Babak 24 Risak

2.2K 371 60
                                    

Allura menghabiskan delapan tahun belakangan ini untuk hidup dalam mode robot. Saat kuliah, dia berangkat dan pulang tepat waktunya demi menghindari omelan ibunya. Di rumah dia menjelma jadi upik abu untuk mengurus segala urusan rumah mulai dari mencuci sampai memasak lauk. Selepas kuliah, dia menyapa langit dan menulis karya-karyanya. Selepas terbang, pulang dan tidur.

Begitu terus selama 8 tahun, dia hanya mengikuti semua rutinitas yang tlah diprogram oleh otaknya.

Dia hampir tak pernah menjelajahi siapa dirinya, kadang dia pun tak kenal apa maunya. Tahunya cuma kerja dan kerja, mengumpulkan rupiah demi kehidupan lebih baik. Yang penting kiriman lancar sehingga sang ibu menyambutnya dengan senyum saban dia pulang ke Malang. Menurutnya, pulang ke kota itu sudah berat karena ingatan tentang Raeno, Lura tak ingin menambah beban dengan bertengkar ria.

Sekarang semua telah berubah, Allura mulai menikmati setiap oksigen yang dihelanya. Pagi hari dia sambut dengan suka hati, sebab sudah seminggu menjadi Nyonya Raeno Bagaskara. Semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan hati berbunga-bunga, sebab itulah bentuk ibadahnya. Mungkin karena dia tak perlu menjadi orang lain – sosok yang selalu dituntut ini itu oleh ibunya. Hidup di rumah dinas bersama suami rasa teman itu sangat menyenangkan.

Semua pekerjaan rumah dikerjakan bersama sebagai bentuk kerjasama. Bangun tidur seperti biasa lalu mengambil air untuk menyucikan diri dan mendirikan salat berjamaah. Saat Raeno bebersih rumah, Lura memilih mencuci baju. Tak segan dia mencuci semua baju Raeno, meski agak malu sendiri saat kebagian segitiga samakaki pribadi alias ya itulah. Dengan malu Raeno merampasnya dan mereka berpandangan lalu ngakak bersama.

Indahnya pagi pengantin baju dilengkapi dengan memasak sarapan bersama. Sederhana saja, roti mentega panggang teflon dan teh susu. Keduanya sama soal selera sarapan, tidak perlu main menu. Sesuatu yang manis lebih mengenyangkan, tentu selain cumbuan manis, ya.

“Hari ini kamu perkenalan, ‘kan?” tanya Raeno di sela kunyahan rotinya. Lura mengangguk kecil sembari menggigit roti gandum penuh menteganya. Sampai belepotan dan menimbulkan gemas dari pria berseragam loreng itu.

Dia mengusap lembut bibir atas istrinya. “Kayak anak PAUD kamu. Udah hafal NRP dan jabatanku, ‘kan?” Lura mengangguk lagi.

“Kalau ditanya itu jawab, Non. Bukan angguk-angguk doang.”

“Lagian orang makan ditanyain sih, Bapak,” ujar Lura menggemaskan. Keduanya melempar tawa.

“Masih ingat mantra yang kamu ucap semalam?” Lura hendak mengangguk, tapi urung saat Raeno membulatkan matanya.

Gegas dia menegakkan punggung seraya menjeda kunyahannya. “Siap, tidak boleh menyimpan amarah dan dendam, ingat mereka teman kita di dunia ini. Saya orang terpelajar harus belajar mengendalikan emosi,” tekad Allura yang membuat Raeno tersenyum bangga. Semalam keduanya telah berjanji untuk tidak membahas masa lalu – kepahitan masa sekolah.

“Pinter istriku!” pujinya mengacak rambut Allura. Tentu saja wanita manis itu cemberut, membuat sanggul ala Persit ini cukup susah menurutnya. Padahal 5 tahun dia bekerja dengan sanggul pramugari.

“Ih susah buat sanggulnya,” rengeknya.

Bah!” Raeno menjulurkan kecil lidahnya. Keduanya lalu cubit-cubitan mirip anak TK. (Biarin)

Meong … suara imut penghuni rumah yang lain membuyarkan “kemesraan” mereka. Allura menatap sosok berbulu abu-abu yang sedang menggelayut manja di kakinya, kucing jantan bernama Puspo. Senyumnya mengembang lantas menimang Puspo dalam gendongannya. Inilah seekor kucing yang menyatukan mereka 9 tahun silam, sekarang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Semenjak nikah, Puspo ditaruh di rumah dinas untuk melengkapi kebahagiaan keduanya.

“Kamu mau roti?” Lura menatap ceria kucing itu.

“Udah mulai akrab sama kamu,” tanggap Raeno kembali memakan rotinya yang tinggal separuh.

Lura meliriknya manja. “Memang aku yang nolongin dia.”

“Oh, kamu yang nggak bisa diandalkan itu? Ngerepotin siapa, ya?”

“Sindir terusss, malas masak deh aku.”

“Ya kalau nggak mau masak, aku juga malas nganterin kamu ke depan.” Raeno mulai melayangkan gangguan sengit.

“Kok, ‘kan sekalian kamu berangkat ngantor, Rae …,” rengek Lura menarik-narik lengan seragam Raeno yang sudah dilipat rapi.

Karena itu menyebalkan, Raeno pun ngamuk. “Udahlah, kamu berangkat sendiri aja!”

Kesal melihat sang suami berlalu, Allura langsung menyusul kekasihnya itu. Mengekor di belakangnya lalu menempel lengket ke punggungnya. Kemanjaannya tumbuh subur meski si Suami lempeng-lempeng saja. Cuek dan mencuci bekas makannya tanpa kata meski hatinya deg-deg ser saban Allura menggelayut mesra.

“Makasih, ya, kamu udah nyimpan semua detail tentang aku, Rae. Puspo adalah pemersatu kita dulu. Katamu merawat Puspo sama dengan merawat ingatan tentang aku. Jadi, aslinya kamu se-bucin itu,” ucap Allura pelan dengan masih menempel ke punggung Raeno.

Raeno menahan senyum dan hanya melirik ke tangan putih yang melingkar di perutnya itu. “Dia lucu, tanpa ada kamu pun, aku tetep rawat Puspo,” tepisnya supaya Lura kesal.

“Aku tahu kamu bohong. Semua ucapan bucinmu sebelum kita nikah udah kurekam,” ucap Lura santai. Pemilik lesung pipi itu pun membalik badannya dan meletakkan kedua tangannya di pundak Allura.

“Untung kita udah nikah, coba kalau aku ketahuan bucin waktu sekolah. Mungkin aku nggak mau ketemu kamu,” ungkapnya pelan.

“Kenapa?”

“Malulah, Al. Cowok kok menye-menye!” Allura tergelak lantas mengangguk paham.

“Jadi kamu itu udah sok berwibawa sejak SMA, ya? Okay, baik ….”

“Aduh, udahlah. Ladub yuk!” ajak Raeno lantas merangkul sahabat baiknya itu. Keduanya berjalan layaknya sahabat lama yang hendak menyongsong hari bersama. (budal: berangkat)

Memang beda rasanya jika menjalani pernikahan rasa teman ala Raeno dan Allura. Mereka berbagi cerita-cerita kecil dan impian-impian besar. Mereka berbagi kenangan masa lalu dan harapan masa depan. Tak segan saling bercerita meski pahit sekalipun. Tak ada yang merasa aneh atau malu meski itu hal yang pribadi. Hati keduanya sudah transparan sehingga tak perlu bercerita, hanya cukup melihat ekspresi sudah tahu maunya apa.

Mereka bercanda dan bercumbu di waktu yang sama. Mereka memeluk dan cubit-cubitan di waktu yang sama. Mungkin memang masih ada ganjalan di hati Allura, terutama jika bertemu dengan wanita berjilbab hijau pupus bermasker putih itu. Uvi tidak sedang berbicara dengannya, tapi pandangan Allura tak pernah lepas dari mantan temannya itu. Seberat apa, dia harus menepati tekadnya pada Raeno yang diucap saban malam.

Matahari bergeser ke tengah hari dan menyibak hawa dingin musim kemarau kota ini. Acara bulanan Persit – yang sempat terhenti saat pandemi – telah selesai beberapa saat yang lalu. Beberapa ibu berseragam hijau pupus masih berkumpul untuk membahas beberapa hal, termasuk Allura yang masih harus berbincang ringan dengan ibu komandannya. Itulah etika di dunia ini, jika yang tertua belum pulang maka dirinya pun menyesuaikan.

Meski kadang tidak paham dengan pembahasan apa, dia tetap mengangguk ramah seraya tersenyum hangat. Dia pikir lambat laun pasti menguasai semua istilah di dunia ini. Untuk urusan menyesuaikan diri, Allura cukup pandai kok. Masih ada Raeno juga yang siap jadi narasumber pribadi. Semua hanya tentang pembawaan diri, bagaimana caranya agar dia diterima di tempat itu.

“Dik Raeno kalau bisa ikut juga, ya, besuk Dik Yuda yang baru lahiran. Pengurus Persit, masih adik asuhnya Dik Raeno,” ucap Bu Komandan yang ditanggapi Allura dengan anggukan serius.

“Siap, Mbak.” Allura kemudian mengikuti sang ibu komandan yang berjalan keluar ruangan. Karena masih anggota baru, setiap tingkah laku Lura juga menarik perhatian atasannya itu. Ibu komandan begitu ngemong dengan bertanya ini dan itu pada Lura.

“Dik Raeno masih terbang?” Allura menggeleng kecil sembari berjalan di samping ibu komandan.

“Siap sudah resign, Mbak,” jawabnya lembut, tapi bernada tegas.

“Oh begitu, jadi sekarang ikut suami terus, ya? Bagus deh bisa fokus di kegiatan Persit,” kata Bu Komandan sembari membalas sapaan para ibu anggota yang belum pulang.

Salah satu diantaranya ada Uvi alias Nyonya Eka Juniardi yang sibuk sendiri dengan anak balita yang masih merengek dan perut besarnya – hamil 6 bulan. Karena terlihat kewalahan, Ibu komandan pun menyapanya. Tentu saja hati Allura sempat berdesir saat melihat mantan rival masa lalunya itu – mungkin sampai sekarang. Namun, karena tekadnya pada Raeno, Lura berusaha menguasai hatinya dengan memandang netral.

“Kelihatannya repot sekali Bu Eka,” Bu Komandan menyentuh lengan Uvi dan membuatnya semakin sungkan.

“Siap, Ibu. Menunggu ayahnya jemput,” jawab Uvi segan. Apalagi dia juga terlihat membungkukkan badan ke arah Allura, sebagai bentuk sikap hormat. Andai saja semua tahu bahwa keduanya adalah teman di masa lalu.

“Izin, Ibu,” sapa Uvi begitu hormat pada Allura yang terlihat membuat senyum datar. Entah, hatinya tidak serapi itu menyimpan amarah masa lalu.

“Udah berapa bulan?” Bu Komandan mengelus perut Uvi dan membuat wanita itu tergelak lagi.

“Siap, 6 bulan, Ibu.”

Hidupmu indah juga untuk ukuran pem-bully. Punya anak dan suami, pernah kepikiran punya mantan temen, nggak?” batin Allura sesak. Hatinya bak dua kutub yang saling tolak-menolak, antara benci dan berusaha biasa.

Kemarahannya yang mengendap semakin panas saat seorang tentara kurus mendekat dengan badge nama Eka J, Praka Eka J. Sebagai suami yang bertanggung jawab tentu dia mendatangi istrinya yang sedang hamil dan kerepotan mengasuh anak saat kegiatan seperti itu. Tidak ragu menyapa sang ibu komandan meski ada salah satu istri atasan yang sedang memandanginya tanpa berkedip.

Dunia memang selucu itu kok.

“Izin mendahului, Ibu,” pamit Uvi sembari membungkukkan badan sopan.

“Iya, silakan,” jawab Bu Komandan lantas menepuk lembut lengan Allura. Wanita ayu itu kemudian tergugah dari lamunan dan mengangguk sopan. “Mari pulang juga, Dik. Kayaknya Dik Raenonya udah nunggu itu,” tunjuk beliau pada sosok tinggi berseragam loreng di atas motor Honda CB 150R merah.

“Eng … siap, Ibu,” jawab Allura gelagapan.

Hatinya sedikit menghangat karena Raeno datang menjemputnya. Pria yang sedang menyapa sopan ibu komandan itu bisa meredakan hatinya yang nyaris meletup. Selepas basa-basi sejenak, akhirnya dia naik ke boncengan Raeno setelah menyemprot kedua tangannya dengan cairan disinfektan. Tangan putihnya dilingkarkan ke pinggang ramping itu meski duduk menyamping. Sekedar berpegangan dari guncangan dari masa lalunya atau mungkin memamerkan kalau dirinya bahagia.

Mungkin pada dua orang pasangan suami-istri yang sedang berhenti di depan koperasi karena anak sulung mereka menangis minta es krim. Entah atas landasan apa, Lura tiba-tiba minta es krim juga. Dalihnya haus, tapi rasanya cuma ingin manas-manasin bekas teman masa lalunya itu. Buktinya, suara manisnya dihalus-haluskan saat keduanya berpapasan dengan Uvi-Eka. Berhasil membuat dahi Raeno berkerut dan bibir cemberut dari balik masker dorengnya.

Ada yang tidak nyaman rupanya.

“Mau yang cokelat,” tunjuk Lura ceria sedikit manja pada showcase es krim. Raeno hanya mengangguk dan membuka pintu kulkas untuk Lura. Diikuti saja apa mau wanita kesayangannya itu meski hatinya keki.

Suasana koperasi yang ramai semakin semarak saja saat seorang perwira batalyon memasukinya, Raeno bolak-balik menganggukkan kepalanya saat para anggota itu menyapa. Tentu termasuk Eka yang menyapanya tegas meski sedang menggendong seorang balita yang asyik menjilati es krim.

“Kostad!” sapa Eka yang hanya dibalas anggukan kecil Raeno.

“Kostrad …,” balasnya lirih. “Mau beli apa lagi?” Dia memperhatikan Allura yang masih membolak-balik snack di keranjang.

“Bentar, cari yang rasa jagung bakar,” ucapnya pada deretan snack ekstrudat jagung di etalase.

“Sayang, tolong bawain, ya!” Allura menyerahkan tas hitamnya pada Raeno karena kerepotan membawa beberapa kantong makanan. Dia menerimanya tanpa menjawab.

Wajah pria itu semakin tak nyaman. Pertama, penekanan panggilan “sayang” di depan anggotanya yang sedang melongo itu terdengar terlalu arogan. Kedua, Allura mulai memanfaatkan keadaan untuk sesuatu yang salah. Pria sekaku Raeno mana mau diajak manas-manasin orang, apalagi orang itu hanya masa lalu mereka. Agaknya, Allura mulai lupa pada tekadnya dan Raeno benci itu.

“Sayang?” Panggilan Allura membuat Raeno menoleh cepat. Telah dilihatnya wajah bingung istrinya itu karena Raeno tak menjawab sedari tadi. “Mau jajan apa? Nggak ada makanan di rumah.”

Wis opo ae. Agak cepet, ya. Aku mau ngadep komandan habis ini,” suruh  Raeno agak ketus. (Udah apa aja.)

Merasa dapat tanggapan sinis, Lura pun gegas memilih apa pun dan berjalan ke kasir. Tentu masih dengan pandangan segan dari pembeli koperasi yang memilih mengalah pada Allura, termasuk Uvi yang hendak membayar makanan yang dibelinya. Dia mundur selangkah saat Allura mendekatinya. Bermaksud membiarkan mantan temannya itu membayar duluan lantas pergi. Kehadirannya hanya membuat suasana kaku.

Namun, siapa sangka Allura malah berdiri di samping Uvi dan berdehem kecil seraya mengeluarkan dompetnya. “Apa kabar, Bu Eka?” sapanya dingin tanpa menatap Uvi.

“Izin, baik, Ibu,” Uvi berusaha menjawab serendah hatinya meski rasanya ingin bertanya banyak hal. Tentu saja bertingkah selayaknya orang asing saat keduanya ingin jambak-jambakan itu sangat melelahkan.

“Belanja apa?” Allura melirik teliti isi keranjang Uvi, melihat beberapa makanan ringan dan sabun cuci ngendon di dalamnya. “Anaknya umur berapa?”

“Izin, Ibu. Cuma kebutuhan mingguan saja. Izin, 3 tahun, Ibu.” Uvi mengangguk sopan berusaha berkontak mata meski Lura lebih banyak fokus pada antrean di depan.

“Izin, Bu. Silakan duluan.” Salah satu tentara mempersilakan Allura membayar duluan, tapi mantan pramugari itu menggeleng.

“Ibu hamil aja dulu,” dia mendorong halus lengan Uvi. Kontan saja Uvi gelagapan salah tingkah.

Yah, inilah bentuk balas dendam kecil Lura, bukan emosi. Namun, perlakuan baik seolah tak terjadi apa-apa. Ternyata ada yang tidak setuju dengan itu, Raeno maju dan memotong keanehan itu. Suaranya yang tegas membuat kasir koperasi gegas menegakkan badannya. Siap, siap penuh hormat saat Raeno mendekat ke depan dan menarik sang istri pergi.

Catet ae, Her!” katanya pada Pratu Herman. (Catat aja, Her!)

“Ss – siap, Pasi!”

“Ayo, aku buru-buru,” ajak Raeno dingin sampai membuat Allura membeku. Lidahnya kelu dan tak bisa berkata apa-apa saat kakinya menurut pada tarikan Raeno.

Keduanya hanya diam sampai di atas motor. Tak ada yang ingin memulai obrolan atau mengajak bicara. Allura ragu saat melihat wajah tak nyaman Raeno. Pun saat membuka pintu rumah dinas, mereka hanya masuk tanpa dialog. Allura hanya berteman monolog hatinya sepanjang jalan.

Marahkah dia? Ngapain dia marah? Apa dia tahu aku lagi pamer? Apa dia nggak suka aku kayak gini? Harus tanya apa nih? Allura membatin banyak hal sekian menit. Apalagi mulut manis suaminya itu hening saat kedua tangannya sibuk membolak-balik kertas. Tampaknya sebuah perselisihan akan meletus sebentar lagi.

“Mau makan siang nggak, Mas?” Allura berusaha melempar basa-basi. Sayang, Raeno hanya diam dengan gerakan mata sibuk membaca tulisan di kertas.

Sampai-sampai Allura menyentuh punggung tangan Raeno untuk mendapatkan perhatiannya, tapi pria itu hanya menepis halus tangan Allura. “Sibuk apa sih? Mau ngadep komandan, ya? Lama nggak?” berondongnya yang kembali didiamkan.

“Ya udah deh kalau nggak mau jawab,” putus Allura mulai makan hati seraya berjalan menjauh. Mungkin masuk ke kamar. Dia tahu tindakannya, tapi haruskah itu jadi kesalahan? Bukankah dia sah melakukan apa saja?

Puas a kamu, Al?” jeda Raeno yang membuat Allura membalik badannya. (Puaskah kamu, Al?)

“Kenapa kamu marah, Rae?” tanyanya kelu. Raeno menatapnya tajam tanpa memberi jawaban.

“Kamu mau jadikan aku apa lagi? Tameng? Seneng kamu pamer ke mereka?” Justru sebuah pertanyaan dengan suara meninggi meluncur keras. Menampar hati Allura hingga air matanya luruh tanpa lama. Sedari tadi dirinya sudah penuh dengan emosi berkecamuk.

“Katamu aku boleh apa saja, kenapa sekarang kamu marah?” tanyanya nanar. Suaranya bergetar seolah mengalami de javu, betapa kejinya Raeno di masa lalu terbawa hingga kini.

“Aku nggak suka lihat dendammu, Al. Aku benci kamu kayak gitu. Mengganggu. Paham?!” sentak Raeno.

Dengan bibir gemetar, Allura menggedor dadanya. Air matanya melesat turun dengan cepat dengan wajah merah padam emosional. “Kamu kira aku nggak benci diriku ini? Tenang, aku juga benci diriku sendiri. Melebihi kamu malah ….”

“Kamu ke mana waktu berjanji padaku, Al?” tanya Raeno penuh penghakiman. Amarahnya karena merasa gagal telah membuat Allura bahagia, sebab masih belum bisa lupa akan dendamnya.

“Kamu memang nggak pernah ada di posisiku, Rae,” desahnya lirih.
---

Kamu memang nggak pernah ada di posisiku, Rae.” Memang benar, seseorang bisa menghakimi orang lain karena tak bisa menempatkan diri. Andai saja bisa lebih simpati, mengerti bagaimana bernuraga, mungkin pertengkaran takkan terasa menyesakkan. Adalah sedikit momen untuk mengalah dan memahami orang lain, bahwa tidak semua manusia punya rasa tegar yang sama.

Tidak ada makhluk yang hidupnya tenteram-tenteram saja, semua pasti berjuang dengan ujiannya masing-masing. Hanya beda cara menunjukkannya saja. Dari manusia sampai tetumbuhan diuji dalam hidupnya, untuk bertahan hidup dengan segala badai yang datang bergantian. Khusus Allura, badai kehidupannya terjadi lebih lama dari perkiraan. Sampai statusnya berganti jadi istri orang, batinnya masih bergelut dengan orang yang sama.

“Coba sekali aja kamu lihat sudut pandangku! Sekali aja …,” mohon Allura sembari membuat angka satu dengan jemarinya. Mata basahnya berusaha menatap tajamnya mata lelaki itu, tapi percuma. Raeno benar-benar semarah itu.

“Aku tahu memaafkan itu sulit, Al. Namun, apa kamu yakin sudah berusaha seniat mungkin? 8 tahun ini apa kamu sudah punya solusi atas sakit hatimu pada mereka atau hanya sekedar menyisihkannya. Artinya, kamu menunda amarahmu hingga jadi dendam. Sudah kubilang itu nggak baik, hatimu terlalu cantik, Allura!” Raeno berusaha menyadarkan Allura meski kedua matanya enggan menatap. Dia bicara sembari menengok ke arah siang yang mulai limbung ke sore.

Allura menunduk kosong masih dengan gemetar di bibir. “Ya … aku memang menunda amarah hingga dendam itu mengendap. Aku bisa maafin kamu, tapi mereka tidak.”

“Pernahkah kamu mikir kalau bukan karena mereka kita nggak akan bisa dekat. Tahu sebab dan akibat nggak? tanya Raeno terus membuncahkan kekecewaannya.

Allura kembali mengetuk keras meja di sampingnya. Dia berteriak parau. “Sudah, Rae! Kamu kira aku nggak bersyukur atas luka-luka itu. karena mereka kita ketemu, aku bersyukur malah. Tapi sekali aja, sekali … aku ingin menunjukkan kalau aku ini udah bahagia.”

“Nggak perlu ke orang seperti mereka, Non!” sentak Raeno. Napasnya hingga terengah-engah saking emosinya, hingga matanya meluruh lemah. “Bahagia itu cukup kita nikmati, kalau kamu masih ingin pamer itu bukan bahagia. Kamu hanya balas dendam, aku cuma pelampiasanmu.”

Mereka terdiam dengan duduk saling membelakangi di meja makan sederhana ruang tengah. Tanpa menyentuh makanan yang baru dibeli di koperasi, membiarkan es krim cokelat itu leleh dan berair di dalam plastik. Seperti hati Allura yang tak lagi berbentuk, leleh karena Raeno masih begitu panas membakar dirinya.

Sekian menit diam bersama, Raeno memutuskan pergi. Urusan kedinasannya belum usai dan untuk urusan yang satu ini bisa ditunda nanti. Ditinggalkannya Allura yang hening dengan kalimat pamungkas. “Merenunglah, aku dinas dulu.”

Lelaki itu menyodorkan punggung tangannya pada Allura dan disambut tanpa kalimat apa pun. Hanya setitik air mata yang membasahi punggung tangan berotot itu dan juga isak pelannya. Masih ingin rasanya dia membela diri, tapi sepertinya percuma sebab Raeno berlalu seangkuh karang. Sekali lagi, ia mengerti bahwa Raeno tak mungkin bisa merasakan lukanya. Setiap orang punya perbedaan dalam menoleransi luka.

Bagi Raeno, luka adalah sesuatu yang harus dibiarkan berlalu setelah sembuh. Bukan untuk mengendap jadi dendam, sebab luka adalah pembelajaran. Lewat luka-luka, manusia meraih kedewasaan bersikap. Ambil saja sisi baiknya, sudah.

Namun, tampaknya sore itu Raeno tertampar oleh teori baru. Tulisan rapi di kertas yang teronggok di meja makan membuat hatinya sakit. Dia kira sepulang dari menghadap komandan, akan ada Allura yang tersenyum. Sadar akan kesalahan kekanakan yang dilakukannya dan menyambut Raeno dengan pelukan. Nyatanya, hanya ada rumah yang sepi tanpa suara imut wanita cantik itu.

“Pertama, maaf aku nggak pamit mau pergi. Salahin aja aku, aku nggak pernah benar lagian. Kedua, aku nggak berniat membela diri, tapi tolong baca isi hatiku ini ….” Raeno mengusap dagunya galau lalu meneruskan membaca dalam hati tulisan itu.

Aku cuma nggak sengaja sentuh bekas lukaku. Belum sepenuhnya kering, cuma menutup aja. Kadang kita nggak sengaja mengernyitkan dahi, ‘kan? Aku cuma terlalu bangga karena udah punya kamu, makanya lupa diri. Maafin aku udah manfaatin kamu sebagai suami. Maafin aku udah pamerin kamu demi manas-manasin mereka. Itu tindakan childish. Dari dulu aku emang nggak pernah berubah, selalu menjadi kebisingan untuk orang di sekitarku.”

Raeno menjeda sebentar tulisan itu, sebab hatinya mendadak sempit tanpa sebab. Selembar pernyataan sang istri yang begitu jujur menusuk hatinya. Pria itu mulai mikir, “Apa gunanya aku jadi suami kalau istriku sampai berkata mirip orang lain?”. Pria yang masih memakai seragamnya itu lantas melanjutkan lembar kedua surat panjang bertulisan rapi di tangannya.

Mungkin manggil sayang di depan mereka terdengar aneh bagimu. Namun, aku cuma terlalu lupa diri karena begitu menyukaimu, Rae.” Tanpa sadar, Raeno mengusap linangan air matanya. Dia mulai merasa useless.

Apalagi saat mata tajamnya menatap ke arah mangkok putih yang ditutupi plastic wrap ala makanan di pesawat. Banyaknya embun menutupi isi mangkoknya. Sama seperti buramnya mata Raeno karena air kesedihan itu. “Kamu masak apa, Sayang?”

Ini pertengkaran pertama kita sebagai suami istri dan aku nggak tahu gimana cara baikin kamu. Semoga makanan aneh yang kudapat resepnya dari Tiktok ini bisa masuk ke seleramu,” pungkas Allura sembari menggambar emoticon senyum di tulisannya.

“Oh, mac ‘n cheese?” gumam Raeno serak. Dia berdehem untuk membersihkan tenggorokannya. Tanpa pikir panjang dia membuka plastik penutup mangkok dan meraih sendok di sebelahnya.

Ps. Kalau udah dingin buang aja, ya? Kayak aku (•‿•).”

Pria itu tersenyum getir, lebih kepada kesedihan biru karena baru saja menggores perasaan Allura. Lagi. “Enak,” pujinya kosong.

Sembari menyedot ingus dan melentingkan air di ekor matanya, Raeno membuka ponsel. Masuk ke aplikasi belanja online dan memesan sebuah oven untuk Allura. Sang istri butuh barang satu itu rupanya, untuk menghangatkan makanan dan membuat kue. Bukankah wanita suka di dapur, memasak dan berkreasi?

“Supaya makananmu bisa hangat lagi, nggak dingin. Nggak kayak kita sekarang. Aku harus baik-baikin kamu mulai sekarang, janji, Senjaku!” tekad Raeno dalam hati.

Bukan tanpa sebab, hanya menolak seseorang yang tlah dipujanya dalam diam selama 8 tahun itu sangat menyakitkan. Setelah sadar, dia menyesali kebodohannya. Bukankah selama ini dia hidup dengan menyambung napas, dengan berharap bertemu dengan Allura suatu saat nanti. Jadi, inikah yang dia lakukan saat telah mendapat Allura dalam pelukannya?

“Memang aku nggak pernah ada di posisimu, Al. Kamu selalu bersinar saat mereka berusaha memadamkanmu. Seharusnya aku bangga menunjukkanmu pada dunia. Bukannya marah hanya karena masalah sesepele ini. Kamu berhak bertindak apa saja, bukankah aku milikmu?” sesal Raeno berkali-kali.

Dia salah besar.
***

Bersambung...

Terima kasih sudah membaca🥰

365 Senja (End)Where stories live. Discover now