Babak 15 Senandika

1.9K 347 64
                                    

Saujana Raeno hanya mendapati awan-awan merah yang bergulung-gulung. Hari semakin sore dan senja semakin habis dirayapi malam. Beberapa saat lagi dia akan mendarat di kota penuh kenangan, Malang. Siapa yang sangka dia akan kembali ke kota kelahirannya, padahal telah bertugas sampai beda benua. Setahun yang lalu dia dipindahtugaskan ke Malang setelah menyenyam tanah Makassar selama 3 tahun.

Malam memang telah menghapus senja, tapi Raeno masih belum bisa memupus rindunya. Justru rindunya seperti malam, semakin lama semakin pekat. Bukan tidak mungkin dia berusaha menghapus rindu layaknya pagi yang mengakhiri malam. Belajar teori baru – militer dan peperangan, gulung-gulung di lumpur, kepanasan, kehujanan, menggendong “istri pertama”, keluar masuk hutan, mencicipi perbatasan, melahap panasnya gurun di Lebanon, dan terakhir tetap saja merindu padanya.

Jengah, tentu saja. Namun, semua karena sesal sudah mengikutinya ke mana-mana. Waktu yang bergulir telah membuktikan perasaannya, tapi pria tinggi itu telah terlambat. Dia justru mencintai, saat gulir waktunya telah berlalu. Andai saja dulu menahan tangan Allura. Andai saja dulu bukan jaket yang dia beri, tapi perasaan hati. Mungkin Allura masih menemani setiap harinya sekarang.

Dia bukan menyukai senja, tapi orang bernama Senja. Karena orang bernama Senjalah, dia mencintai senja. Berpisah dengan senja tidak seberat memisahkan diri dengan Senja. Dia tidak menghitung berapa senja yang telah terlewat, yang jelas delapan tahun sepinya waktu merantai hati. Sebab berkali-kali senja telah Raeno lewati dengan Senja favoritnya.

Akibat terlalu kaku pada hubungan cowok-cewek, Raeno melewatkan sesuatu yang penting. Kadang dia merasa tak adil, Raisa dan Amel sah-sah saja mendekat atau mengajaknya bicara, tetapi kenapa Allura tidak? Terjawab, Raeno sadar Allura istimewa. Sehingga dia butuh momen khusus untuk bicara berdua. Namun, tetap saja dia menyesalinya. Andai saja dulu dia lebih lama mengulur waktu kebersamaan.

“Bukannya aku yang menyudahi, kok aku yang nyesel.” Raeno gusar sendiri saat pramugari memberi pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat di landasan Abdurrahman Saleh. Aroma Malang sudah tercium dan membuat hati pria 26 tahun itu tersiksa.

Dia suka Malang, kalau ada Allura. Apa iya, Allura masih di Malang? Andai saja Raeno tahu, beberapa baris di depannya ada Senja yang amat dinantinya, dirindukannya selama 8 tahun. Apakah waktu akan berpihak padanya, tidak, sepertinya waktu belum ingin mereka bertemu. Hingga disembark selesai, kedua insan yang sama-sama merindu itu berpisah di persimpangan.

Raeno dijemput mobil milik ayahnya dan Allura yang naik taksi bandara. Jam setengah 7 malam mereka menyusuri jalan yang berbeda meski di kota yang sama. Raeno pulang ke rumah dinas di asrama kawasan Kampung Tridi, sedangkan Allura di kawasan Kesatrian Dalam. Di peta dua wilayah itu berdekatan, tapi takdir belum ingin mereka bertemu hingga keduanya merasa terpisah amat jauh.

Allura tidak tahu Raeno di mana, begitu pula sebaliknya. Sedikit aneh jika kekurangan informasi di zaman seperti ini. Hanya dengan bantuan benda bernama ponsel, manusia bisa membeli apa pun. Tanpa memegang uang tunai, hanya modal aplikasi, manusia bisa membayar sesuatu yang dibelinya. Masa menemukan orang yang dicari tidak bisa?

Zaman sekarang semua serba canggih. Dua orang beda benua bahkan bisa berkomunikasi dengan bantuan internet. Tentu saja Allura sudah mencoba mencari jejak Raeno lewat media sosial yang dipunyanya selama ini. Namun, pria itu benar-benar lenyap seperti pindah ke dimensi lain. Mungkin memang sengaja menyembunyikan diri.

Ada puluhan aplikasi media sosial di Playstore, tapi jejak Raeno hanya ada di Facebook. Itu pun terakhir aktif adalah lima tahun yang lalu. Andai saja Allura tahu, pria yang ditunggunya itu adalah tipikal orang yang malas mainan medsos. Bagi Raeno, hanya perpesanan instan yang penting macam Whatsapp atau Telegram. Kekakuan Raeno termasuk dalam memilih aplikasi yang berguna bagi pekerjaannya, sisanya skip.

Bertanya pada teman Raeno, tentu saja Lura malu. Menyapa baginya adalah beban yang berat baik di dunia maya atau nyata. Sifatnya yang introvert dan penyendiri membuat Allura lebih menerima disapa daripada menyapa. Bukan sombong, si Cantik itu hanya pemalu. Semenjak kehidupan kerasnya di masa lampau, Allura jadi sosok yang lain.

365 Senja (End)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