10 - Tali Pocong

2.6K 229 16
                                    

“Apa? Dibongkar? Gak salah, Pak?” tanya Anwar kepada para warganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Apa? Dibongkar? Gak salah, Pak?” tanya Anwar kepada para warganya.

“Betul, Pak. Kita mau kuburan Pak Joko beserta keluarga dibongkar lagi. Kita harus liat apa ada yang salah dari cara kita makamin mereka?”

“Iya, Pak. Jangan-jangan kita lupa lepas tali pocongnya!” sahut warga lainnya.

Anwar pun mulai berpikir, ia masih ragu-ragu dengan usul dari warga itu. Akan tetapi warga mendesaknya untuk segera melakukan permintaan mereka tersebut.

“Pak, gak ada waktu buat mikir! Pokoknya, mau Pak Kades setuju atau gak setuju, kita warga bakal tetep bongkar kuburannya!”

“Oke, oke. Semuanya sabar dulu. Kalau emang itu kemauan kalian, oke kita bongkar makam almarhum. Tapi harus izin sama keluarganya dulu,” kata Anwar.

“Gak bisa! Sekarang juga kita bakal bongkar, gak perlu tunggu keputusan keluarga. Masalah ini udah ganggu desa kita, kita berhal buat lindungin keluarga dan anak-anak kita. Semalam Pak Ganda, terus nanti siapa lagi? Kita gak bisa nunggu lagi!”

Para warga tetap ngotot untuk membongkar makam keluarga itu. Mereka tak lagi mendengarkan usul dari Anwar. Dengan tatapan pasrah, Anwar hanya bisa berdiri di depan rumahnya sambil menatap para warga yang mulai membubarkan diri dan bersiap berangkat ke pemakaman umum untuk melakukan pembongkaran makam.

Sambil memijat-mijat keningnya, Anwar berjalan ke arah kursi kayu dan duduk di sana sambil menghela napas. Betapa berat ujian yang diterimanya di awal masa jabatannya sebagai kepala desa.

Sang istri keluar dari rumah, ia menatap Anwar dengan tatapan sedih. Kakinya lalu melangkah dari dalam rok panjang itu, mendekat ke arah Anwar yang sedang pusing dengan masalah ini.

“Biarin aja warga bongkar makam Pak Joko, barangkali emang ada yang salah dari cara kita makamin almarhum,” ucap sang istri sambil mengelus bahu Anwar dengan lembut.

Sang kepala desa menghela napas. “Ya, aku gak bisa halau mereka juga. Kalau udah begitu mereka gak akan mau dengerin aku lagi.”

“Gak apa-apa, mereka mungkin udah capek sama teror ini.”

Anwar menoleh ke sang istri. “Apalagi aku. Emangnya mereka aja yang pusing sama masalah ini, aku juga. Belom apa-apa aku ngejabat di sini, udah ada aja cobaan.”

“Sabar aja, namanya juga kerjaan. Kamu harus ikhlas jalaninnya,” ucap sang istri.

Anwar lalu berdiri dari posisi duduknya. “Yaudah, aku mau ganti baju dulu. Terus berangkat ke pemakaman buat liat warga bongkar makam,” ucapnya yang kemudian berjalan masuk ke dalam rumah dengan raut wajah agak kesal.

***

Matahari masih berada di sisi timur langit, cahayanya hangat dan menembus celah-celah dedaunan pohon yang berdiri di pemakaman desa. Bunga-bunga kamboja yang gugur berserakan di tanah. Aroma bunga mawar masih sedap tercium, di beberapa makam yang baru dibuat.

Dari sebuah makam di tengah pemakaman, warga sudah ramai berkumpul. Beberapa laki-laki telah siap dengan pacul mereka. Sementara warga lainnya menyaksikan prosesi bongkar makam yang akan dilakukan beberapa saat lagi.

Tak hanya orang tua, banyak anak-anak yang juga turut ikut menonton kejadian langka ini. Anwar pun berada di tengah kerumunan warga, ia masih menunggu para warga memulai aksinya itu. Dan sebelum dimulai, semua warga terlebih dulu membacakan doa agar diberi kelancaran.

“Semuanya, dari pada sekedar menonton lebih baik kita baca sholawat untuk mengiringi  saudara kita membongkar makam!” ucap salah satu warga memberi saran.

Warga yang lainnya pun setuju dengan usul itu. Mereka sama-sama membacakan sholawat sambil menonton para warga yang gotong royong membongkar makam Joko dan keluarganya. Pacul milik warga berkali-kali menghantam gundukan tanah makam yang masih baru tersebut.

Makam Joko, istri dan kedua anaknya semua dibongkar oleh warga. Pelan-pelan tanah yang mereka gali semakin rendah. Dengan tenaga warga yang cukup banyak, makam pun perlahan berhasil digali kembali. Tanah merah mulai mengotori baju mereka. Semua yang menonton mulai tegang kala badan para penggali kuburan itu sudah masuk setengah ke dalam lubang yang mereka gali.

Tak lama kemudian, ujung pacul dari salah satu warga menghantam sebuah kayu. Pertanda bahwa mereka sudah sampai di tempat peristirahatan sang almarhum. Kayu-kayu yang menutupi jenazah pun dibuka satu per satu. Sampai terlihat pocong dari almarhum yang berbaring dengan posisi menyamping ke arah kiblat.

Agak tercium aroma busuk, tapi warga tetap menahannya. Mereka semua mengecek keadaan jenazah. Mulai dari kain kafan, tali dan lain-lain. Semuanya sudah sesuai dengan tata cara pemakaman pada umum ya tidak ada keanehan apa-apa.

“Yang lain gimana?” tanya para warga kepada warga lainnya yang membongkar makam istri dan anak Joko.

“Sama! Gak ada yang aneh, talinya udah dibuka kok!”

Semuanya bingung, tak ada kesalahan dari cara pemakamannya. Itu berarti teror yang mereka alami tak ada hubungannya dengan cara pemakaman. Semuanya semakin bertanya-tanya, kalau buka karena pemakaman lantas apa yang membuat satu desa diteror pocong satu keluarga ini?

“Bapak-bapak, udah liat sendiri, kan? Gak ada yang salah dari makam ini. Sekarang saya mohon, ditutup kembali. Dirapikan kembali seperti semula, kasihan almarhum,” ucap Anwar menyuruh mereka mengubur kembali.

Satu per satu warga kembali naik ke atas untuk kembali menutup makam ini dengan tanah. Tapi sebelum naik, salah satu warga diam-diam mengambil tali pocong dari jenazah Joko dan memasukkan tali itu ke dalam saku celananya. Setelahnya baru ia naik dan ikut membantu menguburkan kembali.

Sambil menggelengkan kepala, Anwar pun berbalik badan dan meninggalkan pemakaman dengan wajah bingung. Setelah makam dibongkar, mereka tetap tak menemukan petunjuk apa pun. Masih menjadi misteri kenapa Joko dan keluarganya gentayangan meneror warga.

***

Pada suatu malam hari setelah pembongkaran makam, seorang warga bernama Dani tak biasanya duduk di pos ronda. Sambil menghisap sebatang rokok, ia duduk santai sambil menatap sekitar. Dengan pakaian tebal ia tampak sedang menunggu seseorang datang.

Sudah setengah jam menunggu, belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Yang ada dirinya ditemani jangkrik yang sejak tadi terus bersuara dari tengah kegelapan sawah. Dani mulai gelisah sendirian di tengah malam gelap.

Samar-samar ia mendengar suara mesin kendaraan. Lalu dari kejauhan, cahaya lampu motor datang mendekat. Motor usang itu mendekat ke arah pos ronda. Suara knalpotnya cukup bising. Setelah sampai di pos ronda, sang pengendara motor pun berhenti menepi.

“Lama banget sih!” keluh Dani saat melihat Bejo datang dengan motornya.

“Maaf, kan siap-siap dulu.” Bejo menatap ke arah Dani. “Heh, kamu yakin mau lakuin ini?” tanyanya.

“Yakin, gak ada cara lain lagi. Cuma ini cara terakhir yang bisa kita coba supaya teror pocong di desa kita bisa selesai,” jawabnya.

“Kamu bawa barangnya?”

“Bawa!” Dani lalu merogoh saku celananya, lalu menunjukkan sebuah tali pocong kepada Bejo.

“Yaudah simpen aja, ayo berangkat!” Bejo kembali menyalakan motornya.

Dani langsung mematikan rokok dan buru-buru naik ke bagian belakang motor. Setelah siap, Bejo langsung tancap gas membonceng Dani. Di tengah kegelapan malam, Bejo melajukan motornya di jalan desa yang sepi. Pandangannya lurus ke depan, menuju ke suatu tempat yang jauh tanpa diketahui oleh siapa pun.

.
.
.

Untuk apa Bejo mengambil tali pocong? Simak kelanjutannya ceritanya!

Vote dan komen dong kk :)

Pocong Nagih Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang