2

8.2K 1.9K 127
                                    

1987

Suasana hutan terasa sepi. Sinar matahari sangat sedikit bisa menyentuh tanah. Membuat udara terasa lembab. Pepohonan tinggi menjulang. Di sekitar terdengar kicau burung, juga suara penghuni hutan lain yang beraktifitas di siang hari. Gemerisik langkah dengan intonasi tetap membelah ilalang juga dedaunan yang sudah gugur. Seorang pria tua yang wajahnya sudah dipenuhi keriput berjalan dengan langkah tegap. Mata tajam sekaligus teduhnya mengawasi sekitar.

Tempat ini adalah bagian dari milik keluarganya secara turun temurun. Tidak ada yang boleh mengganggu. Ada ratusan hektar area hutan yang berada dibawah wilayah kekuasaannya. Setiap hari, pria yang biasa dipanggil Abah Ahmad itu akan berkeliling. Dari satu area ke area lain. Silih berganti sehingga paham betul apa yang terjadi di dalam. Di mana ada sarang burung baru. Atau tentang jumlah monyet yang terus bertambah. Kadang ia juga bertemu sekelompok rusa. Atau bahkan ular yang tengah berganti kulit. Tidak ada satupun yang luput dari perhatiannya.

Banyak orang kota yang ingin menukar hutan ini dengan sejumlah uang. Tapi ia bergeming. Bagi Abah Ahmad benda tipis bersegi empat itu sama sekali tidak menarik. Jauh lebih penting menjaga hulu sungai agar airnya tetap mengalir jernih. Perigi para warga masih dipenuhi air meski musim kemarau datang. Tidak ada hewan hutan datang merusak perkebunan warga karena mereka memiliki cukup makanan. Pria itu percaya, bahwa kehidupan akan seimbang jika tidak saling mengganggu.

Kembali langkah kaki tegap itu menyusuri jalan setapak menuju desa. Sejenak berhenti di sebuah pohon tumbang. Memetik jamur lalu memasukkan ke dalam kantong yang dijalin dari anyaman. Hanya mengambil secukupnya untuk sayur hari ini. Menyisakan untuk para masyarakat yang mungkin besok masuk ke hutan dan membutuhkan bahan makanan untuk dimasak. Hingga kemudian langkahnya kembali memasuki desa. Sebuah tempat yang hanya terdiri dari bangunan berdinding bilik. Saat ini desa sepi karena anak-anak sedang berangkat ke sekolah. Sementara orang dewasa s berada di sawah atau ladang.

Memasuki pekarangan rumah, beberapa buah motor berada di sana. Ia tahu, itu adalah William, sahabat lamanya dari kota yang kini menjadi pengusaha.

"Halo apa kabar." William segera mengejarnya lalu menjabat tangan Ahmad erat.

"Baik, mari duduk." Ia mempersilahkan sang tamu menaiki bale-bale. Kemudian menyerahkan kantong yang sudah penuh dengan berbagai jenis sayuran dan bumbu dapur pada istrinya.

Kedua sahabat itu bercerita tentang masa lalu. Mengenang saat masih menjadi bagian dari kota. Saling bertanya dan bercerita tentang kisah dan teman lama. Ahmad banyak mendengar, William banyak berbicara. Mereka bagai dua orang yang memang ditakdirkan menjadi sahabat. Hingga akhirnya William bertanya.

"Bagaimana kabar Embun?"

"Baik, dia mungkin sedang ke kebun."

"Seharusnya dia sekolah di Bandung."

"Tidak, kota akan mengubah hidupnya. Aku lebih suka dia di sini."

"Bukankah sudah waktunya untuk menikah?"

"Ya, dia akan menikah di sini, dengan orang sini. Mewarisi hutan dan segala isinya. Untuk kebutuhan anak cucu mereka kelak."

Mendengar itu, tubuh William menegang. Sesuatu yang sudah sangat lama ingin diketahuinya.

"Apakah hutan itu akan diwariskan pada Embun?"

"Ya, dia adalah anakku satu-satunya."

"Apa kamu yakin dia tidak akan menjualnya?"

Ahmad menatap William. "Tidak ada pembeli di sini. Semua paham akan pentingnya hutan untuk kelangsungan hidup."

William hanya mengangguk. Sahabatnya ini sangat keras kepala jika menyangkut tentang hutan. Tapi ia memiliki agenda sendiri sehingga datang kemari. Sebagai pengusaha kayu lapis dan properti, perusahaannya sangat membutuhkan keberadaan hutan ini.

GENGGAM TANGANKU JANGAN PERNAH LEPASKAN/  Versi Lengkap Tersedia Di Playbook Where stories live. Discover now