Babak 7 Derana

1.1K 290 56
                                    

Maaf kemarin nggak update karena lagi ribet, hehee.
Selamat membaca dan terima kasih sudah mampir
####

Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupku. Dari seseorang yang ceria lantaran memiliki 3 teman berharga menjadi seseorang yang terbuang bak sampah. Dari seseorang yang punya kakak bayangan menjadi seseorang yang dicampakkan dan ditolak. Dari seseorang yang mencoba hidup dari hari ke hari menjadi seseorang yang hampir menghabisi nyawa sendiri. Dan menjelma jadi seseorang yang terbukti dibenci dan dikucilkan. Akulah orang itu.

Kelas XI IPA 1 itu punya kasta seperti piramida, dari anak top sampai anak cupu semua ada. Dari yang terpintar, tercantik, dan ter-ter lain semua komplet. Tapi ada nggak anak yang punya jurus bayangan kayak aku? Manusia transparan.

Pagi ini aku menjadi manusia yang pertama datang ke kelas ini. Kedua disusul Desy, si anak pindahan. Dia juga rekan remediku di ulangan Kimia kemarin. Tak cuma itu, dia juga peserta remedi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan beberapa pelajaran lainnya. Bisa kusimpulkan kalau Desy tidak sepintar aku, banyak pelajaran yang tak bisa dikuasainya.

Hanya, dia disukai oleh semua orang. Termasuk Gladys dan Wenda, anak top di kelas ini. Dengan mudahnya dia akrab dengan semua orang, bahkan Raeno Si Sadis itu pernah menyapanya saat pertama kali jumpa. Kadang hidup itu nggak adil memang.

Mungkin karena Desy cantik dan modis. Lihat saja gaya busananya, seragam pendek dan press body menentang peraturan. Pakai sweater kekinian, rambutnya lurus dan sedikit dikeriting bagian bawah, dan dia memakai sedikit riasan samar. Tak cuma itu, Desy yang matanya minus bisa pakai softlens hitam. Lebih baik dari kacamata.

“Harga softlens itu berapaan sih? Enak nggak dipakai, sakit nggak?” Aku mencoba membuka percakapan dengannya, meski hatiku ragu dan takut. Takutnya dikacangin, ‘kan.

Ternyata tidak, Desy malah mengubah posisi badannya menghadap padaku. “Murah kok, cuma 250 ribuan aja. Nggak sakit, kamu mau pakai juga, Lu?” jawabnya ramah. Senyum manisnya kemudian terbit seraya memperhatikan wajahku. Entah dia memandangku iba atau miring, aku pun bingung. Nyaris tak bisa membedakan niat orang.

Tunggu, 250 ribu dibilang murah? Ya memang karena Desy anak orang kaya. Bagiku uang segitu bisa untuk uang saku sebulan. Jelas sih, Desy datang ke sekolah diantar pakai mobil mewah berkilat. Jelas kastanya beda jauh denganku.

“Beb, sarapan soto yuk! Laper aku.” Gladys tiba-tiba nimbrung dan menarik Desy pergi. Tentu saja hanya melempar senyum sebab buat apa lama-lama dekat denganku. Bisa alergi dia.

Benar, ‘kan, Gladys yang keren dan anak salah satu komandan TNI di kota ini itu dengan mudahnya didekati Desy yang merupakan anak pindahan – baru dua bulan datang ke kelas ini. Andai saja aku sekaya dan sepopuler Desy, pasti nasibku takkan sepahit ini. Ah, sudahlah, masih bisa napas sudah untung.

Desy pasti takkan merasakan dianggap angin seperti aku. Meski nilainya tak sebagus nilaiku, tapi dia disukai banyak anak. Mungkin pembawaannya menarik dan menyenangkan, nyaman berdekatan dengannya. Memang dunia itu nggak adil, kadang hanya memandang fisik semata.

Hidup yang aneh dan tidak adil ini membuatku belajar derana, tabah. Yakin aku akan setabah ini? Yakin akan secepat itu aku menerima semua perlakuan? Tidak yakin, karena aku pun tak tahu akan ke mana hati ini. Namun, sekeras hati aku akan mencoba. Mencoba menjadi orang yang layak diberi simpati, seperti kata seseorang.

Sabar dalam menghadapi wajah-wajah menyakitkan. Wajah mereka, Pia dan Uvi yang baru datang dengan wajah semringah, tapi langsung merengut saat melihatku di depan kelas.

“Apa aku harus pindah dunia juga?” sindirku menahan rasa.

“Ck, apa sih,” Uvi terlihat enggan dan memilih melenggang masuk kelas. Sementara itu, Pia terlihat canggung. Hendak melempar senyum, tapi ragu.

“Kalau mau cemberut, lakukan saja! Nggak usah senyum, tapi hatimu nggak suka, Pi,” ujarku pahit. Antara menahan amarah dengan berusaha ikhlas itu berat.

“Kalau bisa jangan bikin sepet mata dengan mejeng di sini!” Pia langsung berlalu setelah menyemburku. Tak kusangka pribadi periang seperti dia sangat menakutkan jika membenci seseorang. Membenciku dengan alasan yang abu-abu. Bahkan sampai sekarang aku masih bingung apa alasan mereka.

Sejujurnya, hatiku sangat sakit. Ini masih pagi, tapi dunia sudah menunjukkan taringnya. Meski begitu, kucoba untuk menarik napas panjang. Ingin marah buat apa, hanya mempermalukan diri sendiri. Bagaimana tidak, semua mata tertuju sinis padaku. Tak ada satu pun yang suka dan mendukungku. Semua orang membenciku.

Waktu berlalu sekarang masuk ke jam ketiga, pelajaran sebelum istirahat pertama. Guru Biologi, Bu Ineke, memberi tugas kelompok sebagai syarat ikut ujian kenaikan kelas. Sebuah alat peraga sistem reproduksi wanita dari bahan foam harus jadi dalam waktu seminggu. Untuk itulah kelas ini dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan abjad presensi.

Semua nama dibacakan, ada yang bahagia karena sekelompok dengan teman dekatnya. Ada juga yang bersorak karena kebagian kelompok anak-anak rajin. Ada pula yang biasa saja, termasuk aku. Namun, ekor mataku tak bisa menghindar dari senyum lebar Uvi yang bahagia sekali sekelompok dengan Pia. Hatiku terasa sakit jika melihat senyum mereka. Mereka sadar nggak sih sedang tersenyum di atas penderitaan siapa, aku!

“Raisa Asmarani, Raeno Bagaskara, Raihan Aditya, Rezki Firda, Sky Allura, satu kelompok!” Bu Ineke membuatku sadar dari lamunan. Gegas aku menatap ke wajah guru cantik itu, lalu menelisik satu persatu teman kelompokku.

Mereka mulai berdiri dan membentuk lingkaran di salah satu sudut kelas untuk mulai menyusun pembagian tugas. Namun, saat aku hendak mendekat, Raisa menghardikku. Suaranya tidak keras, hanya sorot matanya tampak tak setuju aku bergabung. “Jangan bikin ribut, cari kelompok lain aja! Kami udah pas, nanti kamu malah nggak kerja!” serunya setengah mengancam.

“Aku pasti kerja kok,” eyelku pelan. Tentu saja takut membuat keributan.

“Guys, kalian setuju nggak kalau dia gabung ke sini?” Raisa mengedarkan mata ke arah yang lain. Aku pun sama, khususnya Raeno yang kemarin baru saja bersinggungan denganku. Percuma, karena dia sudah sibuk bicara sendiri dengan Raihan. Mereka membahas pembagian tugas tentu saja.

Apa aku sedang dibuang, dikucilkan secara terang-terangan?

“Kamu nggak bisa gitu, Sa!” tegurku.

Raisa mengendikkan bahu santai. “Lihat, nggak ada yang peduli sama kamu! Udahlah cari yang lain aja!” suruhnya kasar. Raisa seperti menutup lingkaran itu dengan kursinya.

Aku tidak menyerah, dengan lembut kudekati Raeno. Tentu saja berharap Raeno masih punya kewarasan untuk tidak ikut mengucilkanku. Sungguh, ini sangat kekanakan. Mereka menudingku manja, tapi perlakuan mereka sangat kekanakan!

“Rae, aku boleh gabung kelompok ini, ‘kan? Kalian jangan kekanakan dong!” ucapku pelan. Namun, Raeno hanya memandangku sekilas lantas mengabaikanku lagi. Dia bicara serius dengan Raihan.

Sumpah, hatiku bak dilempar kerasnya batu bata.

Saat kuedarkan mata ke seluruh kelas, tak ada yang mengangkat wajahnya untukku. Semua sibuk sendiri, semua cuek. Semua punya urusan sendiri, klop dengan kelompoknya sendiri. Mengecualikan aku dengan mudahnya, ya, aku diabaikan begitu saja. Tidak selayaknya manusia. Padahal aku tidak berniat sedikit pun untuk numpang nama saja. Aku pasti bekerja sama, sumpah!

Mengadu pada Bu Ineke, tampaknya pun percuma. Beliau keluar kelas dengan terburu karena rapat guru akan dimulai. Kelas dibiarkan begitu saja karena semua anak kondusif. Kecuali aku yang merasa seperti pecundang. Akhirnya, kuputuskan keluar. Entah mencari angin atau ke kamar mandi mencuci muka. Mencari oksigen segar karena di dalam terlalu sesak.

Tak perlu pamit pada ketua kelas karena ditelan blackhole pun tiada yang tahu, tiada yang peduli.

Langkahku sampai pada taman sekolah, tempat burung merak tinggal bersama dengan pasangannya. Dengan bibir melengkung dan mata yang sembab berat, kupandangi dua hewan itu. Bahkan mereka pun berpasangan, tidak sendiri sepertiku. Aku hanya berteman dengan sepi.

Kubaca buku Biologi di pangkuan, mencoba berpikir arah hidupku setelah ini. Setelah semua orang tak ada yang ingin berkelompok dengan seorang Allura, aku harus apa? Memangnya boleh kalau kukerjakan sendiri, apa nanti tidak ditolak Bu Ineke? Bukankah itu menentang arti bekerja kelompok? Ini kelompok, bukan tugas individu!

“Ya Tuhan, hidup macam apa ini?” keluhku pilu sembari mengedarkan mata ke arah tangga naik ke kelasku. Tiba-tiba dari atas turunlah seseorang yang tinggi, berhidung runcing yang kukenali sebagai Raeno. Amarahku bangkit melihat laki-laki aneh itu.

Mungkin karena matanya terlihat tak bersahabat denganku sekarang. “Ada masalah kamu?” sindirnya kesal. Mungkin karena mataku melotot dari balik kacamata.

“Kamu yang ada masalah! Selama ini aku selalu dituding manja, tapi nyatanya kamu dan kelompokmu itu yang kekanak-kanakan!” tudingku serius.

Raeno menyeringai galak. “Kenapa masalahmu jadi urusanku juga?!”

“Tapi kita seharusnya sekelompok, Rae!” teriakku parau.

“Ya udahlah, coba kamu cari kelompok lain. Kalau kamu terlalu ngejar anak top jelas nggak bisa. Coba cari yang mau sama kamu, mungkin yang sama-sama dikucilkan,” ucap Raeno santai. Penuh sindiran lebih tepatnya.

Saking tidak percayanya, aku hanya bisa menyipitkan mata lelah ini. “Begitu sombongnya kalian para anak top. Jahat banget kamu!” Kepalaku menggeleng karena ini seperti adegan di sinetron remaja, tidak masuk akal.

Raeno meremas bibirnya gemas. Dengan berkacak pinggang dia mendekati posisiku berdiri. “Denger, ya, inilah hidup. Siapa yang lemah, dialah yang dimakan. Rantai makanan namanya. Dunia itu nggak cuma berputar untukmu, semua di sini ada nggak cuma untuk melayanimu.”

“Ap – apa ...?” desahku makin tak habis pikir. Dia benar-benar sadis. “Tapi bukan aku yang milih kalian, guru yang bagi kelompoknya!”

“Kamu nggak bisa maksa orang untuk mau gabung sama kamu. Kalau nggak ada yang mau, ya udah kamu sendiri aja. Gampang, ‘kan?” tukasnya semakin enteng.

Beda denganku yang makin terpojok di bawah tangga. Air mataku makin banjir dan wajah itu semakin bahagia menyiksaku. Kenapa Raeno serupa dengan tiga orang bekas temanku itu? Kenapa dia sejahat mereka? Apalagi saat dia kembali menceramahiku panjang kali lebar, ingin rasanya aku menghilang ke dalam tanah.

“Jangan nyalahin orang lain hanya karena dia lebih unggul dan cantik dibanding kamu. Mungkin dia emang bisa membawa diri sampai diterima di teman-temannya. Coba kek kamu introspeksi. Kali aja masalah di kamu,” ujarnya tanpa dosa. Sok bijak padahal menusuk jantungku.

“Iya, masalah emang di aku! Aku jelek, manja, nggak modal, miskin, nggak modis, dan nggak bisa nyatu sama kalian anak-anak top!” geramku setengah menggigit bibir.

“Udahlah, nggak usah ribut! Buat aja sendiri!” suruhnya lagi sembari beranjak meninggalkanku.

“Tapi ini tuh tugas bersama,” potongku.

Raeno kembali membalik badannya. “Matahari aja bisa menyinari dunia sendiri!”

Gimana bisa dia bandingkan aku dengan matahari? Dia lupa kalau matahari pun punya teman, bintang dan bulan.

Kupikir Raeno sudah pergi, dengan begitu aku bisa jongkok letih di bawah tangga yang sepi ini. “Aku nggak pernah buat masalah sama anak lain, tapi kenapa semua membenciku?” bisikku sedih.

“Nggak semua!” sahut suara Raeno yang agak samar. Kutengok, ternyata dia masih berjarak semeter dari tangga tempatku bersembunyi.

“Kukira kecuali kamu, ternyata sama,” gumamku tak habis pikir.

“Jangan mencap seseorang buruk sebelum tahu isi hatinya!” simpulnya sesaat sebelum benar-benar pergi. Ya, aku melihat punggungnya yang lebar itu menghilang di balik tembok kelas.

Raeno, anak paling pendiam di kelas yang ternyata sadis itu ternyata membenciku. Kukira dia beda, ternyata sama. Jadi, aku itu seburuk apa? Apa aku menyakiti hati orang lain? Mukul atau ninju mereka? Apa menjadi anak yang beda itu sebuah dosa? Aku nggak cantik dan menarik, otak pas-pasan, katanya kekanakan, suka cari perhatian berlebih, kadang ceria yang berlebihan, kadang aku tertutup, dan nggak bisa berbaur.

Karena itukah?

“Apa aku perlu merenung di gua untuk menyadari semua dosaku?” gumamku yang percuma.

Pandanganku buram karena air mataku membuat embun. Menyebalkan. Aku benci jadi manusia bermata empat. Aku benci pakai kacamata. Aku benci punya wajah jelek. Aku benci diriku sendiri. Andai mereka tahu, sebelum mereka membenciku, aku sudah membenci diriku sendiri.
---

“Katanya kemarin ada yang mau bundir di balkon!”

“Heh, serius?”

“Kata siapa?”

“Pssstt,” anak-anak itu melirik pada Arin dan Pia yang berjalan bersama dari kantin. “Salah satu dari mereka, ‘kan?”

“Eh, katanya udah nggak temenan lagi.”

“Iyokah? Jadi doi bundir karena itu?”

“Ih, kejam banget ....”

“Sssttt!”

Arin ragu meneruskan langkahnya ke kelas dan malah memandangi Pia. Tentu saja untuk menegaskan, apa bisik-bisik barusan itu benar? Lewat sorot mata, Pia hanya bisa menggeleng lesu. Dia memilih untuk mengajak Arin menepi di sebuah lorong. Mereka perlu bicara berdua tanpa Uvi. Mungkin karena merasa Uvi bisa mengaburkan isi hati yang sebenarnya.

“Beneran Lura mau bundir karena kita?” Arin terlihat cemas. Dua alisnya hampir menyatu saking khawatirnya.

Pia menggeleng sembari melipat jilbabnya ke samping. “Di kantin tadi juga santer banget kalau Lura mau jatuh dari balkon kemarin. Kakak kelas banyak yang lihat.”

“Maksudmu, Eka?” tegas Arin yang dibalas gelengan Pia.

“Emang Eka udah tahu kalau kita nggak temenan sama Lura lagi?” tanya Pia.

“Bisa jadi dia udah cerita, ‘kan,” tebak Arin. Pia pikir pun benar, bukankah Lura teman dekat Eka.

“Imej kita di mata kakel udah jelek, Rin,” kata Pia lesu.

“Bukankah kita udah bikin dosa sama orang lain, Pi?” Arin termangu. Dia merasa berdosa pada penutup kepala yang baru beberapa minggu ini dipakainya itu. Merasa sudah menodai kesucian jilbab itu karena menyakiti Lura. Akibat menuruti emosinya, hasil komporan Uvi.

Arin meremas kepalanya frustrasi. “Kayaknya kita udah salah jalan deh, Pi!”

“Tapi kata Uvi bener juga, kalau kamu temenan sama Lura, kamu nggak bebas deketin Eka. Ngerasa sungkan terus sama Lura,” Pia masih terpengaruh ucapan Uvi.

“Mereka cuma teman, ‘kan, Pia!” bantah Arin mulai gamang.

Pia menggeleng tegas. “Kamu pasti tahu kalau Lura selalu suka sama Eka lebih dari teman. Aku nggak suka lihat kamu tertekan sama dominasi Lura, Arin!” bantahnya tak kalah alot.

Arin hanya bisa diam, bingung tentu saja. Apalagi sekarang kondisi Allura tampak tidak baik. Tadi dia dikucilkan dari kelompoknya, tidak diterima di kelompok lebih tepatnya. Wajah sedihnya menyiksa batin Arin. Teringat saat kemarin dia mencampakkan teman baiknya itu. Terlepas dari pengaruh Uvi, Allura adalah temannya sejak SMP. Arin tahu betul perundungan adalah masalah Lura sejak SMP dan dia berjuang bangkit dari itu sampai sekarang.

Pasti kamu trauma banget, Lu,” batin Arin tak bisa berbohong. Hanya perasaan ingin memiliki Eka membuat nuraninya tertutup. Dengan mudahnya dia membenci Lura – ikut ajakan Uvi.

Sementara itu, di dudukan beton lapangan voli ada seorang gadis yang berusaha menyembunyikan mata letih dari balik kacamata minus satunya. Sesekali bisik-bisikan mampir ke telinganya yang tidak tuli. “Itu, ya, anak yang mau bundir kemarin?” celetuk salah satu mulut.

Saat Allura mengangkat wajahnya, anak berbisik-bisik itu langsung berlalu cepat. Bak melihat hantu, mereka enggan melihat wajah manusia depresi. Merasa mengganggu pemandangan, Allura pun sadar diri. Dia berdiri dan berjalan menepi ke sudut lain yang sepi. Dan lagi Allura enggan menjadi beban.

Namun, saat langkah kakinya keluar dari pagar lapangan voli, sebuah mata menahan gerakan tubuhnya. Eka sudah berdiri mematung di depan badannya dengan wajah datar. Bak ditusuk belati, hati Allura sakit. Dia tak bisa berbuat apa-apa juga dan memilih melipir. Akan tetapi, Eka kembali menahan langkahnya. “Nanti kalau kamu ditanya, jangan sampai sebut namaku! Aku nggak mau ada masalah apa pun sama kamu, ingat itu!” ucapnya sinis. Sayangnya, Lura terlalu bingung dengan arah ucapan itu.

Sampai pada sebuah teguran dari Tria, anak kelas XI IPA 2. “Allura, kamu dipanggil Bu Wiwin, ditunggu di ruang BK sekarang.”

Ngapain wali kelas dan guru BK nyari aku?” batinnya bingung. Namun, Lura mengulas senyumnya pada Tria. “Makasih, ya.”

Tria hanya berlalu cuek, mungkin karena tidak terlalu kenal. Kembali pada Lura yang masih ingin bicara dengan Eka. “Apa maksudnya, Mas?”

“Nanti kamu juga paham. Intinya, jangan pernah sebut namaku!” larangnya tegas.

“Kalau aku perlu?” tanya Lura.

Eka membuang mukanya. “Aku benar-benar harus menganggapmu bukan manusia!”

“Lalu aku apa? Batu?” Emosi terpendam gadis itu kembali meletup.

“Kita nggak seharusnya bicara kayak gini. Bahkan nggak seharusnya aku kenal kamu!” sesal Eka yang kembali ‘memukul’ Lura.

Tak ingin air matanya tumpah, Lura pun berlalu dengan cepat sebelum Eka meninggalkannya lagi. Dia tak menunggu jawaban atau tanggapan lagi. Hanya ingin menjawab penasarannya dengan mendatangi ruangan konseling. Pasti ada hubungannya dengan bisikan-bisikan tadi.

Benar saja, sesampainya di sana sudah ada wali kelas dan guru BK yang menunggu dengan wajah tidak sabar. Allura langsung didudukkan dan ditanyai banyak pertanyaan.

“Kami mendengar selentingan yang tidak enak tentangmu, Lura. Benar kemarin kamu ... mau bunuh diri?” tanya Bu Wiwin penuh kehati-hatian.

“Ada masalah apa, Nak? Mau cerita ke kami?” imbuh Bu Lusiana, guru BK.

Lura hanya bisa menarik napas panjang seraya berpikir keras. Apa yang harus dia katakan? “Kabar dari mana, Bu?”

“Kamera pengawas merekam semua, Lura. Banyak saksinya juga. Apa yang sedang kamu lakukan?” Bu Wiwin mulai tidak sabar.

“Sa – saya hanya ... mencoba menolong ...,” Lura semakin terbata-bata.

“Kalau kamu punya masalah sebaiknya cerita, Lura! Sebentar lagi kamu akan ujian kenaikan kelas, jangan mencoba bertindak bodoh.” Bu Lusiana mulai membuat kesimpulan. Tampaknya kedua guru itu gemas melihat ulah salah satu anak didiknya.

“Saya minta maaf, Bu. Namun, saya hanya mencoba menolong anak kucing.” Lura berusaha membuat alasan masuk akal. “Gosip itu tidak benar.”

Jelas itu berbohong.

“Tindakanmu itu juga salah. Bagaimana kalau kamu jatuh dan terluka, sekolah harus bertanggung jawab!” tegur Bu Wiwin agak emosi.

“Maafkan saya, Bu.” Hanya itu yang bisa Lura ucapkan seraya menunduk. Hatinya berdebar sakit. Bagaimana bisa mengutarakan isi hati kalau ditodong macam-macam seperti ini.

“Lalu bagaimana dengan gosip kalau kamu dikucilkan teman satu kelas? Apa itu benar?” selidik Bu Wiwin lagi. Bu Lusi menatapnya kecewa.

“Bu Ineke bilang kamu nggak ikut kelompok yang sudah ditunjuk, benar?” tanya Bu Lusi yang semakin membuat Lura bingung.

Dia hanya bisa meremas tangannya gusar. “Bukan saya, Bu. Mereka yang nggak mau kelompokan dengan saya. Tiba-tiba saya dimusuhi tanpa sebab.”

“Tidak mungkin mereka yang lebih banyak itu musuhi kamu tanpa sebab. Seharusnya kamu berpikir apa yang sedang terjadi. Coba merenung, Lura,” suruh Bu Wiwin sedikit menegaskan suaranya. Lura hanya bisa menunduk karena situasi sekarang juga tak bersahabat. Dia disuruh menghadap hanya untuk dihakimi.

“Banyak anak yang lihat kalau kamu sering menangis. Sebenarnya kamu ada masalah apa, Lura? Coba mendekatkan diri ke Tuhan. Coba datangi kyai, rukiah atau apa. Bisa jadi kesehatan mentalmu kurang dan butuh bimbingan rohani. Jangan sampai merugikan diri sendiri atau orang lain.” Bu Lusi semakin menyudutkan Lura yang kini tak sadar meneteskan air mata.

Bu Wiwin menyentuh lengan anak bimbingnya. “Bagaimana kalau kepala sekolah sampai tahu, Nak? Sebentar lagi kamu naik kelas tiga, jangan membuat masalah apa-apa yang mengancam kelulusanmu. Kamu mau orang tuamu dipanggil ke sekolah? Kami tak bisa berbuat banyak daripada kamu merugikan banyak orang.”

“Jangan, Bu! Saya mohon jangan panggil orang tua saya, sungguh saya baik-baik saja. Ini hanya masalah pribadi,” mohon Lura.

Bu Wiwin dan Bu Lusi saling berpandangan. Sejurus kemudian dua pendidik itu menyentuh lengan Lura. “Memang bersekolah di sekolah favorit itu berat, Nak. Kita nggak bisa nanggung beban sendiri. Makanya kamu baikin teman-temanmu supaya nggak sendirian. Dikucilkan itu tidak enak. Jangan membuat kenangan buruk tentang masa sekolahmu. Hem?” kata Bu Lusi mulai melembutkan suaranya.

Lura hanya bisa mengangguk karena tenggorokannya terlalu tercekat. Hanya bisa menerima tisu dari Bu Wiwin dengan bahu terguncang. “Jangan membuat masalah atau berpikir mencemari nama baik sekolah lagi, ya, Lura!” imbuh Bu Wiwin yang dibalas anggukan paham oleh gadis cengeng itu.

Dia memilh keluar ruangan, menepi di lorong sebelah tangga yang sepi. Mungkin untuk sekedar mencerna apa yang baru terjadi. Serasa seisi dunia tak mendukungnya. Bahkan bernapas pun terasa salah.

Sampai selesai, Allura hanya bisa terdiam. Mungkin karena dadanya terlalu sesak untuk bisa menghasilkan suara. Tak disangkanya tempat ini serasa neraka. Antara dapat pencerahan dan sindiran, Lura lebih merasakan sakit hati yang teramat dalam. Ujaran-ujaran dua guru tadi bukannya membuat lega, tapi malah membuat Lura semakin tersesat.

“Nggak ada yang memahamiku,” gumamnya parau.

Bahkan sebuah hadangan dari lelaki bertinggi 165 sentimeter itu menambah derajat kesakitannya. “Apa kamu sebut namaku?” tanyanya sinis setelah menarik Lura ke sudut yang lebih sepi dari lalu-lalang anak-anak.

“Nggak,” jawab Lura lesu. Tanpa mau berkontak mata atau apa, dia enggan melihat Eka.

“Awas, ya, kalau aku sampai kesangkut. Akan kubalas kamu sampai kapan pun!” ancamnya yang diabaikan oleh Lura. Sudah bodoh amat.

Dia hanya memandang kosong wajah Eka yang sedang melabraknya itu. Dia kira sosok di depan ini adalah kakak yang baik, nyatanya dia amat keji. Mulut yang pernah menyemangatinya itu adalah mulut terkotor yang pernah Lura lihat. Perilaku yang halus dulu itu hanya sandiwara, aslinya sekasar pasir.

Patahan Banda adalah patahan terbesar di dunia, tapi di duniaku patah hati yang besar adalah kamu.” Suara batin Lura terdengar menyedihkan. Hanya bisa dipendamnya bahkan sampai Eka berlalu pergi.

“Mulai sekarang kalau kamu butuh temen curhat, cerita aja ke aku. Bukannya kita udah jadi temen sekarang? Biasanya menjelang dewasa memang banyak ujian.”

“Aku kadang juga kekanakan kok, udahlah jadi diri sendiri aja, Lura.”

“Harus semangat jadi orang yang lebih baik lagi. Jangan khawatir, aku tetap temanmu sampai kapan pun kok. Semangat, Allura!”

Dari mana datangnya suara-suara sumbang itu? Mungkin dari sudut pikiran Lura yang lain. Ya, suara-suara Eka dari kenangan Lura perlahan bersahut-sahutan. Membuat gadis itu terganggu, tergugah enggan. Semua kalimat itu adalah omong kosong.

Banyak ujian, nyatanya kamu yang banyak mengujiku, Mas!” kutuk Lura dalam benaknya dengan masih memandang wajah cadas Eka di depan matanya.

“Apa kamu dengar aku, Lura?” tanya Eka kesal karena Lura terlihat memikirkan hal yang lain.

Aku akan selalu dengerin ceritamu kok, Lura. Katakan aja semuanya!” Suara Eka di masa lalu kembali terngiang. “Kita sahabat mulai sekarang!”

Sahabat apa itu, semacam lubang besar berisi paku yang tajam?” batin Lura semakin mengambang.

Bug! Eka menggebuk tembok di sebelah kepala Lura. Tentu saja membuat gadis itu terkesiap. “Kamu dengar aku nggak? Ingat, ya, ini bukan isapan jempol! Jangan pernah kamu kait-kaitkan aku dengan hidupmu lagi! Aku nggak mau ada masalah sampai kelulusan nanti!”

“Mengerti?” tekan Eka tajam. Lura hanya mengangguk lemah, tak bisa bersuara lagi.

“Ke mana semua kalimatmu yang baik itu, Mas? Apa harus membumihanguskan hatiku juga? Nggak sekalian aja kamu suruh putus hatiku, biar aku nggak bisa berperasaan apa pun lagi,” ceplos Lura lirih.

“Kok bisa aku kenal orang kayak kamu!” olok Eka terakhir sebelum kembali meninggalkan Lura.

Dan lagi, gadis itu hanya bisa luruh ke atas dinginnya lantai. Ternyata dunia sudah terasa menakutkan bagi gadis selemah dia. Ternyata semua pintu telah tertutup baginya. Tak ada satu pun orang yang memahami atau sekedar berkata, “Menangislah, kamu sedang tidak baik-baik saja”.

“Pernahkah kamu merasa berada di suatu tempat yang menolak kehadiranmu tanpa sebab yang jelas? Semoga bukan Tuhan yang membenciku,” harap Lura dalam benaknya. Sedari tadi batinnya begitu berisik dan sibuk sendiri.

Belum selesai dia menangisi nasib. Datanglah sebuah suara keras mirip benda dijatuhkan di samping badannya. Ketika menoleh ada setumpuk buku pelajaran Biologi dan siswa lelaki yang berlalu melewatinya. Lura menghapus air mata dengan punggung tangan untuk memperjelas pandangannya, ia kenal punggung dan tas abu-abu itu.

“Raeno?” gumamnya pada sosok yang sedang mengacungkan jempol tanpa menunjukkan wajahnya itu. “Apa maksudnya?”

Karena kamu aku jadi kerja dua kali. Jadikan saja aku kelompokmu, supaya aku nggak dibilang kejam.” Lura mengeja tulisan rapi Raeno di kertas yang tertempel di buku Biologi.

“Sebenarnya dia itu apa sih? Pembenci, tapi kok peduli. Ribet amat,” tanya Lura dengan suara seraknya pada diri sendiri.

Dia benar-benar tak habis pikir dengan hari ini. Mencoba tabah, tapi ternyata prosesnya tak semudah pengucapan. Mungkin memang benar, menjelang dewasa akan banyak ujian bergulir. Apa benar setelah ini dirinya akan naik kelas, menjadi pribadi yang kuat dan tangguh?
***

Bersambung...
Cerita sedih jarang ada yang mau baca, apalagi terbitnya di bulan puasa 😅

Mohon maaf buat yang masih baca, semoga kuat 🤣

Sebagai penawarnya, agak nanti saya upload penghiburnya. Cuma sekedar teaser doang.

Ceritanya ringan, riang, dan semoga bisa menghibur lebih banyak pembaca daripada di work ini. Aamiin..

Tunggu aku, yah 😘😘😘

100422

365 Senja (End)Where stories live. Discover now