Babak 16 Krisis

1.7K 330 105
                                    

Allura POV

“Kapan nyusul, Al? Kamu nggak pengen kayak Rafika? Fika masih 20 tahun udah nikah lho. Kamu kapan?”

“Makanya jangan kerja terus biar ada waktu pacaran.”

“Standarnya ketinggian kali. Makanya nggak laku-laku.”

“Makanya kerja yang biasa aja, nggak usah full make-up. Lelaki sekarang nggak semua suka cewek cantik.”

“Cantik sih, tapi masa nggak laku?”

“Coba kek ngaji ke mana gitu. Biar timbul keinginan nikah. Kali aja kamu terlena sama dunia.”

“Enak lho nikah. Bisa berbagi suka dan duka, nggak usah susah-susah kerja.”

“Anakku udah dua lho, padahal kita seumuran. Kamu nggak pengen gendong bayi? Jangan terbang-terbang terus. Usia 26 itu udah tua lho kalau wanita.”

“Apa nggak pengen gendong bayi?”

“Nggak pengen kasih cucu ke bapak ibumu, Al?”

“Percuma jadi pramugari dan apa itu … novelis, ya? Kalau nggak mau nikah.”

“Ssst, ini kembang kemanten di sanggul. Ibu ambilin buatmu. Simpen, ya!”

Hujan batu itu memang menyakitkan, tapi hujan perhatian berlebih alias nyinyir itu lebih menyakitkan. Sampai-sampai aku menyesal datang ke nikahan Fika sore ini. Tahu gitu aku santai aja di rumah, istirahat untuk besok terbang ke Jakarta. Niat hati ingin datang ke nikahan sepupu malah berujung makan hati.

Sudah kuduga akan dan selalu begini. Para bude dan sepupu itu adalah perundung garis kerasku. Mulut-mulut mereka selalu lincah menilai kehidupanku daripada menilai busana yang kupakai. Status lajangku lebih menarik daripada kebaya brokat gold dengan aksen tumpuk di pinggang ini. Kaki jenjangku memakai pump shoes krem 10 senti, tapi mereka lebih suka mengomentari pilihan pekerjaanku yang katanya terlalu tinggi. Manusia memang lebih mudah mencerca daripada memuji.

Satu lagi, ibu juga masih ke dalam jajaran perundungku dalam urusan menikah. Masih ditambah kalimat lanjutan kadang, “Dulu Ibu seumuranmu sudah dua anaknya”. Bagaimana, ya, antara nggak nyaman dan miris. Anggota keluargaku saja nggak mendukung apalagi orang lain.

Pertanyaan beruntun mereka yang membuat sesak susah bernapas itu berhasil menciptakan krisis pada diriku. Sebutan kerennya sekarang, Quarter Life Crisis alias krisis yang melanda manusia berusia 25 tahun ke atas atau seperempat abad. Nasibku masih mending karena cuma dirundung kala kumpul bersama. Coba kalau aku belum kerja, ngendon di rumah, pasti aku dihina sampai ke ujung dunia.

Seperti biasa, lebih baik aku diam dan menikmati beberapa kudapan manis. Brownies cokelat keju, sepotong red velvet, dan es krim vanilla bisa mengurangi stresku akibat guyuran pertanyaan barusan. Tentu tidak lupa pasang jurus tidak peduli, diam, dan sibuk sendiri. mendingan ngecek grup terbangku selama seminggu ke depan. Semoga aku dapat flight mate yang enak. Mungkin ngecek transferan dari penerbit, katanya hari ini royalti bulanan cair.

Alhamdulillah, yes. Lumayan bisa buat bantu Bapak beli obat buat sayur-sayurannya,” batinku girang setelah membuka M-banking. Beberapa nominal uang masuk ke rekening dan aku langsung kepikiran Bapak yang sedang asyik bertanam sayuran. Selepas pensiun Bapak beralih profesi jadi petani sayur dan buah di Batu – sewa lahan.

“Yuk, yang masih jomlo. Pengantin mau lempar buket kembang,” ujar Bude Yulita yang dibalas sorakan bahagia dari para sepupuku. Mereka masih muda, sekitar 20-25 tahunan, jelas aku yang tergolong kaum ‘tua’ karena umur 26.

“Ayo, Mbak Al!” ajak Freya girang. Anak kelas 3 SMA ngapain ngeyel ikut beginian? Dia nggak ada rencana nikah selepas SMA, ‘kan?

Duh, Frey, cinta nggak selamanya indah, Frey ….

Pada akhirnya, aku hanya menurut demi menghindari cemoohan sok asyik, sok laku, dan sok-sok lainnya. Meski malas, berusaha kusembunyikan wajah di balik masker. Berdiri bergerombol dengan para pemuda-pemudi lajang ini demi menangkap buket bunga mawar putih dari tangan Rafika. Oh ya, beberapa tentara muda juga ikut-ikutan. Aku lupa bahwa Fika nikah sama seorang Serka yang dinas di kawasan Jodipan.

365 Senja (End)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें