14 - Secercah Harapan

2.5K 208 9
                                    

Setelah beberapa minggu berada dalam teror pocong, warga mulai merasa bosan dan muak dengan semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah beberapa minggu berada dalam teror pocong, warga mulai merasa bosan dan muak dengan semuanya. Sebagian dari warga memilih untuk berdamai dengan keadaan. Membiasakan diri dengan teror yang terus berlanjut ini dan berusaha menerima bahwa teror pocong ini adalah bagian dari kehidupan mereka sekarang.

Hal itu terbukti dari bukanya salah satu warung kopi di pinggir jalan desa. Sebuah warung dengan bangunan berbahan anyaman bambu sederhana dengan lampu yang agak redup. Di meja depan, aneka gorengan dan kue dipajang menggoda selera. Penjualnya adalah seorang laki-laki paruh baya berkumis yang senang memakai topi kupluk yang akrab disapa Pak Robi.

Warung ini merupakan tempat nongkrong favorit para anak muda desa, termasuk Reza dan Bejo. Mereka sering mampir ke warung ini sewaktu meronda. Dan malam ini pun keduanya lagi-lagu keluar malam untuk ronda keliling desa. Mereka menyempatkan untuk mampir ke warung Pak Robi.

“Akhirnya buka lagi ya, Pak,” ucap Reza sambil mengaduk segelas kopi panas yang mengeluarkan asap tipis.

“Iya, Za. Kalo tutup terus gak ada pemasukan saya.”

“Gak takut, Pak?” tanya Bejo.

“Kalo dibilang takut, mungkin takut. Cuma ya mau gimana lagi? Kalo dipikir-pikir, ini kan desa kita. Masa kita kalah sama mereka, kalo kita lebih rame nanti juga pelan-pelan menghilang tuh pocong!” kata Pak Robi.

“Pak, gak usah disebut namanya! Nanti dateng beneran.” Reza memperingatkan.

Mendengar itu, Bejo tertawa kecil. “Pengalaman ya, Za. Yang udah-udah begitu.”

“Nah, kalian hampir setiap hari ronda emang gak takut?” tanya Pak Robi.

“Takut, Pak. Wah, entah udah berapa kali kita ketemu pocong. Tanya aja tuh si Bejo.”

“Gila, Pak. Saya aja pernah sampe nyebur ke sawah gara-gara ketemu pocong!” Bejo menggelengkan kepala.
Pak Robi lalu duduk di hadapan mereka setelah menaruh gorengan yang baru matang. “Iya, emang lagi gawat desa ini.”

“Ya begitulah, Pak.”

Pak Robi menatap Bejo dan Reza. “Kita sembunyi di rumah pun belum tentu aman. Buktinya Pak Ganda aja didatengin pocong sampe ke rumahnya. Berarti rumah juga gak jamin keamanan kita, jadi ya mending saya jualan aja.”

“Iya, katanya salah satu warga sempet liat tuh.”

“Liat apa, Jo?” tanya Reza penasaran.

“Waktu kejadian Pak Ganda itu. Ada warga yang lewat rumahnya, dia gak sengaja liat pocong Pak Joko lagi ketuk-ketuk pintu pake kepalanya.” Bejo menjelaskan.

“Nah! Itu dia, banyak warga yang ngeluh kalo pintu rumahnya beberapa kali diketuk pas tengah malem. Tapi gak ada yang berani buka.” Pak Robi menambahkan.

“Tapi kenapa ya Pak Joko sampe gentayangan kaya gini?” tanya Reza.

“Yah, dari cara meninggalnya aja udah gak wajar. Ditambah dia juga kayanya dendam sama warga gara-gara gak pilih dia jadi kepala desa. Padahal dia udah kasih banyak hal ke kita semua.”

“Tuh, Bejo! Kamu dulu paling depan kalo Pak Joko bagi-bagi amplop. Tapi malah pilih Pak Anwar jadi kepala desa.
Sambil menguyah makanan, Bejo menjawab, “aku sih lebih percaya sama Pak Anwar. Tapi kalo Pak Joko kasih duit, masa iya aku tolak?”

“Parah sih kamu, Jo.”

Reza menggelengkan kepala lalu meminum kopi yang sudah agak hilang panasnya. Sementara Bejo tengah asik bermain ponselnya sambil sesekali mengambil gorengan dari keranjang yang ada di meja.

Setelah mengobrol beberapa menit, kini Pak Robi sibuk memotong-motong sayuran dan membuat adonan untuk memasak gorengan selanjutnya. Suasana desa yang masih sepi membuat hanya Reza dan Bejo yang datang ke warung kopi Pak Robi.

Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas malam. Reza meminum kopi hitamnya sampai habis menyisakan ampas di dasar gelas. Mereka berdua lantas berdiri dan hendak keliling desa melihat situasi. Reza tak lupa membayar kopi yang diminumnya.

“Jo, mana bayarnya?” tanya Pak Robi.

“Ngutang dulu, Pak.”

“Wah dasar, baru buka udah diutangin!”

“Maklum, uang saya habis diperes dukun matre.”

“Kita keliling dulu, makasih, Pak,” ucap Reza sambil mulai berjalan meninggalkan warung Pak Robi.

“Hati-hati, kalo ketemu pocong pukul aja!” kata Pak Robi bercanda.

Kedua pemuda itu pun mulai berjalan pergi dari warung dan segera melaksanakan kewajiban mereka setiap malam menjaga keamanan desa. Dengan senter di tangannya, Reza dan Bejo memasuki pemukiman warga sambil melihat sekitar.

***

Di malam yang sama, Anwar duduk di sofa ruang tamu sambil menempelkan ponsel di telinganya. Wajahnya tampak serius menunggu seseorang menjawab teleponnya. Sudah berkali-kali ia lakukan panggilan tapi tak ada yang menjawab teleponnya. Sesekali ia menghela napas sampai akhirnya ia menyerah dan menaruh ponselnya di meja.

Anwar mengambil segelas teh yang ada di mejanya, lalu meminumnya sedikit sambil terus melamun. Tak lama kemudian ia dikagetkan dengan dering ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Rupanya orang yang sejak tadi sulit dihubungi sekarang malah meneleponnya balik.

Segera Anwar ambil kembali ponselnya sambil tersenyum lega. Buru-buru ia angkat telepon dan menempelkannya kembali ke telinga kanan. “Halo?” sapanya saat terhubung dengan seseroang.

“Halo, Mas?” tanya seorang perempaun dari dalam telepon itu.

“Linda? Kamu sibuk gak?” tanya Anwar.

“Enggak sih, ada perlu apa?”

“Maaf telepon malem-malem gini ya. Mas mau tanya, kamu ada waktu gak ya? Mas butuh bantuan nih. Seputar dunia gaib,” tutur Anwar menjelaskan maksudnya menelepon.

“Oh, gitu. Besok aku ada waktu luang kok.”

“Bisa ke desa gak? Nanti Mas suruh orang jemput kamu.”

Linda terdiam sejenak tanpa menjawab.
“Bisa, Mas.”

“Oke makasih ya. Besok Mas jelasin masalahnya apa.”

“Udah tau kok, soal teror pocong ya?” tanya Linda.

“Lho? Kok kamu tau?”

Sambil tertawa kecil, Linda menjawab, “tau dong, Mas. Kerasa kok vibrasinya sampe sini. Siapin kepala babi yang masih seger ya buat besok.”

“K-kepala babi? O-oke deh,” jawab Anwar dengan terbata-bata.

“Yaudah, sampai ketemu besok.”

Percakapan pun berakhir, telepon ditutup. Anwar kembali menaruh ponselnya di atas meja. Ia kembali bersandar dan melamun sambil melihat ke atas. Dari dalam kamar, sang istri berjalan mendekat. “Gimana, Mas?” tanyanya.

Anwar mengangguk. “Iya, besok Linda ke sini. Tapi dia minta kepala babi.”

“Hah? Buat apa?”

“Ya gak tau, mungkin buat ritual dia.”

Sang istri mengangguk sambil menghela napas. “Semoga aja berhasil ya usaha kamu.”

Anwar mengambil gelas tehnya dan meminum sampai sisa setengah. ‘Udah malem, yuk tidur.”

Selesai minum, Anwar letakkan kembali gelasnya di meja. Ia ambil ponselnya lalu berdiri. Bersama sang istri, ia berjalan masuk ke kamar untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk hari esok yang tak bisa ditebak akan bagaimana jadinya.

Malam yang sepi pun terus berlanjut, selama enam jam ke depan rembulan menguasai langit malam. Bersama cahaya bintang-bintang kecil yang bersinar dari kejauhan.

.
.
.

Kira-kira apakah yang akan dilakukan Anwar? Patut untuk dinantikan kelanjutannya!

Vote dan komen dong kk :)

Pocong Nagih Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang