Memory

35 16 9
                                    

"Kamu kenapa? Kok nangis?" Sebuah pertanyaan menyapa seorang anak laki-laki. Dia sedang duduk sendirian di bangku panjang, terlihat begitu kecil di antara kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang di sekirar taman yang mana letaknya tidak jauh dari bangunan sekolah.

Jika ditilik dari seragam yang dikenakan si penanya yang berjenis kelamin perempuan, dia pasti bersekolah di sana. Waktu juga telah menunjukkan siang hari yang artinya adalah jam pulang.

Anak laki-laki itu segera mengusap jejak air mata yang mengaliri wajahnya, terlihat terlalu gengsi untuk menunjukkan kesedihannya. Meskipun demikian, dia masih mampu memperlihatkan senyumannya seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Aku lagi nunggu jemputan. Kamu bukan anak SD Merdeka, ya? Trus, kok, bisa di sini sendirian?" Anak perempuan itu bertanya beruntun setelah mendudukkan dirinya di sebelah si anak laki-laki.

"Aku... hmm... aku sebenarnya...."

"Kenapa? Ayo, dong, cerita aja sama aku. Kata Mama, apa yang kita rasain nggak boleh pendam lama-lama. Beda sama harta karun yang semakin disimpan semakin berharga, kalo lagi sedih atau marah, tuh, nggak boleh simpen lama-lama. Bisa jadi penyakit nanti."

"Hmm... oke--t-tapi... jangan bilang siapa-siapa, ya."

"Oke, janji." Anak perempuan itu mengacungkan jari kelingking sebagai pengesahan perjanjian yang biasa dilakukan oleh orang-orang, lalu tersenyum lebar saat bocah laki-laki itu mengaitkan jari kelingking mereka.

"Aku... aku kabur dari rumah."

"Uwaaah... pasti seru." Alih-alih kaget, anak perempuan itu malah takjub dan terselip nada iri dalam nada bicaranya.

"Menurutmu seru, ya?" Anak laki-laki itu bertanya polos, lantas mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Iya. Dari dulu aku pengen kabur. Kayak di film-film, gitu. Seru, loh. Bakal bikin semangat pastinya."

"Oh, ya? Memangnya kamu nggak takut dihukum kalo orang tuamu tau?"

"Bakal dimarah, sih, tapi aku nggak takut."

"Kamu udah biasa kabur, ya?"

"Justru itu. Aku belum pernah kabur." Bahu anak perempuan itu terkulai, memperlihatkan kesedihannya seolah-olah kabur adalah sesuatu yang sangat ingin dilakukannya untuk saat ini. "Trus, kenapa kamu kabur? Lagi marah sama orang tua kamu, ya?"

"Bukan."

"Trus?"

"Lagi marah sama Paman."

"Ohhh... paman. Kenapa memangnya?"

"Gara-gara aku nggak boleh ketemu Papa sama Mama."

"Loh, kenapa nggak boleh?"

"Kata Paman, mereka udah ke luar negeri, padahal aku baru aja ketemu mereka di rumah lama sebelum pindah."

"Ha? Jadi... Paman kamu bohong, dong?"

"Nggak tau, tapi aku yakin Payus nggak mungkin berbohong. Pamanku sayaaang banget sama aku. Buktinya aja selama Papa-Mama pergi, aku tinggalnya sama Paman."

"Trus kenapa Papa-Mama kamu ada di rumah? Kenapa bilangnya pergi, tapi ternyata nggak?"

"Aku bingung, makanya aku kesel sama Paman. Masa aku nggak boleh ketemu Papa-Mama? Aku, kan, kangen."

"Bilang saja kalo kamu nggak mau tinggal sama Paman. Beres, 'kan?"

"Iya, sih. Tapi mereka diam aja waktu aku ngomong gitu. Aku heran banget. Aku ngomong apa aja tetap nggak dijawab. Mereka cuman natap doang."

"Mungkin mereka sebenarnya pengen buang kamu, makanya serahin ke paman kamu."

"Nggak mungkin!" Anak laki-laki itu berkilah. Ada kilat aneh yang terpantul dari matanya dan kedua tangannya terkepal secara spontan. Seolah membutuhkan banyak energi untuk melakukannya, anak itu sampai tremor sendiri.

