Babak 22 Asmaraloka

2.5K 356 123
                                    

Saya bukan ngilang ya Temans, tapi saya menulis kelanjutan "Medan Opak, Dik?" yang udah sampai bab 15. Setelah ini tamat, insyaallah akan segera eksis.

6 parts till end 😘

#####

Kata orang, pernikahan itu menyatukan semuanya. Pernikahan juga memaafkan semua pertikaian. Ibu dan anak perempuan selain jadi sahabat juga bisa jadi musuh, begitu pun dengan Allura dan ibunya. Percakapan yang berbeda bisa tercipta dari mulut yang sama. Sebelum menikah, Lura dan ibunya bertengkar hebat, tapi saat menikah keduanya berpelukan dengan air mata. Hari itu si Ibu tidak mau tahu tentang pernikahan, kemarin si Ibu yang paling sibuk sendiri.

Tentu saja sang ibu merasa kehilangan anak yang selalu jadi tempat pembuangan emosinya itu.

Setelah menikahi Lura, Raeno langsung memboyong istri cantiknya itu ke asrama. Selain tak mau melihat Allura sering bertengkar dengan ibunya, pria penyuka olahraga itu ingin menikmati dunia asmara setelah menikah. Dia sadar gaya hubungan mereka itu layaknya teman sekelas. Jantungnya selalu mau copot saban melihat istrinya itu. Jangankan mencium, digandeng saat tradisi pernikahan kemarin saja sudah membuat Raeno panas dingin.

Setiap pasangan suami-istri selalu punya cara menikmati madu manis pernikahan mereka. Ada yang dihabiskan di kamar, tahu-tahu sudah kehabisan sampo. Ada juga yang dihabiskan untuk saling mengenal, cubit-cubitan, bercanda, dan seterusnya gituan juga. Ada pula yang seculun Raeno-Allura, malam pertama hanya tidur seranjang bergandengan tangan. Ogah ngapa-ngapain dengan alasan terlalu letih.

Luar biasa!

Sejujurnya, pengin juga berkasih mesra, hanya Lura merasa waktunya belum tepat saja. Nanti, ia ingin menikmatinya saat semua kebimbangannya usai. Isi otaknya masih seruwet benang sulam meski wajahnya seriang ini saat memandang bentang alam malam. Langit gelap dengan hiasan miliaran bintang sanggup mengalihkan matanya dari Raeno. Padahal pria kasmaran itu memandangi Allura tanpa jeda.

Mungkin karena mereka duduk di depan balai kota di bawah payungan ribuan bintang dan dekapan dinginnya malam. Ini tempat umum, jadi Raeno segan meski itu cuma pegangan tangan. Namun, hatinya sudah penasaran, bagaimana rasanya memanjakan wanita yang sudah menggelayuti benaknya 8 tahun ini. Status sah bukan berarti dia bisa bebas bertindak apa, semua tergantung kondisi Allura – Si Pemilik Tubuh itu.

Setiap orang punya prinsip dan pandangan yang berbeda tentang pernikahan. Ada yang langsung sikat, ada juga yang milih pendekatan dulu. Mau dikata apa, keduanya bermula dari status teman. Tentu untuk mengubah persepsi ke dunia suami-istri itu butuh waktu.

Hari kedua sebagai pasangan suami-istri dihabiskan keduanya dengan berberes rumah dinas Raeno dan mengisinya dengan beberapa barang. Raeno ingin membuat Lura nyaman di rumah itu, sedangkan Lura hanya ingin menghabiskan hari kedua sebagai istri dengan saling mengenal, memandang langit berbintang sama-sama seperti ini, dan ngobrol hal-hal yang ringan sambil makan mi lidi kaya MSG.

Namun, khusus Raeno, dia lebih suka menikmati lentiknya mata Allura jika tanpa kacamata seperti ini. Tak ada bosannya pria berlesung pipi itu mengikuti gerakan mata Lura yang takjub pada cerahnya langit malam. Apalagi bibir imutnya itu lincah mengunyah renyahnya jajanan jadul kesukaan mereka saat sekolah. “Matamu cantik, lebih menarik dari kerlip bintang di atas sana,” pujinya dalam hati.

“Itu Sirius, yang paling terang dan bersinar,” tunjuk Lura ceria, tapi Raeno hanya memandang lekat gerakan bibir istrinya itu. Tanpa sadar, tangannya menyentuh ujung bibir tipis Lura dan membuat wanita itu kaget.

“Kenapa, aku cemong?” Lura membersihkan sisa bumbu mi lidi.

Raeno menggeleng. “Kamu suka banget, gigimu nggak sakit?”

365 Senja (End)Where stories live. Discover now