CHAPTER 53

4.7K 394 11
                                    

Perpisahaan seringkali mengajarkan kita betapa berharganya seseorang setelah dia tiada.

_Anessa Aprilia_

SELAMAT MEMBACA
^^
----

Zeni bergerak gelisah, gadis itu menggigit ujung kukunya sambil berjalan bolak-balik di kamarnya. Ia sedang memikirkan bagaimana nasibnya besok. Pasalnya, besok malam adalah pengumuman kenaikan kelas, Zeni tidak bisa membayangkan kalau nilainya jelek, bisa-bisa ia akan di pisahkan dengan kakaknya. Tidak! Zeni tidak mau itu terjadi.

Tok... Tok... Tok...

"Zen?" Panggil Elin yang mengetuk pintu kamar Zeni.

"Masuk kak!"

Elin dengan segera masuk dan menghampiri Zeni yang masih asik berjalan kesana kemari. "Reyhan balik ke apartemennya?" Tanya Elin yang di angguki Zeni. Reyhan lebih memilih tinggal sendiri dari pada harus kembali ke rumah orangtuanya. Entahlah, Zeni juga tidak tau apa alasan Abangnya itu tidak mau tinggal di sini. Bahkan, Reyhan menyuruh Zeni agar tidak memberitahu Reno dan Zila bahwa ia masih hidup.

Masih ada yang tidak Zeni mengerti tentang Reyhan, tetapi ia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, karena ia sudah sangat senang atas kembalinya Reyhan.

Elin mengangguk-angguk, "Kok Lo kayak banyak pikiran gitu?" Tanya Elin yang memperhatikan wajah Zeni.

"Gue takut kak!"

"Kenapa?"

"Gimana kalau nilai gue jelek? Papa bakalan pisahin kita," Ucap Zeni dengan miris.

Elin menarik tangan Zeni untuk duduk di atas kasur dan mengusap pelan bahu adiknya, ia mengerti perasaan Zeni. Ia juga gak akan siap jika di pisahkan lagi dengan adiknya itu.

"Lo udah lakuin yang terbaik Zen, apapun hasilnya, kita terima dengan ikhlas."

"Tapi gue gak bisa kalau harus pisah sama Lo kak," Lirih Zeni.

"Terus Lo pikir gue bisa? Gue juga gak bisa Zen. Bahkan di saat seperti ini gue gak bisa lakuin apapun," Ucap Elin dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kenapa ya kak? Susah banget buat kita bahagia sama-sama, sejarahnya kita gak pernah jalan bareng, gak pernah makan bareng di luar, gue juga gak pernah boncengin Lo naik motor gue," Ucap Zeni menatap Elin dalam dengan tawa menyakitkan. Kakaknya itu sudah meneteskan air matanya. Zeni benar, bertahun-tahun mereka menjadi kakak beradik, tetapi itu semua belum pernah mereka lakuin. Sesakit itu menjadi mereka? Tak pernah dikasih peluang untuk bahagia.

Elin memeluk Zeni, "Kebahagiaan kita jauh banget buat kita raih ya Zen, sejauh langit dan bumi!"

"Gue capek kak, Lo juga pasti capek kan?" Tanya Zeni di dalam dekapan Elin.

"Gue capek Zen, tapi gue gak bisa apa-apa. Gue sadar diri, gue bukan siapa-siapa di rumah ini. Dan gue tau, gue bakalan lebih capek jika masih tinggal di jalanan!"

Zeni semakin mengeratkan pelukannya, sesakit itu untuk bertahan? Ia tau mereka sama-sama terluka tetapi dengan cara yang berbeda. Mungkin Tuhan memang tidak menakdirkan mereka untuk bahagia bersama.

Zeni memegang kepalanya yang sangat sakit seperti di tusuk beribu-ribu pisau, gadis itu meringis. Elin langsung melepaskan pelukannya, ia panik saat Zeni langsung tergeletak di kasur dengan tangan yang terus memukuli kepalanya.

"Zen, Lo kenapa?" Tanya Elin dengan sangat panik. Ia menyentuh rambut Zeni yang rontok sangat banyak. Tangan itu bergetar saat memegang helaian rambut adiknya, "Kita ke rumah sakit ya Zen," Ajak Elin yang membuat Zeni menggeleng. Air mata gadis itu luruh menahan sakit di kepalanya.

ZENIKA [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora