Babak 10 Bimasakti

1.5K 307 55
                                    

Langit begitu tinggi. Mendung tak terbentuk menghiasi. Angin sepoi menusuk nadi. Tiada sepi tergoyah. Kau, tinggi di langit ketujuh. Sedang aku hanya di atas tanah. Kau, adalah dongeng terindah. Sedang aku hanyalah pemuja mimpi. Kau melintas kala mendung. Kau telah menjadi air langit yang turun saat kerontang. Kau, laksana kaki langit. Yang kokoh, tempat aku berkeluh kisah ini.”

Jam 1 malam, aku tak bisa tidur. Hawa yang terlalu dingin membuat hidungku semakin parah, mampet parah. Berulang-ulang berusaha kusedot oksigen sebisanya hingga berisik, tapi nihil. Pernapasanku tak kunjung lancar. Tempat sedingin ini nggak cocok buat pemilik alergi dingin macam aku.

Aku memutuskan menepi di samping tenda karena tak enak mengganggu Bu Mita dengan perilaku berisik ini. Memang akhirnya aku tidur di tenda guru karena keributan saat api unggun tadi. Ya, permasalahan ditolaknya aku di tenda sore tadi sudah membesar. Raisa ditegur dan aku diputuskan tidur di tenda lain. Karena semua tak mau denganku, makanya aku ditaruh di tenda guru.

Maaf, jika aku sangat merepotkan semua pihak. Allura memang menyebalkan. Mungkin karena itulah hukuman kembali datang padaku. Pak Anggodo menugasiku jadi Wakil Ketua Camping. Ya, akibat aku ngilang sepanjang sore. Akhirnya, dihukum sebagai wakilnya Raeno. Memalukan, aku bak biang masalah. Makanya sekarang aku pasrah.

“Kamu bantu Raeno untuk kelancaran kegiatan kita sampai besok siang!” putus Pak Anggodo semalam. Mau nggak terima itu sadar diri, maka aku pun mengangguk setengah hati.

Jujur, aku malas berdekatan dengan Raeno. Pertama, jantungku berdetak aneh. Kedua, perasaanku kabur tak jelas. Ketiga, males aja disadisin dia. Keempat, aku tak ingin mengingkari hati kecil yang masih ingin mengingat cinta pertama. Sial, apa aku memang semudah itu jatuh cinta?

Gimana nggak, dalam sepuluh menit aku sudah menulis sebait panjang puisi bernada pengharapan. Harapan kepada siapa, Raeno? Ini sungguh gila, ‘kan? Aku nggak mungkin kesengsem padanya di tengah badai patah hati ini, ‘kan? Bagaimana bisa, ini sangat mustahil. Puisi tadi adalah gambaran cinta bertepuk sebelah tangan.

Dasar gila, baru saja dihempas cinta sebelah tangan dan sekarang aku ingin memulai lagi Tunggu, puisi tadi memangnya buat si Sadis itu? Tidaklah, ini untuk Eka kok. Iya, Eka yang masih menghiasi ingatanku. Susah menghapus kenangan buruk sepertinya. Khianat yang tak bisa kubenci. Bodohnya diriku!

“Argg, aku kenapa sih?” Kuacak-acak kepala yang sakit akibat hawa dingin berkepanjangan ini. Napasku semakin terengah-engah karena emosi labil ini.

“Kamu masih sakit, Allura?” Bu Mita mengucek matanya dengan wajah tak nyaman. Aduh, aku lupa telah mengganggu beliau. Tentu dengan memasang wajah sungkan aku mengangguk.

“Eng ... sudah agak mendingan kok, Bu,” jawabku sungkan sembari memasukkan buku puisi kesayangan ke tas.

Bu Mita mengernyitkan hidungnya tidak percaya. “Suaramu masih bindeng gitu. Bawa obat flu nggak?” Aku menggeleng.

“Nih minum!” Bu Mita mengeluarkan obat flu setelah mengaduk saku tasnya. “Segera minum dan istirahat. Jangan buat masalah lagi, ya!”

“Saya minta maaf sudah mengganggu Ibu.” Aku membungkuk tidak enak.

Bu Mita mengibaskan tangannya santai lantas kembali masuk ke dalam sleeping bag. “Cepat minum! Saya ngantuk.”

Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung meneguk air dan obat itu masuk ke dalam kerongkongan. Semoga saja bekerja baik meski perutku keroncongan. Mana nggak ada makanan apa-apa di tas. Memang salahku yang kurang persiapan. Cuma bawa dua jaket dan 1 selimut tipis. Dingin masih menusuk kulit dan akhirnya membuat Bu Mita turun tangan. Aku dipinjami jaket dan resmi menjadi perepot banyak orang lagi.

“Allura!” panggil pelan seseorang yang membuatku mendongak. Rupanya Pak Jimi melongok dari sisi luar dan menyuruhku keluar tenda. Ada apa gerangan guru agama itu memanggilku?

365 Senja (End)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant