Babak 4 Embun

1.3K 249 53
                                    

Siapa yang tidak suka embun pagi, yang jelas bukan aku. Akulah penyuka pagi meski lahir di waktu senja. Menurutku, yang segar-segar itu indah. Kuharap kehadiranku seperti embun, yang menyegarkan dan membuat siapa pun bahagia. Bukan seperti benalu yang membuat manusia ingin memusnahkannya. Aku tak ingin diabaikan, dianggap angin, atau parasit.

Aku tahu tak ada manusia yang statis, manusia itu dinamis. Namun, perubahan yang terlalu kentara dan drastis itu pasti ada sebabnya. Maksudku, para temanku yang biasa berwajah hangat kenapa tiba-tiba berpaling. Wajahnya suram saat melihatku, terutama Uvi. Pun saat aku berusaha melempar ajakan atau sapaan, mereka berpaling.

“Pulang sekolah nanti hunting bunga yuk!” ajakku ceria. Seperti biasa kami suka sekali mbolang ke Splendid.

Uvi hanya melengos, sementara itu Arin lebih lunak. “Kayaknya nggak bisa, Lu. Ada kegiatan di Jurnalistik.”

“Kami mau latihan meliput,” imbuh Uvi jutek.

Penolakan yang kesekian kalinya, kali ini sedikit frontal.

“Kami sibuk, nggak punya banyak waktu luang kayak seseorang. Apalagi buat mikirin cowok ...,” Uvi mengendikkan bahunya tegas, “jelas nggak ada waktu.”

Sindiran untuk siapa itu maksudnya? Apa dendam semenjak minggu lalu belum padam? Kukira sudah dilibas waktu. Rupanya Uvi sosok pendendam, ya? Marahnya awet sekali.

Seperti biasa, dengan berat hati aku mundur. Memilih tak mengganggu kedamaian mereka di pagi sesegar ini. Sekali lagi, aku ingin menjadi embun bukan benalu.

Embun belum mengering dari pagi ini, tapi udara di sekitarku sudah terasa gerah seperti siang yang terik. Mungkin karena penolakan halus dari Arin dan kasar dari Uvi. Mungkin juga karena situasi kelas yang mendadak sibuk, ulangan dadakan Kimia di jam pertama. Semua anak sibuk dan aku pun sama, tidak sempat belajar dan tidak suka pelajarannya. Bahkan aku sangat benci Kimia.

Hanya bisa mengedarkan mata ke seisi kelas, semua anak sibuk menjejalkan teori-teori memusingkan itu ke dalam otak mereka. Tidak termasuk aku yang memilih mencoreti buku tebal Kimia ini dengan nama seseorang. Eka, semalam aku pun sibuk mengirim pesan singkat padanya.

Biasa aku mengandalkan Pia, sekarang pun mungkin sama. Memang aku amat nista, bisanya menggantungkan diri pada orang lain termasuk untuk urusan keluhan hidup. Semalam aku menghabiskan waktu untuk berkirim pesan dengan Eka.

Waktunya mengode Pia yang sibuk mencoreti kalimat-kalimat rumus. Nihil, dia hanya fokus pada kertas itu bukan aku. Sama seperti tadi, semenjak pagi ia hanya fokus pada Uvi dan Arin, bukan padaku.

Nuansa yang mirip dengan pagi-pagiku zaman SMP, saat semua teman mulai merundungku. Ah, tidaklah, mungkin karena mereka bertiga tergabung di ekskul yang sama. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, tidak denganku, makanya mereka amat akrab. Zaman perundungan itu telah berlalu, ayolah!

“Pi, seperti biasa, ya!” Kusodorkan sticky notes biru ke dekat tangannya. Namun, Pia hanya diam dengan mulut komat-kamit. Membuatku tak sabar saja untuk menyenggol tangannya. “Pi ….”

Dia menoleh kasar dan matanya sinis. “Nggak janji, Al. Aku nggak belajar soalnya,” ucapnya dingin.

Nuansa yang tidak asing saat salah satu temanku memasang wajah aneh saat SMP. Apakah Pia akan berubah seperti temanku di masa lalu? Seorang Pia yang baik itu? Tiba-tiba, ada yang mengganjal di sudut hatiku. Sebab Pia tersenyum hangat pada Uvi yang memanggilnya dari depan. Mereka tertawa bersama.

Bagaimana dengan Arin?

Ah, dia memilih tak peduli dengan menunduk di balik kerudung putihnya. Mencoreti kertas, buku, dan sebagainya. Sudah seminggu dia memakai kain penutup di kepalanya. Sudah seminggu pula dia semakin memancarkan kecantikannya ke mana-mana.

“Semua buku dimasukkan!”

Sebuah perintah membuat mulas itu datang lagi. Bu Ambar sudah berdiri di depan kelas sembari memeluk kertas-kertas ulangan dengan wajah serius. Dasar nista, bukannya belajar dikit-dikit, aku malah melamun memikirkan tiga temanku dan juga Eka yang tidak membalas pesanku semalam. Aduh, bagaimana ini? Pia sepertinya tidak bisa diandalkan kali ini. Lihat saja, dia sudah sibuk memasukkan buku ke dalam tas dengan wajah yakin dan lurus ke depan. Tanpa melirik atau menolehku, seperti biasa.

“Ulangan nggak?” Suara judes menyapa telingaku. Berasal dari bibir tipis seorang siswa tinggi berkulit kuning. Raeno, Dewa Kimia, menatapku sinis. Ya, sudah jelas karena tumpukan buku masih melambai ceria di atas mejaku.

“Iya,” jawabku pendek sembari mengemasi buku-buku itu.

Merasa aku sudah siap ulangan, Raeno meletakkan kertas ke hadapanku. Sekilas, soal-soal itu berkaitan dengan materi yang tidak kusukai. Kayaknya soalnya susah. Minta ampun, Kimia adalah kelemahanku. Menurutku, nggak semua anak IPA harus menguasai pelajaran IPA. Memangnya semua anak di kelas ini akan jadi ahli Kimia apa?

Kurasa tidak.

Maka, anak pintar itu berlalu ke bangku lain untuk membagikan kertas ulangan. Dia itu bagikan kertas atau ngajak bertengkar sih? Selalu saja sinis, sengak, meski kadang wajahnya ramah. Ah, Raeno itu melihatku bak melihat batu di tepi jalan. Aku adalah manusia tidak berguna.

Tidak seperti film fiksi, waktu yang kujalani ini tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Semua berjalan seperti waktu yang sebenarnya, di mana aku masih bisa mendengar detak jam di dinding saat semua anak sibuk mengerjakan. Aku melirik Pia, ia tampak lancar mengerjakan. Sementara itu, kertasku hanya berisi coret-coretan rumus tak jelas.

“Waktu habis!” Bu Ambar mengucap keputusannya tepat di waktu 1 jam dan 30 menit.

Hanya 5 dari 20 soal essay yang bisa kukerjakan. Sisanya entah. Entah benar atau salah, aku enggan memikirkannya. Di saat semua anak bertukar cerita dengan antusias, cuma aku saja yang malas nimbrung. Sebab sudah jelas apa nasibku, remedi di depan mata.

Hanya, bukan hal itu yang menyita waktuku. Melainkan sikap ketiga temanku yang agak aneh semenjak embun menyapa pagi ini. Aku merasakan ada yang beda.

Mereka seperti membuat dunia sendiri, tertawa bersama setelah saling berbisik, dan berpandangan setelah melempar kode. Saat aku bertanya, iseng menyenggol Arin, dia hanya berkata. “Nggak, itu kemarin di ekskul ada yang lucu.”

“Oh … apa?” lanjutku.

“Rin, jajan yuk!” potong Uvi sembari merampas gandengan Arin. “Ada omelet enak di kantin.”

“Beneran?” sambut Arin seolah lupa denganku.

Pia yang sedang “puasa” bicara denganku pun sama, mengekor Arin dan Uvi tanpa mengajakku. Ah, biasanya pun begitu, tapi aku otomatis mengekori mereka. Hanya kali ini aku keki, sangsi saja. Mereka berbeda, mengabaikanku padahal aku nggak lagi ulang tahun.

Iyalah, acara seperti ini mirip seperti dikerjain saat ulang tahun.

Kalian kenapa sih?” batinku mendadak sedih.

Semua hanya kupendam diam-diam sampai jam terakhir. Berusaha mengajak bicara Pia seperti biasa, tapi dia lebih banyak menunduk. Entah menulis atau main HP. Intinya, dia mengabaikanku.

Diabaikan membuatku berpikir dalam, aku ada salah apalagi?

Membentang ingatanku, kapan terakhir mereka “hangat”? Sepertinya dua hari yang lalu, hari Sabtu. Sebelum libur sekolah mereka masih wajar, sekarang kok beda. Apa mereka membicarakanku saat liburan? Apa iya mereka main sendiri saat akhir pekan, tanpa mengajakku? Iya sih, karena aku kebanyakan alasan saban diajak main.

Sepanjang jam pelajaran aku hanya memikirkan mereka. Terutama sikap-sikap mereka yang semakin menjadi-jadi. Seperti pamer keakraban begitulah. Pertemanan hanya milik mereka bertiga, bukan aku. Itu membuatku marah. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus memperjelas semuanya. Mungkin setelah bel pulang sekolah berdentang.

Jam 13.00 kelas pun berakhir, semua anak tidak langsung bubar karena hasil ulangan Kimia jam pertama tadi dibagikan. Raeno yang menjadi pemilik nilai tertinggi hanya melenggang santai keluar kelas tanpa banyak bicara. Ada yang bersorak bahagia karena lolos dari remedi, ada yang cemberut karena cuma dapat "kursi" di kertasnya, dan ada juga yang tidak peduli apa pun hasilnya. Termasuk aku yang memilih tidak peduli meski masuk kategori remedi – dengan nilai 50.

Mungkin karena isi hatiku hanya kemarahan saat melihat Uvi, Pia, dan Arin bersalaman bahagia karena mereka dapat 80. Selamat para calon orang hebat, pecundang sepertiku cukup di pojokan saja. Seperti itulah sikap yang hendak mereka katakan lewat gerak-gerik itu. Aku merasa kok, sadar diri.

Untuk itulah aku mendatangi ketiganya dan senyum merekah itu langsung melempem. Resmi, aku masuk kategori kuman. “Selamat, ya, nggak remedi!” ucapku datar.

Pandangan menusuk langsung meluncur dari Uvi. “Kalau nggak ikhlas nggak usah ngucapin. Sirik, awakmu?” sentaknya. (kamu)

Jujur, dibentak seperti itu membuat kepalaku terhuyung. Aku benci diperlakukan kasar, apalagi dari seseorang yang berlabel teman. Kayak nggak layak aja, berteman kok seperti mengemis. Menghardik pengemis saja salah, ‘kan?

“Uvi!” tegur Arin tidak suka. Kayaknya dia masih setengah hati ‘memusuhiku’. “Kamu gimana, Al?” tanyanya berusaha memasang wajah ramah.

365 Senja (End)Where stories live. Discover now