensiun. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang merawat rumah sepanjang hari. Punya seorang adik yang baru duduk di kelas 1 SMA, hanya berjarak 1 tahun dariku. Masih membutuhkan banyak biaya dan itu membuat Ibu banyak mengeluh sepanjang hari. Mungkin bosan, Ibu selalu melampiaskannya dengan marah-marah kepadaku.

Saat masih SMP, aku korban bullying di sekolah dan korban KDRT di rumah. Hanya karena aku anak baru alias anak pindahan, mereka gemar sekali mengejekku. Katanya aku ndeso, ndesit, norak, dan jelek. Kondisi itu pun tidak didukung oleh situasi di rumah karena ibuku malah menambah ejekan itu menjadi anak aneh, nggak bisa dandan, ndesani, dan lain sebagainya. Aku diberi label yang sama, ndeso.

Mungkin karena itulah hidupku tak bahagia-bahagia amat, masih ada ganjalan di sela tawa bahagiaku. Namun, aku selalu menjalaninya dengan riang. Entah ini beneran riang atau aku hanya menunda kehancuran. Sejak saat itu aku menjadi pemikir yang dalam. Segala sesuatunya kupikirkan lebih detail dan serius. Terkadang aku lebih suka menutup diri dari pergaulan. Perasaanku pandangan mereka itu amat menistaku.

Terkadang aku terdiam hanya untuk berpikir, “Aku salah apa? Kenapa mereka mendiamkanku, apa aku ada salah? Kenapa sikapnya berubah, apa aku salah bicara?” sejenis itulah.

365 Senja (End)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz