Babak 21 Impresi

2.1K 348 89
                                    

Impresi adalah kesan, efek pada indra, efek atau pengaruh yang dalam terhadap pikiran atau perasaan. Pertemuan dengan mereka mengubah impresiku tentang dunia ini. Apa bumi sudah sedemikian sempitnya? Dari ribuan satuan militer di negeri ini kenapa harus di sini kami berjumpa? Kenapa harus jumpa luka menganga saat aku hendak menyembuhkan diri? Betapa kejamnya dunia karena mempertemukan kami lagi, belum cukupkah yang dulu?

Kesanku pada lelaki yang menunduk galau di depan kemudinya ini juga mulai berubah. Dari cinta condong ke benci, emosi karena merasa dibodohi. Tidak mungkin dia tidak tahu keberadaan dua manusia yang masih tertahan di depan mobil Raeno itu. Tadi perasaan kami cuma ingin mengisi perut yang kelaparan, tapi kenapa sekarang malah begini?

Hari-hari menjelang pernikahan akan ada banyak gencatan emosi, pertengkaran, dan sebagainya. Namun, apakah harus yang berbau masa lalu? Haruskah itu tentang orang yang berusaha kuhapus, tapi tetap jadi kerikil itu? Demi Tuhan, siang ini sungguh menggelikan. Dunia belum selesai mengajakku bercanda rupanya.

“Kamu sedang membodohiku?” Kupandang Raeno yang menunduk lesu. “Lihat aku!”

Raeno menatapku kacau. “Jangan bilang kamu nggak tahu dan sedang membodohiku?” tudingku lagi. Pria ini hendak angkat bicara dan aku menahan tangan di depan wajahnya. Jangan bicara denganku dulu, nanti kamu terluka mendengar lisanku.

“Dunia nggak sesempit ini, Rae.” Aku sudah tahu dia mau bicara apa. Seketika kubuang mata menghindarinya, tak mau mendengar jawabannya sehingga semua luka terpendamku keluar. Mataku mengedar pada luasnya lapangan di depan sana. Kesanku pada tempat ini juga mulai berubah.

“Kenapa aku ketemu mereka lagi. Di sini. Di saat ada ribuan satuan militer di negeri ini, kenapa harus di sini? Konyol, Rae, nggak masuk akal.” Kutunjuk-tunjuk kaki di bawah, menegaskan kalau aku amat emosi.

Kubalik badan dengan cepat dan menunjuknya dengan mata menyala. “Atau jangan-jangan kamu sengaja ajak aku nikah demi membongkar luka lamaku? Kamu sengaja mau permainkan dan nyakitin aku, ‘kan?” tuduhku semakin memojokkannya.

“Al, kasih aku kesempatan bicara,” pintanya lirih sembari mengarahkan dagunya ke dua manusia bingung di sana. “Kita biarkan dulu aja mereka pergi. Nggak enak dilihat orang, Al.”

Kugebrak emosi dashboard mobil seraya membentaknya. “Nggak! Kamu mau buat aku gila, ‘kan?” pria yang katanya mencintaiku ini akhirnya diam. Seperti enggan menjawab salakan amarahku ini. Matanya tetap teduh kendati aku sedang menatapnya berapi-api.

“Raeno!” panggilku keras.

“Udah? Udah marahnya?” sahutnya cepat. Wajahnya begitu teduh dan sabar, atau mungkin dingin dan sinis?

“Aku benci kamu, aku benci semua ini. Kenapa kita harus ketemu lagi.” Kupukuli keras dadanya, tempat lencana-lencana itu menempel. Dia tak menahanku, hanya pasrah menerima setiap toyoranku.

“Pukul aku aja, Al.” Suara rendah pasrahnya membuatku tersadar. Apa yang sedang kulakukan?

Aku menggeleng kacau, sehinanya aku tak pernah ingin menyakiti orang lain. Kutatap dia penuh sesal sembari menjambak kening dan rambut. “Nggak, aku harus nyakitin diri sendiri. Nggak boleh ke kamu, nggak aku bukan orang jahat. Tapi kenapa kamu jahat ….”

Aku meracau laksana orang gila. Apalagi ada yang mengalir hangat dari telapak tanganku. Seketika mengacaukan wajah tenang Raeno. Tangannya gegas merampas lembar demi lembar tisu di atas dashboard. Rupanya, yang mengalir dari telapak tangan kananku adalah darah segar.

“Astaga, Allura! Kenapa harus mukul bajuku? Ya Allah ….” Raeno gusar sendiri berusaha menghentikan pendarahan. Memang sebesar apa luka sobekannya hingga darahnya sampai membasahi tisu sebanyak ini? Memang sakit sih, tapi lebih sakit saat bertemu dengan mereka.

365 Senja (End)Where stories live. Discover now