"Kamu kenapa?" Anak perempuan itu memandangnya ngeri, tetapi masih berusaha untuk menenangkannya. Dengan jari-jari mungilnya, dia menarik-narik ujung seragam si anak laki-laki seolah berharap suasana hatinya bisa membaik.

"Papa-Mama masih hidup! Papa-Mama masih nungguin aku!" Tangannya berpindah ke sisi kepala sebelum meremas dan mengacak rambutnya hingga berantakan. Seperti sedang mengalami depresi, anak laki-laki itu berakhir menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

"Namamu siapa? Inget jalan pulang, tidak?"

"Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau pulang!" Seperti sedang mengucap mantra, anak itu merapalnya berkali-kali.

Eksistensi keduanya mulai disadari oleh pejalan kaki di sekitar taman. Ada beberapa yang berhenti, tetapi belum ada satu pun yang mau mendekat seakan ingin memantau aksi selanjutnya.

"Kalau begitu, alamat rumah Papa-Mama kamu di mana?"

"Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau pulang!"

"Hei! Dengerin aku!"

"Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau pulang!"

"Hei--"

"Ada apa, Dek?" Salah seorang remaja mendekat. Ternyata dia tidak sendirian karena ditemani anak kecil yang mengenakan seragam yang sama seperti anak perempuan itu. Bisa jadi, remaja itu sedang menjemput adiknya pulang sekolah.

"Hmm... aku nggak kenal dia, Kak." Anak perempuan itu melempar pandang cemas kepada anak laki-laki yang masih membenamkan kepala dengan tangan memeluk kedua kakinya.

"Trus?"

"Dia bilang dia--"

"Kamu udah janji nggak ceritain ke siapa pun!" Anak laki-laki itu mendadak menegakkan kepala dan menuding ke arah anak perempuan itu dengan dendam. "Kamu udah melanggar janji!"

"I-iya. Aku cuman--"

"Kamu berbohong!"

"I-iya. Maaf. Kak, aku nggak jadi cerita, ya."

"Mau Kakak bantuin, nggak? Kayaknya dia perlu konsultasi sama psikolog. Kakak rasa mentalnya terganggu."

"Kakak ngomongin apa, sih? Aku nggak paham."

"Begini, deh. Kamu coba ajak ngomong baik-baik. Kakak panggilin kepala sekolah SD Merdeka saja, ya?"

"I-iya, Kak."

Remaja tersebut pergi bersama adik yang menemaninya, sedangkan anak perempuan itu kembali memperhatikan si anak laki-laki.

"Aku panggil kamu 'Hitam', ya, karena kamu pake baju hitam semua." Anak perempuan itu memulai. "Aku nggak tau kamu sekolah di mana, tapi kayaknya seumuran sama aku, deh. Aku dari SD Merdeka. Oh, iya. Aku belum ngenalin diri. Namaku Anulika Latief. Ingat-ingat nama aku, ya? A-nu-li-ka La-tief. Aku punya orang tua lengkap, tapi malah kayak nggak punya orang tua. Buktinya, aku masih belum dijemput padahal bel pulang udah lama berdering. Iya, sih, rumahku jauh dari sini, tapi aku tau Papa-Mama sibuk banget.

Tuh, lihat. Aku kayak senasib sama kamu, 'kan? Kita sama-sama nggak punya orang tua. Kita bisa berteman--"

Kata-kata Anulika terputus oleh sebuah terjangan pada detik berikutnya. Siapa sangka, anak laki-laki itu mendorong dan menindihnya di atas tanah. Beruntung area itu tidak keras karena ditumbuhi rerumputan dan kebetulan kepala Anulika mengenai tanaman liar lain sehingga ini cukup untuk melindunginya.

Kali ini banyak yang mendekat untuk melerai keduanya. Anulika tidak terluka, tetapi fakta dijatuhkan secara mendadak ke tanah cukup memberinya syok.

"Aku punya orang tua! Aku punya orang tua! AKU PUNYA ORANG TUA!"

"ADA APA INI? YA, TUHAN! ANULIKA! KAMU NGGAK APA-APA? CEPAT BAWA KE RUMAH SAKIT!"

Bersambung

Her Crush is My Dad [END]Where stories live. Discover now