Babak 28 Separasi

2.3K 325 29
                                    

"dr. Dirgantara Subroto Sp.OG," eja suara lirih Allura memandang arlojinya ketika duduk di ruang tunggu yang kursinya diberi tanda-tanda silang

Jam 9 pagi, Allura ada janji dengan kakak iparnya itu untuk memeriksakan sesuatu. Perasaan tak enak di perutnya dua minggu belakangan ini membuat dia ketakutan sendiri. Alih-alih berpikir hamil, Lura justru mengira itu miom atau sejenisnya. Apalagi datang bulannya awal minggu ini cenderung aneh, hanya spotting bukan darah lancar. Meski harus pergi sendiri, Allura harus memeriksakan semua hari ini.

Pergi sendiri bukan berarti Raeno melepasnya semudah itu. Tentu saja tentara itu harus dan selalu mengantar sang istri ke mana pun, tapi perintah atasan memaksanya untuk tinggal di asrama. Ada urusan dinas yang tak bisa ditinggalkannya, Allura bisa memahami itu. Hanya, beberapa menit sekali perempuan cantik bertas merah itu mendapat telepon dari suami tercinta.

"Udah dipanggil belum, Al?" Raeno dengan pertanyaan yang sama kembali menyapa telinga Allura yang mesem.

"Belum, masih antrean di depanku," jawab Lura pelan. Wajar Raeno cemas, belakangan ini dia ikut mikir yang aneh-aneh karena kecemasan Allura.

"Gimana sih Mas Dirga nih, udah janjian kok malah nerima pasien lain," protes tentara itu semakin cemas.

Allura hanya menutup tawanya dengan mulut. "Emergency, Mas. Katanya tadi ada pendarahan pasca SC, makanya didahulukan."

"Kamu jangan takut lho nanti, aku bisa terbang ke situ." Ucapan wanti-wanti Raeno membuat Allura kembali mesem.

"Siap ...."

"Nyonya Sky Allura," panggil suster yang membuat Lura mendongak.

"Bentar, ya, Mas. Aku udah dipanggil," pamit Allura pelan.

"Kalau udah diperiksa langsung telepon aku," pesan Raeno semakin cemas. Alih-alih memikirkan beraneka produk yang diminta sang komandan, Raeno malah fokus pada istrinya.

Dia cuma takut Allura sakit atau kenapa-napa. Hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada wanita kesayangannya itu.

Sekian menit, Allura tak berkabar. Raeno semakin gusar di depan laptopnya. Ingin sekali dia melesat ke klinik kakaknya, tapi jeratan pekerjaan ini masih rapat. Ingin rasanya dia menelepon Allura, tapi panggilan tak kunjung dijawab. Apa sesuatu yang buruk sedang terjadi? Apa dia menelepon kakaknya saja?

"Ya ampun kenapa sih? Kalian ke mana?" Pria gusar itu mengacak-acak rambut tipisnya. Mendadak tebalnya seragam itu membuat tubuhnya gerah.

Panggilan terputus dengan keterangan tidak terjawab, Raeno tak kunjung menyerah dan kembali menyambung panggilan ke nomor kakaknya. Dua nada tuts terdengar dan akhirnya beep kecil pertanda panggilan diangkat terdengar juga. Jangan dikira hatinya sudah lega, yang ada Raeno hampir meledakkan apa saja. Super cemas luar biasa saat Dirga menyapa, "Halo?"

"Mas, ke mana aja? Adikmu gimana, sakit apa dia?" berondong Raeno terburu-buru. Sabarnya mencapai ambang batas karena tampaknya hal yang aneh sedang terjadi. Apalagi suara Dirga terdengar lirih dengan helaan napas pelan.

"Eng ... kenapa nggak nanya langsung ke calon ibu ini, Rae," jawab Dirga yang tak membuat Raeno menurunkan kegusarannya.

"Mana istriku, Mas?" sambar Raeno tak sabar lagi.

"Yang satunya kayak kebakaran jenggot, yang satunya kayak dihipnotis," seloroh Dirga setengah tersenyum.

"Buruan, Mas!" suruh Raeno mulai kesal.

Dirga pun menyerah dan memberikan ponselnya ke tangan Allura yang sedang melamun kosong di depan layar USG. Matanya hanya tertegun pada pemandangan layar hitam itu. Layar hitam dan sebuah kantong bulat berwarna putih, di tengahnya ada sebuah titik yang berdegup. Allura hanya terlalu tak percaya hingga air matanya menetes, bahwa di dalam rahimnya sedang menempel erat buah cintanya bersama Raeno.

Dari teman, menjadi suami, dan sejenak lagi menjadi papa dari anak yang dikandungnya.

"Allura, kamu kenapa? Bisa kamu jelaskan sakit apa itu? Al, ojo ngunu lah!" omel Raeno tanpa ampun. Sementara itu, Allura hanya bisa menarik napas panjang dan menghapus air di sudut netranya. (Al, jangan begitulah!)

"Ak - aku ... hamil, Rae," ucap Allura lirih.

"Apa, suaramu kecil banget?!" sentak Raeno mulai kehilangan akal.

"Kamu mau jadi papa, Raeno!" sentak Lura lantas kembali menangis keras, amat bahagia sampai membasahi maskernya.

"Apa, hamil? Bukannya kamu barusan mens, kok ...." Gantian sekarang Raeno kehabisan kata-kata.

"Kata Mas Dirga, itu pendarahan ringan karena penempelan janin. Bukan mens, Rae. Itu tanda kehamilan yang nggak kusadari," jelas Lura haru.

"Ya Allah ... Alhamdulillah ... selamat, Sayang," balas Raeno tak tahan lagi. Dia hanya bisa menangis di depan monitornya sembari memohon Allura agar baik-baik saja.

"Mas, aku mohon kasih istriku obat penguat. Obat apa saja supaya dia ngerasa nyaman sama kehamilannya. Dia nggak apa-apa, 'kan? Kandungannya gimana, selama ini kami nggak tahu, Mas," berondong Raeno setelah ponsel kembali ke tangan Dirga.

Dirga hanya mesem sebab pemandangan di depan dan di ujung telepon itu amat membahagiakan. Adiknya yang sedang cemas ingin segera memeluk istrinya dan adik iparnya yang masih tak percaya dengan kehamilan itu. Allura berulang-ulang mengelus perut datarnya dengan mata sembab. Suster pun ikut jatuh dalam haru karena pemandangan orang yang hendak jadi ibu itu selalu membahagiakan.

"Selamat, ya, Dik!" ucap Dirga sembari menulis resep di kertasnya. "Daripada Raeno kebakaran jenggot, mendingan tak anterin bentar lagi, ya?" tawar Dirga kemudian yang dijawab anggukan oleh Allura.

"Tapi kandunganku sehat, 'kan, Mas?" Dirga kembali tergelak.

"Pemandangan ibu hamil nggak percaya macam kamu itu udah biasa, tapi aku ngerasa aneh karena yang ngalami adik iparku sendiri," kelakarnya yang membuat Lura malu. "Kamu dan janin itu sehat, Al ...."

"Alhamdulillah ...," ucap Lura lega sembari mengelus perut datarnya itu. Meski belum tampak, tapi ada kehidupan lain yang sedang berkembang di dalam tubuhnya kini.

"Banyak istirahat dan intinya makan yang teratur walau mual, jangan sampai sakit. Mengerti?" Allura kembali mengangguk mendapat pesan dari dokter kandungan sekaligus kakak iparnya itu. Belakangan dia mengeluh susah makan karena mual terus, tapi ingat bagaimana Raeno membujuknya dengan semangkok mi ayam.

Sejenak Lura tersenyum ingat cara Raeno membujuknya dengan sodoran mi ayam. Kecuekannya telah menguar bersama panasnya uap, yang penting dirinya mau membuka mulut. Memang terbukti hanya mi ayam yang bisa masuk tanpa banyak drama belakangan ini. sakit yang awalnya dikira asam lambung ternyata pengaruh kehamilan. Andai tahu Lura hamil, mungkin perhatian Raeno semakin berlebihan lagi.

"Mas tunggu di sini, ya?" Dirga memberi pesan pada Allura yang hendak menukar resep di apotek.

Allura hanya mengangguk sungkan. "Nggak apa-apa, Dok? Eh, Mas?" Dokter berjas putih itu hanya mengibaskan tangannya sembari tergelak dari balik masker.

"Pasienku hari ini cuma ibu yang tadi dan kamu kok," katanya sambil berlalu.

Tanpa mengulur waktu, Lura pun menukar resepnya di apotek di depan klinik. Langkahnya semakin hati-hati karena sadar telah membawa makhluk lain di dalam tubuhnya. Berulang-ulang, Lura harus menahan senyum karena getaran ponsel di tangannya mulai intens. Tentu saja Raeno tak dapat menahan kebahagiaan serta kecemasan pada istrinya itu.

"Aku baik. Bentar, ya, beli obat dulu," ucap Lura sembari menyerahkan kertas resep pada apoteker yang bermasker putih dan APD merah muda.

"Jangan khawatir, Mas. Aku dianter Mas Dirga kok, dokter kandungan sendiri lho yang nganter," ucapnya lagi sambil tersenyum. Mungkin tingkah Raeno mulai menggelikan.

Namun, dari balik kaca apotek ada tingkah manusia lain yang tampak gusar dan kikuk. Mungkin karena suara penelepon alias penukar resep di depan itu terdengar tidak asing. Dialah Olivia atau Pia yang diam-diam bertingkah seolah sedang sibuk di kasir dan tentu untuk memastikan siapa pemilik suara itu. Benar saja, 100% sama dengan dugaannya sedari tadi. Suara dengan postur tubuh yang tidak asing itu adalah milik temannya.

Sebab dia mendapati nama Sky Allura Senja tertulis di kertas resep yang diracik oleh sesama teman apotekernya. Matanya terpana, kombinasi nama itu terlalu unik dan jarang dipakai oleh semua orang. Sehingga Pia memastikan kalau ibu hamil di depan itu adalah mantan teman yang telah dicampakkannya di masa lalu. Hatinya tak menentu saat mendapati bekas temannya yang telah berhasil menikahi bintang kelas itu kini sedang hamil.

Iri di hatinya pun semakin subur saat salah satu temannya - suster yang terharu tadi - masuk ke dalam ruangan dengan curhatan bahagia. Katanya, dia ikut bungah karena adik ipar dokter Dirga sedang hamil. Pia sudah tahu semua itu, dokter Dirga; Lura; dan Raeno itu berhubungan. Sejak dia bekerja di apotek ini, Pia hanya ingin mendekati Raeno lewat kakaknya.

Namun, Alluralah yang memenangkan "pertandingan" ini lewat jalur Tuhan.

"Ibu Sky Allura!" Dengan suara dikuat-kuatkan, Pia memanggil nama temannya itu. Semoga Allura tak mengenali wajahnya dari balik masker rapat itu.
Yang dipanggil pun datang dengan masih memegang telepon, Lura menjeda sesaat ponselnya untuk membayar obat. Semakin tercengang saat Allura membayar obat itu pakai kartu debit, bukan cash. Jadi, kehidupannya sudah sebaik itu, ya? Pia hanya melamun kosong di antara kesibukan tangannya mengurus pembayaran.
"Ma kasih, Mbak," ucap Lura sembari berlalu. Dia tak tahu siapa petugas yang baru saja melayaninya itu.

Sementara itu, Pia hanya menatap punggung itu sampai habis tanpa bisa berkata apa-apa. Sepeninggal Allura, hatinya semakin teriris dan hanya bisa menangis. Amarah, tidak lagi, lebih ke penyesalan. Andai saja sempat ada kata maaf terucap, pasti hidupnya tak sengenes ini. Dia merasa kesepiannya akibat kesalahan di masa lalu, terutama pada Allura. Andai saja dia tidak ikut arus buatan Uvi dulu.
---

Allura POV

Kata Rafika, kehamilan membuat lingkungan sekitarnya berubah. Ternyata itu benar, bukan hanya tubuhku yang berubah, tetapi juga orang di sekitarku. Semenjak mas Dirga menyatakanku hamil, tubuhku mulai manja. Sedikit-sedikit sakit punggung, mual sampai muntah, bahkan aku tak bisa lagi mencium bau nasi. Dapur adalah tempat terlarang bagi dan membuat Raeno turun tangan pada segala jenis masakan. Priaku harus kerja keras belakangan ini.

Lelaki cuek nan dingin itu tak lagi sama, berubah jadi suami yang ceriwis dan perhatian. Tak ada sungkannya aku meminta bantuan bahkan dia tak jijik menepuk bahuku saat muntah melanda. Dia rela terbangun tengah malam karena intensitas berkemihku yang meningkat. Suami siaga, itulah yang dikatakan Mas Dirga tentang Raeno sekarang. Kehamilan ini bagaikan keajaiban karena terjadi di antara aku dan dia, teman sekelasku.

Kedua mertua pun semakin perhatian dengan datangnya kiriman-kiriman makanan beku siap makan. Katanya, supaya aku nggak sampai malnutrisi. Tak cuma itu, Ibu yang "luar biasa" itu pun berubah. Benar kata Fika, ibuku jadi perhatian malah kadang over. Aku sampai dipaksa-paksa nginap di rumah daripada di asrama.

Sayang, aku menolak halus karena lebih nyaman dekat dengan suami daripada orang tua. Lebih baik merepotkan Raeno daripada ibuku yang suka mengeluh itu. Sebagai suami yang tegas, Raeno menyepakatinya. Katanya lebih baik aku diurus olehnya, demi keselamatan psikologi ibu dan janin. Suamiku jadi setengah psikolog sekarang.

Perhatiannya membuatku sesak, kalau bisa aku disuruh bedrest total di trimester pertama ini. Dia nggak tahu apa kalau aku tipikal ibu-ibu aktif. Meski mual aku masih sempat datang ke lapangan untuk ikut nonton voli. Meski ujung-ujungnya dijemput paksa. Meski sering kelelahan, aku masih sempat meet-up sama Mbak Dana yang kebetulan singgah di Malang.

Mantan rekan terbangku itu repot-repot membawakan makanan maskapai untuk memenuhi ngidamku. Memang anak mantan pramugari, semenjak janin telah menyukai dunia penerbangan. Memang, aku tak merasa mual setelah makan in-flight meal. Raeno saja sampai geleng-geleng kepala saat melihatku makan dengan lahapnya. Tak rugi dia mengantarku sampai ke sebuah hotel di pusat kota Malang. Kami pulang dengan hati tenang dan perutku kenyang.

Bisa apa, sebutir nasi saja kadang susah payah masuk ke lambung dan sekarang masuk dengan lancarnya.

"Janji, nanti nggak dimuntahin lagi?" ucap Raeno memutar kemudi mobil Papa Mama yang kebanyakan kami pakai sekarang. Tak masalah karena mobil ini banyak nongkrong di garasi.

Aku menatap pria yang belum melepas maskernya itu, beda denganku yang bebas dari tadi karena semenjak hamil suka engap. "Janji, Pa!"

"Pa?"

"Apa salahnya kalau aku mulai membiasakan diri manggil kamu Pa? Biar nanti kalau dia lahir sudah terbiasa," aku mengelus perut datarku sembari menikmati pemandangan jalanan yang ngangenin belakangan ini.

Raeno tergelak. "Nggaklah, meski anak kita udah 10 aku tetep mau dipanggil Rae atau Mas. Panggil Papa di depan anak-anak saja."

"Kenapa gitu?" tanyaku bingung.

365 Senja (End)Where stories live. Discover now